Minggu, 01 Desember 2024

Mojokerto dalam Propaganda Belanda di Masa Bersiap

Banjir Akibat Rusaknya Pintu Air di Mojokerto

(Sumber: Archivo Nacional Aruba ANA-DIG-ARCHIEF-ECURY-INV-331)

Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik bukan menjadi akhir kolonialisme. Tanah Hindia versi Belanda atau Indonesia, menjadi ladang pertarungan kembali. Antara Belanda melawan Pemerintah Indonesia.

Bagi Belanda, Pulau Jawa cukup penting untuk dikuasai. Bukan hanya tentang jumlah perusahaan perkebunan yang cukup banyak. Namun, di tempat ini pusat perlawanan berada (Pemerintah RI). Belanda pun tidak mudah menaklukkan kembali Bangsa Indonesia.

Menurut M. C. Ricklefs, Indonesianis dari Australia, menyatakan upaya Belanda menguasai kembali Indonesia merupakan usaha yang ketiga. Pertama, pada abad ke-17 dan ke-18. Kedua, pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, seperti dimuat dalam bukunya berjudul Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2008: 429-430).

Pertarungan tidak hanya dengan jalan perang. Tetapi juga melalui jalan diplomasi. Salah satu caranya membangun opini publik. Terutama untuk meyakinkan dunia internasional agar mendukung tindakan militer.

Salah satu daerah yang dijadikan propaganda Belanda yakni Mojokerto. Baik keadaan penduduknya maupun fasilitas publik.

Termuat dalam arsip dari Archivo Nacional Aruba (ANA-DIG-ARCHIEF-ECURY-INV-331), terkait sabotase tentara Indonesia yang merusak pintu air di Sungai Brantas. Menyebabkan beberapa daerah (kampung) di Mojokerto mengalami banjir. Dikatakan juga bahwa tentara Belanda berhasil mengamankan sebagian pintu air. Menyelamatkan hasil panen penduduk.

Bahkan, keadaan penduduk pasca penjajahan Jepang di Mojokerto menjadi alat propaganda Belanda. Penduduk pribumi yang mengalami kelaparan. Serta kedatangan Belanda di Mojokerto yang membagikan makanan kepada penduduk. Kedatangan Belanda saat itu dikatakan menyelamatkan penduduk dari bencana kekurangan pangan, tulis Archivo Nacional Aruba (ANA-DIG-ARCHIEF-ECURY-INV-331).

Salah Satu Penduduk Mojokerto Mengalami Kekurangan Gizi

(Sumber: Archivo Nacional Aruba ANA-DIG-ARCHIEF-ECURY-INV-331)

Keadaan umum pasca penjajahan Jepang memang identik dengan kekurangan pangan. Hampir semua daerah mengalaminya (bahkan negara yang pernah dijajah Jepang). Artinya, dampak penjajahan Jepang akibat kekurangan pangan masih terjadi pasca tahun 1945. Khususnya tahun-tahun masa revolusi kemerdekaan, antara 1946-1949.

Hal itu diperkuat dengan penelitian Pierre van der Eng, berjudul Food Supply in Java during War and Decolonisation, 1940-1950. Menyebutkan di Jawa terjadi penurunan konsumsi kalori. Terutama bahan pangan yang berasal dari beras (1994: 26).

Di sisi lain, kebutuhan pangan terkadang menjadi alat propaganda bohong yang dilakukan Belanda. Mengkambinghitamkan tentara republik atau para gerilyawan saat itu. Walaupun terkadang pada beberapa kasus, terkait perusakan terhadap fasilitas umum, toko-toko, pabrik, dan gudang juga disertai penjarahan. Seperti yang dilakukan pasukan pimpinan Mayor Sabaruddin, yang bermarkas di Claket, Trawas, Mojokerto.

Menurut Moehammad Jasin dalam Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang, Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia, mengatakan Mayor Sabaruddin berhasil ditangkap. Beserta barang bukti empat besek penuh emas dan berlian. Serta, delapan wanita Eropa yang sedang hamil. Bagi M. Jasin, menangkap Mayor Sabaruddin merupakan keberhasilan untuk menyelamatkan wibawa Pemerintah Republik Indonesia (2010: 113-116).

Penduduk Mojokerto Antri Mendapatkan Jatah Makanan dari Belanda

(Sumber: Archivo Nacional Aruba ANA-DIG-ARCHIEF-ECURY-INV-331)

Jumat, 01 November 2024

Candrakapala Simbol dan Lambang Raja Bameswara (1117-1130 M)

Candrakapala Lanchana Raja Bameswara

Raja Bameswara penguasa yang pernah memerintah Kerajaan Panjalu. Ia menggunakan “candrakapala” sebagai lambang dan simbolnya. Candrakapala adalah atribut dewa Siwa yang menghiasi mahkotanya.

Menurut Vernika Hapri Witasari, dalam penelitiannya berjudul Lambang Raja Pada Kerajaan Kuno di Kawasan Indonesia Abad XI-XV Masehi: Sebuah Rekonstruksi Makna, menyebutkan hiasan “candrakapala” berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit (2011: 136).

Sekilas gambar “candrakapala” terlihat sangat menyeramkan. Bisa jadi, hal ini berkaitan dengan keberadaan dewa Siwa dalam hiasan tersebut. Dewa Siwa dihiasi dengan simbol-simbol yang menyeramkan. Terlihat pada arca atau patung sebagai gambaran sosoknya. Dalam mitologi Hindu, dewa Siwa dianggap sebagai dewa kematian. Tampaknya, inilah yang menjadikan Siwa memiliki hiasan-hiasan yang menyeramkan. Selain itu, dewa Siwa disimbolkan sebagai perusak atau penghancur. Oleh karenanya, hiasan-hiasan disesuaikan dengan simbol-simbol yang melekat pada dirinya.

Siwaisme ternyata telah memasuki kehidupan elite politik di kerajaan. Terutama, pada periode Jawa kuno di Jawa bagian timur. Terlihat dari penggunaan simbol-simbol dewa Siwa oleh raja. Di mana, lambang Siwa banyak ditemukan pada bangunan suci. Semisal; bangunan candi, yang tercapat Lingga dan Yoni, serta arca Siwa maupun arca-arca yang terkait dengan Siwa lainnya. Penggunaan hiasan dewa Siwa bisa jadi dikarenakan penganut ajaran tersebut dominan di pulau Jawa. Sehingga, raja menggunakan sebagai tanda kekuasaannya. Atau, di sisi yang lain, raja yang justru menguatkan kepercayaan Siwaisme kepada masyarakat.

Apapun itu, faktanya terdapat raja pada periode Jawa Timur yang menggunakan “candrakapala”, atau hiasan Siwa sebagai tanda kekuasaan. Salah satunya terdapat pada prasasti Plumbangan I/ Panumbangan (1120 M), yang dikeluarkan oleh Raja Bameswara. Sayangnya, politik pemerintahan masa Raja Bameswara tidak banyak diketahui. Padahal, rentang waktu saat ia memerintah cukup lama, dari prasasti pertama tahun 1117 M dan prasasti terakhirnya tahun 1130 M.

Penjelasan di atas hanya analisis (lebih ke imajinasi) tanpa dukungan data. Sebab, sumber sejarah yang berasal dari era itu sangat terbatas. Namun, penggunaan pendekatan semiotika komunikasi cukup menarik. Seperti yang dikatakan oleh Andrik Purwasito, dalam bukunya berjudul Message Studies, yang menyebutkan the semiotic model helps to explain how communication works as an interactive process (2003: 243).

Kamis, 03 Oktober 2024

Nafiri Tuhan: Orkes Angklung dan Kulintang dari Mojokerto

Orkes “Nafiri Tuhan” Mojokerto di Belanda tahun 1972

(Sumber: Leeuwarder Courant, 7 September 1972)

Seni musik sejalan dengan peradaban manusia. Tumbuh dan berkembang sepanjang perjalanan sejarah. Awalnya tidak dapat dipisahkan dari kesakralan. Namun kemudian mengikuti (menjadi) kebutuhan hiburan manusia.

Alat musik tradisional Indonesia kaya akan sejarah dan budaya. Termasuk angklung dan kulintang. Menurut Edy Sedyawati dalam bukunya berjudul Wawacan Barjah, mengatakan musik tradisional adalah musik yang digunakan sebagai perwujudan nilai-nilai budaya (1992: 23).

Alat musik angklung dan kulintang dapat dimainkan oleh anak-anak maupun orang dewasa. Dalam perkembangannya, alat musik ini berakulturasi dengan jemaat Kristen di Jawa. Bahkan menjadi salah satu bagian dari komunitas Kristen di Mojokerto.

Pada tahun 1970-an, grup musik tradisional anak-anak Kristen di Mojokerto cukup populer. Bernama “Nafiri Tuhan”. Seperti diberitakan surat kabar Leeuwarder Courant, 7 September 1972 bahwa grup ini mendapatkan kesempatan pentas di Belanda. Rencananya akan pentas pada Minggu sore 10 September 1972, di Kapel Bonifatius, Dokkum Belanda. Malamnya mereka akan pentas di Gereja Filadelfia, Zwaagwesteinde. Esok harinya pentas di pangkalan udara Leeuwarden, Belanda.

Grup musik tradisional “Nafiri Tuhan” mempersiapkan tur ke Belanda selama setahun. Memainkan alat musik tradisional tersebut dengan serasi dan enak didengarkan. Tur tersebut dalam rangka perayaan seratus tahun misi zending, tulis surat kabar Leeuwarder Courant, 7 September 1972.

Minggu, 01 September 2024

Touring Motorclub Soerabaja Tahun 1949-1950

Touring MCS ke Borobudur dan Yogyakarta tahun 1950

(Sumber: Nieuwe Courant, 18 Juli 1950)

Mbremm…mbremm….. Suara knalpot sepeda motor para rijder, atau pengendara motor. Iring-iringan motor yang sering lewat membuat sakit telinga. Ini para pengendara motor sekarang, yang tidak punya empati. Bahkan, motornya pun terkadang telat membayar pajak.

Di era kolonial, sudah ada klub motor. Para rijder ini membentuk perkumpulan. Salah satunya di Surabaya. Bernama Vereeniging Soerabajasche Motorclub. Statuta perkumpulan disahkan melalui Gouvernements Besluit, atau Keputusan Pemerintah 27 Maret 1906, seperti dimuat dalam surat kabar Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indie, 29 Maret 1906.

Sejak era kolonial perkumpulan ini tiap tahun mengadakan touring. Setahun setelah pendirian, surat kabar Soerabaijasch Handelsblad, 5 April 1907 memberitakan touring menuju Pasuruan. Tradisi ini terus berlanjut hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan nama Motorclub Soerabaja (MCS).

Apakah Soerabajasche Motorclub dengan Motorclub Soerabaja ada hubungan keterkaitan? Tentu dari namanya sama. Tetapi era atau waktu yang berbeda. Pada tahun 1949, sekretariat MCS ada di rumah K. J. Hof, di Kapoeasstraat 47, Surabaya.

MSC Touring ke Madura tahun 1949

(Sumber: De Vrije Pers, 31 Oktober 1949)

Setelah kemerdekaan Indonesia, perkumpulan Motorclub Soerabaja masih eksis. Surat kabar De Vrije Pers, 31 Oktober 1949 dan 14 November 1949 memuat berita touring ke Madura dan Malang.

Pada tahun 1950, bertepatan dengan Lebaran di tahun itu melakukan touring menuju Borobudur dan Yogyakarta. Perjalanan tersebut rutenya melewati Mojokerto. Dengan jarak kurang lebih sekitar 850 km. Peserta touring berkumpul di Surabaya pada hari Sabtu pukul 7 pagi. Perjalanan dimulai pukul setengah 8. Jumlah kendaraan yang ikut ada 21 sepeda motor, 4 mobil penumpang, dan 1 truk. Untuk peserta berjumlah 63 orang, terdiri dari 53 laki-laki dan 10 perempuan, tulis surat kabar Nieuwe Courant, 18 Juli 1950.

Lebih lanjut, surat kabar Nieuwe Courant, 18 Juli 1950 menyebut iring-iringan kendaraan menuju Mojokerto, sejauh kurang lebih 51 km. Berhenti di Mojokerto untuk mengisi bensin dan memperbaiki sepeda motor yang rusak. Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju Mojoagung, Jombang, Kertosono, Nganjuk, Saradan, Caruban, Madiun, Ngawi, Sragen, dan Solo. Kemudian bersambung menuju Prambanan dan Yogyakarta.

Merk motor yang dikendarai para rijder saat itu antara lain; Ford 1950, Velocette, Ariel, Opel, dan Harley Davidson. Sepeda motor Harley Davidson dengan plat nomor L-3333 dikendarai oleh Krijgsman. Saat itu, Krijgsman menjabat sebagai bendahara dalam MSC, tulis De Vrije Pers, 9 November 1949.

Jumat, 02 Agustus 2024

Daun Remujung atau Kumis Kucing di Era Kolonial

Tanaman Daun Remujung atau Kumis Kucing tahun 1930-an

(Sumber: De Indische Mercuur, 23 Desember 1931)

Gaes, di negeri kita ada banyak tanaman herbal. Dari yang tidak berefek samping, sampai yang bisa bikin mabuk macam kecubung.

Pada tahun 1930-an, masyarakat Eropa cukup tertarik dengan pengobatan herbal. Tentu, ini bertolak belakang dengan tradisi mereka yang lebih dekat dengan pengobatan modern.

Namun, apa mau dikata. Sebagian fakta menunjukkan hal yang sebaliknya. Salah satu tanaman herbal yang diterapkan dalam pengobatan di Eropa yaitu daun Remujung atau Kumis Kucing. Tanaman yang tumbuh liar di negeri tropis Hindia Belanda.

Dikenal dalam Bahasa Latin Orthosiphon grandiflorus, atau juga Orthosiphon stamineus. Termasuk spesies tanaman dalam keluarga Lamiaceae atau Labiatae.

Bahkan, di akhir abad ke-19, herbal daun Remujung atau Kumis Kucing dapat ditemukan di apotek-apotek di Negeri Belanda. Surat kabar Het Nieuws van den dag, 10 Mei 1896 memuat berita iklan obat herbal Hindia. Dijual oleh I. M. Polak, seorang apoteker di N. Hoogstraat 28, Amsterdam. Dalam iklan tersebut tidak tercantum harganya. Di tahun 1940-an, per dus herbal daun Remujung dijual sebesar ƒ 2,25 gulden per bungkusnya.

Iklan Herbal Daun Remujung di Belanda tahun 1896

(Sumber: Het Nieuws van den dag, 10 Mei 1896)

Majalah De Indische Mercuur, 23 Desember 1931 memberitakan tanaman tersebut menjadi perhatian penting di Eropa dalam beberapa tahun terakhir. Dipercaya sebagai obat. Terletak pada daun dan ujung batangnya. Disiapkan dengan cara direbus dan diminum seperti halnya teh. Untuk mengobati gangguan ginjal dan kandung kemih. Karena itu, penduduk pribumi di Hindia Belanda kerap menyebutnya indische nierenthee, atau teh ginjal Hindia.

Dalam laporan Nederlands Pharmacopee ed. V 1926, menyebutkan ramuan tersebut di Belanda dikenal dengan nama Folia Orthosiphonis. Oleh Ned. Pharmacopee disebutkan belum termasuk ke dalam pengobatan resmi. Namun, banyak diminati oleh masyarakat yang membutuhkan. Stok ramuan indische nierenthee di Belanda (Eropa) selalu mengalami kekurangan. Karena pasokannya tidak mudah, dan tidak teratur pengirimannya dari Hindia Belanda, tulis De Indische Mercuur, 23 Desember 1931.

Deutsche Medizinische Wochenschrift 1927, melaporkan permintaan daun Remujung di Jerman meningkat sejak tahun 1926-1927. Peningkatan permintaan diduga karena penelitian A. Gurber dan muridnya, Schumann dan Westing. Tentang khasiat daun Remujung atau Kumis Kucing.

Bagi pemerintah kolonial, tentu menjadi potensi bisnis dan ekonomi. Karenanya, mulai dibuka secara khusus perkebunan yang menanam tanaman daun Remujung atau Kumis Kucing. Penanaman tersebut dipusatkan pada perkebunan di Jawa dan Sumatera. Salah satunya Medicinale Thee-plantage Tandjoeng Moelia, di dekat Medan (Deli).

Tanaman Orthosiphon grandiflorus di Perkebunan Era Kolonial

(Sumber: De Indische Mercuur, 23 Desember 1931)

Selasa, 02 Juli 2024

Sekitar Onderdistrik Puri

Peta Puri dan Sekitarnya tahun 1892

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Onderdistrik Puri pada peta tahun 1892 belum dibentuk oleh pemerintah kolonial. Lebih dulu pabrik gula atau suiker fabriek (SF) Tangunan dari onderdistrik Puri. Bahkan, lebih dulu jalur trem milik Modjokerto Stoomtram Maatschappij (MSM), lajur Badung-Tangunan. Yang dibangun untuk mengangkut bahan dan hasil produksi gula di SF Tangunan.

Pembentukan onderdistrik Puri melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 03 September 1901 No. 13. Tentang reorganisasi pemerintahan di wilayah Karesidenan Surabaya. Dimuat dalam Staatblad van Nederlandsch-Indie No. 328 Tahun 1901. Keputusan tersebut mulai berlaku pada 01 Desember 1901. Wilayah onderdistrik secara administrasi sama halnya dengan kecamatan saat ini. Saat itu wilayah onderdistrik dikepalai seorang asisten wedono, yang saat ini disebut camat.

Dalam keputusan tersebut, onderdistrik Puri merupakan bagian dari distrik Mojokerto. Selain Puri, yang termasuk ke dalam distrik Mojokerto pada tahun 1901 yakni onderdistrik Jabon, Sooko, dan Trowulan.

Menariknya, saat itu distrik Mojokerto tidak dikepalai seorang wedono. Tetapi dikepalai oleh Patih Mojokerto, yaitu Raden Panji Gondo Koesomo. Seperti dimuat dalam buku Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1902, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia (1902: 185). Padahal, sebelum tahun 1901 pemerintah kolonial mengangkat wedono yang khusus menjabat di distrik Mojokerto.

Tidak diketahui alasan dipilihnya Patih Mojokerto untuk menjabat sebagai wedono distrik Mojokerto. Apakah bagian dari bestuurshervorming atau reformasi birokrasi saat itu. Atau justru upaya efektif dan efisiensi anggaran pemerintah.

Namun, kasus pada distrik Mojokerto tidak sama dengan distrik Jombang. Untuk distrik Jombang, masih dijabat oleh wedono, bukan Patih Jombang. Artinya, jabatan tersebut hanya berlaku di Mojokerto.

Patih Mojokerto yang menjabat Wedono Mojokerto sampai tahun 1928. Dalam buku Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1929, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia tercatat mulai 18 Juli 1928 jabatan Wedono Mojokerto dijabat oleh Raden Prawirodiwirjo (1929: 325). Saat menjabat Wedono Mojokerto, beliau bukan Patih Mojokerto. Sejak saat itu, Patih Mojokerto tidak lagi menjabat sebagai Wedono Mojokerto.

Senin, 03 Juni 2024

Melawan Diskriminasi dari Mojowarno

Hollandsch-Inlandsche School atau HIS di Mojowarno

(Sumber: Het Zendingsblad, Van De Gereformeerde Kerken in Nederland Januari 1922)

Di zaman digital ini, dunia pencitraan menjadi keharusan. Eits, tunggu dulu, tahukah kalian jika penjajahan Belanda di Indonesia selalu tercitrakan negatif. Paling tampak jelas adanya diskriminasi lho. Tapi itu tidak bisa digeneralisasi gaes. Tidak semua yang berkaitan dengan Belanda selalu negatif. Contohnya di Mojowarno.

Melalui misi-misi keagamaan oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), citra Belanda boleh dibilang berdampak positif. Pada tahun 1851, NZG menjadikan Mojowarno sebagai pos zending. Di tempat ini citra kolonial yang negatif kalah dengan yang positif.

Nah, melihat sejarah dari perspektif Belanda itu juga penting. Onghokham (1999) dalam pengantar bukunya berjudul Runtuhnya Hindia Belanda, menyatakan sejarah kolonial tidak perlu dikesampingkan begitu saja. Kita harus mengakui bahwa pemerintah Belanda pernah ada di Indonesia dan merupakan sebagian dari sejarah kita sendiri (hlm. vii).

Beragam Jenis Sekolah

Citra positif terlihat pada misi keagamaan komunitas Kristen di Mojowarno. Salah satu tujuan dari misi zending adalah meningkatkan kebudayaan dan peradaban masyarakat. Dengan pelayanan di berbagai bidang kemasyarakatan. Seperti, pendidikan dan kesehatan.

Pada bidang pendidikan, di Mojowarno terdapat beragam sekolah. Dalam buku karangan C. W. Nortier (1939: 255-257), berjudul Onze Zendingsvelden: Van Zendingsarbeid Tot Zelfstandige Kerk in Oost-Java disebutkan beberapa sekolah yang ada di Mojowarno. Antara lain, Zendingschool atau Sekolah Kader (1851), Vervolgschool, Dessa-school, atau sekolah dasar (1854), Frobelschool, Sekolah Calon dan Taman Kanak-Kanak (1865), Sekolah Paramedis dan Juru Rawat atau Bidan (1895), Kweekschool, Naaischool, dan Sekolah Menjahit (1900), Hollandsch-Inlandsche School atau HIS (1919), Normalschool, Weefschool, dan Sekolah Tenun (1920), Sekolah Panti Wiraga (1934), Sekolah Panti Wara, Huishoudschool atau Sekolah Kepandaian Putri (1935), dan Opleidingschool (1937).

Ada banyak sekolah menunjukkan pentingnya daerah Mojowarno. Sekolah yang ada dapat dimanfaatkan oleh semua masyarakat. Seorang R. A. Kartini (1922: 412) dalam kumpulan surat-suratnya berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, menyatakan: “sekiranja orang memperhatikan dengan sebaik-baiknja hal keadaan pengadjaran, pendidikan, sekolah d.l.l di Modjowarno dan hasil kebaikan sekolah disitoe. Mengapakah maka sekolah-sekolah jang baik seperti di Modjowarno itoe tidak didapati joega di negeri-negeri jang lain ditanah Djawa?.”

Pujian Kartini tersebut sangatlah beralasan. Adanya misi zending telah mengangkat peradaban dan kebudayaan masyarakat di Mojowarno. Khususnya, melalui pelayanan para misionaris di bidang pendidikan.

Pemeriksaan mata di Zendingziekenhuis Mojowarno Tahun 1930

(Sumber: Het Zendingsblad, Van De Gereformeerde Kerken in Nederland Januari 1930)

Rumah Sakit Zending

Selain pendidikan, misi zending yang bermanfaat yaitu pelayanan kesehatan. Sebelum adanya poliklinik dan rumah sakit zending, para misionaris sering membagikan obat-obatan. Mereka mendatangi rumah-rumah penduduk di Mojowarno dan sekitarnya.

Keadaan semakin baik dengan berdirinya poliklinik pada tahun 1882. Kemudian, pada tahun 1892 dibangun rumah sakit zending. Tahun 1894 pembangunannya selesai. Rumah sakit zending atau zendingziekenhuis diresmikan dan dibuka pada 6 Juni 1894. NZG pun menugaskan seorang dokter bernama dr. H. Bervoets.

Zendingziekenhuis Mojowarno melayani beragam masyarakat. Dalam buku tulisan A. P. Ketel (1934) berjudul 1894 tot 1934: Veertig Jaren Medische Zending, Zendingsziekenhuis te Modjowarno, Tevens Beknopt Verslag Over Het Jaar 1933, disebutkan pada 1 Januari 1933 sampai 31 Desember 1933, ada sekitar 4.289 pasien yang berobat ke rumah sakit. Terdiri dari 3.041 pasien laki-laki, 1.248 pasien wanita dan anak-anak. Para pasien terdiri dari 3.510 orang yang beragama Islam, 495 orang beragama Kristen, dan 284 orang menganut aliran kepercayaan (hlm. 42).

Pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan oleh misi zending, membuktikan jika bangsa Belanda tidak selalu tercitrakan negatif. Justru para misionaris telah melawan tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh bangsanya sendiri.

Kamis, 02 Mei 2024

Wabah Influenza Tahun 1918 dalam Pembelajaran Sejarah

Sampul dan Isi Buku Lelara Influenza Terbitan Balai Pustaka Tahun 1920

(Sumber: Biro Literatur Balai Pustaka, 1920)

Bencana antropogenik bersumber dari malapetaka karena ulah manusia. Dalam catatan sejarah, bencana dalam kelompok ini pernah terjadi di Hindia Belanda. Misalnya: wabah cacar tahun 1558 di Ternate, wabah cacar tahun 1564 di Ambon, wabah demam tahun 1668 di Makassar, wabah kolera akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Pulau Jawa, typhus tahun 1880 di Jawa dan Sumatera, wabah malaria tahun 1882 di Jawa dan Sumatera, wabah demam tahun 1910-1911 di Surabaya dan Semarang, wabah pes tahun 1911-1916 di Malang, serta wabah influenza tahun 1918 di Hindia Belanda.

Wabah influenza pada tahun 1918 merupakan wabah paling mematikan pada awal abad ke-20. Walaupun demikian, wabah influenza yang pernah terjadi itu cenderung terlupakan. Bahkan, negara besar seperti Amerika Serikat. Alfred W. Crosby, menyebut fenomena hilangnya ingatan sejarah rakyat Amerika terhadap pandemi flu dengan sebut “peculiarities of human memory”, atau keganjilan dalam ingatan manusia, tulis Priyanto Wibowo (dkk) dalam buku berjudul Yang Terlupakan Pandemi Influenza Tahun 1918 di Hindia Belanda (Wibowo, 2009: 56).

Iklan Obat Influenza di Surat Kabar Tahun 1918

(Sumber: Sin Po, 28 dan 30 Oktober 1918)

Antara bulan Oktober sampai Desember 1918, sudah ada laporan bahwa virus telah menjangkiti penduduk di Jawa Timur. Hal ini didasarkan pada laporan zendingsziekenhuis (rumah sakit) Mojowarno, dan laporan Asisten Residen Banyuwangi.

Surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 4 Juli 1919 memberitakan jumlah kematian akibat wabah influenza di beberapa daerah. Tahun 1918 berjumlah 5.231 jiwa terdiri dari 151 orang Eropa, 716 orang Cina, dan 4.364 orang Pribumi. Tahun 1919 berjumlah 3.080 jiwa, terdiri dari 79 orang Eropa, 451 orang Cina, dan 2.550 orang Pribumi.

Menurut penelitian Niall Johnsons dan Juergen Mueller, dalam Bulletin of the history of medicine berjudul “Updating the Accounts: Global Mortality of the 1918-1920 Spanish Influenza Pandemic”, menyebutkan wabah influenza tahun 1918 di Indonesia (Hindia Belanda) mengakibatkan jumlah kematian sekitar 1,5 juta jiwa. Dengan perbandingan jumlah populasi saat itu sekitar 49 juta jiwa (2002: 112).

Pembelajaran sejarah kesehatan penting dipelajari peserta didik. Bukan hanya mengajarkan bagaimana usaha mencegah resiko bencana antropogenik (wabah influenza). Paling tidak mengingatkan ancaman wabah yang bisa terjadi kapan saja. Seratus tahun setelah wabah influenza 1918, pada tahun 2019 dunia diguncang pandemi Covid. Menghentikan beberapa waktu aktivitas manusia. Memporak-porandakan perekonomian negara di hampir semua belahan dunia.

Ingat, peristiwa sejarah terkadang dekat sekali dengan teori siklus. Ia bisa berulang dengan pola yang sama. Dalam ruang dan waktu (peristiwa) yang berbeda.

Senin, 01 April 2024

JAN PIETERSZOON COEN MELARANG PERGUNDIKAN

Lukisan Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Hasrat seksual bagi manusia menjadi kebutuhan pokok. Jika tidak disalurkan bisa berbahaya. Tak terkecuali para pendatang bangsa Eropa. Yang mulai masif berdatangan sejak awal abad ke-16. Awalnya bangsa Eropa yang datang hanya laki-laki saja. Tinggal dan menetap dalam waktu yang lama. Karenanya mereka butuh pasangan hidup.

Banyaknya kaum laki-laki Eropa yang datang, tidak sebanding dengan jumlah wanitanya. Karena itu dibutuhkan pasangan dari wanita setempat. Untuk menyalurkan birahi seksual mereka. Wanita-wanita itu populer disebut nyai. Jumlahnya pun bisa lebih dari satu. Biasa disebut dengan istilah pergundikan. Mereka hidup bersama layaknya suami-istri, namun tanpa ikatan perkawinan yang sah di mata hukum.

Kebiasaan menyimpan wanita sebagai gundik, sebenarnya bukan hal baru. Pada zaman imperium Hindu-Budha dan Islam sudah ada. Para raja dan sultan biasa memiliki banyak wanita. Di belakang sang permaisuri, ada banyak selir. Akibatnya mempunyai banyak anak. Tak jarang suksesi kepemimpinan kerap diwarnai perang. Saling berebut untuk menggantikan sang penguasa. Situasi tersebut, menurut Onghokham (2018) pakar sejarah Jawa, dalam buku Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang, karena tidak jelasnya aturan pergantian penguasa (hlm. 51-55).

Tetapi ini bukan soal pergundikan masa imperium di Jawa. Soal pergundikan yang dilakukan oleh orang Eropa. Sejak VOC memindahkan kantornya di Batavia, sudah marak pergundikan. Para pegawai VOC, dari tingkat rendah sampai tinggi, kerap memelihara nyai. Biasanya wanita itu juga sebagai pembantu sang majikan.

Lukisan Pengurus Rumah Tangga (Nyai) Sekitar Tahun 1853-1855

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Kebutuhan Pergundikan

Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC tahun 1618-1623 dan 1627-1629, menyadari pentingnya menyediakan wanita-wanita Eropa. Sebagai pasangan hidup para pegawai VOC. Dalam buku tulisan Leonard Blusse (2004), berjudul Persekutuan Aneh Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC, dikatakan Coen menulis surat kepada Heren XVII. Meminta dikirim wanita-wanita Eropa dari kalangan yang baik-baik. Serta, mengusulkan para keluarga Belanda untuk beremigrasi ke Batavia (hlm. 301). Upaya ini pun tidak berhasil. Sebab, laki-laki Eropa di Batavia tetap lebih senang memelihara para nyai.

Bagi kalangan pegawai VOC, sistem pergundikan lebih fleksibel. Banyak di antara pegawai itu tidak selamanya tinggal di Hindia Timur. Suatu ketika mereka akan kembali ke Belanda. Di Hindia Timur hanya bekerja mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Nyai atau gundik yang mereka pelihara, akan ditinggalkan begitu saja.

Maraknya pergundikan di Batavia, membuat resah sang Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen. Dikutip dari buku tulisan Reggie Baay (2017), berjudul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, dalam surat Coen pada 11 Desember 1620. Dikatakan bahwa seorang gundik malas (kecuali dalam hal seks), bodoh, pembohong, dan bahkan mematikan. Dan karena kebenciaannya, seorang gundik bahkan dapat membunuh orang lain (hlm. 13-14).

Penguasa Batavia itu sangat membenci pergundikan di kalangan pegawai VOC. Bahkan, ia pun membenci seorang gundik. Menurutnya pergundikan adalah perilaku janggal, tidak terkendali, dan membahayakan kepentingan kolonial. Ia kemudian mengeluarkan larangan memelihara gundik. Baik di rumah, tempat tinggal, atau tempat lainnya. Larangan ini mulai berlaku pada 11 Desember 1620, tulis Reggie Baay (2017: 2).

Nyai dan pergundikan saat itu tercitrakan negatif. Namun, menjadi kebutuhan sebagian kalangan laki-laki bangsa Eropa. Untuk melampiaskan kebutuhan biologis mereka. Selain itu, secara naluri seorang laki-laki tentu berharap mendapatkan keturunan. Bersama wanita simpanan mereka. Walaupun anak-anak hasil pergundikan juga tercitrakan negatif.

Anak-anak yang lahir di Hindia Timur, tidak selamanya buruk. Di antara mereka itu ada yang sukses. Karena perhatian sang ayah yang dari bangsa Eropa. Seperti Dirck van Cloon, yang mendapat pendidikan hingga negeri Belanda. Setelah kembali dari Belanda, ia menjadi pengusaha yang sukses (Reggie Baay, 2017: 15). Di kemudian hari, Dirck van Cloon mampu menduduki jabatan Gubernur Jenderal VOC tahun 1732-1735.

Rabu, 27 Maret 2024

Live in Social: Belajar Bareng Penduduk Desa Manduro

Bersama Orang Tua Asuh di Desa Manduro tahun 2016

(Sumber: Dokumen Pribadi)

Pendidikan tidak boleh tercerabut dari akarnya. Akar itu adalah masyarakat. Bagaimana pendidikan turut berkontribusi atas kualitas hidup masyarakat. Pendidikan harus menjadikan masyarakat sebagai sumber belajar.

Untuk itu, kegiatan pembelajaran yang mengkorelasikan (menghubungkan) antara materi pelajaran dengan kehidupan nyata sehari-hari senantiasa perlu dilakukan. Salah satunya dengan aktivitas pembelajaran kontekstual, atau “Contextual Teaching and Learning” (CTL).

Menurut Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, dalam bukunya berjudul Teori Belajar dan Pembelajaran, menyatakan pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan nyata sebagai anggota keluarga dan masyarakat (2009: 201).

Salah satu bentuk aktivitas pembelajaran yang mengkaitkan antara pendidikan dengan realitas sosial adalah kegiatan pembelajaran terpadu berbasis riset di Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur pada tahun 2016. Pembelajaran ini dilakukan oleh peserta didik dengan kegiatan observasi partisipan bersama penduduk Desa Manduro. Selama tiga hari dua malam di tengah masyarakat.

Membantu Orang Tua Asuh Bekerja Menjemur Jagung tahun 2016

(Sumber: Dokumen Pribadi)

Selain karena letaknya yang tidak terlalu jauh, Desa Manduro dipilih karena mempunyai faktor keunikan, terutama untuk kajian ilmu sosial dan humaniora. Penduduk Desa Manduro merupakan kelompok pendatang dari etnis Madura. Berdasarkan riwayat setempat, mereka telah menetap cukup lama, dan termasuk yang mendirikan desa tersebut. Dari segi multikultural, penduduk di Desa Manduro yang mayoritas Orang Madura, berada di tengah-tengah kelompok mayoritas yang beretnis Jawa.

Peserta didik menerapkan metode penelitian sosial seperti; observasi dan interview. Dalam kegiatan ini, para peserta didik menerapkan metode “participant as observer” (observasi partisipan), atau bisa juga disebut pengamatan terlibat, tulis Harsja W. Bachtiar (1990: 119-120) dalam tulisanya berjudul “Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian”, dalam, buku yang dieditori Koentjaraningrat berjudul Metode-Metode Penelitian Masyarakat.

Kegiatan tersebut tidak hanya tentang belajar melakukan penelitian sosial. Tetapi memberikan pengalaman yang berbeda. Menyentuh hati peserta didik. Bahwa, di tengah hidupnya yang nyaman, masih ada sebagian masyarakat hidup dengan sederhana dan keterbatasan.

Sabtu, 23 Maret 2024

AIR ANUGERAH BUKAN MUSIBAH: BELAJAR PENGENDALIAN AIR DI MAJAPAHIT

Letak geografis Trowulan sebagai Ibukota Majapahit

(dok: Alifah, dalam Inajati Idrisijanti, 2014: 46)

Hari-hari kini dan yang akan datang, air selalu menjadi persoalan penting. Seringkali diberitakan, air membawa malapetaka. Banjir menerjang berbagai tempat di Indonesia. Tidak mengenal kota atau desa. Hampir semuanya merasakan bencana banjir. Biasanya terjadi ketika musim penghujan pada masa puncaknya.

Namun, tetap menjadi persoalan juga saat musim kemarau tiba. Kemarau yang panjang mengakibatkan kelangkaan air. Di mana-mana, hampir di seluruh bagian wilayah Indonesia terjadi krisis air bersih. Inilah yang akhirnya membuat manusia justru menganggap air sebagai musibah.

Belajar dari imperium kuno yang berada di wilayah Mojokerto bernama Kerajaan Majapahit. Tentang pengendalian air. Dari segi geomorfologi, Penempatan ibukota Majapahit di Trowulan sebenarnya mengandung resiko tingkat tinggi. Penyebabnya keberadaan Trowulan di ujung kipas aluvial Jatirejo. Setiap musim penghujan akan cukup banyak tercurahkan material vulkanik ke arah ibukota Majapahit.

Hal itu dibenarkan oleh A. S. Wibowo dalam tulisannya di Majalah Arkeologi II/3, berjudul Fungsi Kolam Buatan di Ibukota Majapahit, menyebutkan ibukota Majapahit dahulu seringkali dilanda banjir. Banjir mengarah ke beberapa titik penting di sekitar ibukota kerajaan. Seperti; areal persawahan, pemukiman penduduk, tempat penyeberangan, dan lain-lain.

Foto udara terkait keberadaan kanal, saluran air, dan kolam

(dok: http://geoarkeologi.fib.ugm.ac.id)

Kurang lebih 800 tahun yang lalu, Majapahit telah berupaya melakukan pengendalian air. Penelitian Wanny Rahardjo Wahyudi berjudul Pengendalian Air di Kota Majapahit menyebutkan ada lima buah waduk, enam kanal yang jalurnya membujur dari utara ke selatan, delapan kanal yang jalurnya melintang dari barat ke timur (2003: 30-31).

Dari hasil penafsiran foto udara yang dibuat Bakosurtanal menunjukkan adanya tanggul dan saluran buatan yang membelokkan arah aliran sungai asli ke kanal-kanal, tulis Kardono Darmoyuwono (1981: 6) dalam laporan penelitiannya berjudul Penerapan Teknik Penginderaan Jauh untuk Inventarisasi dan Pemetaan Peninggalan Purbakala Daerah Trowulan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Karina Arifin pun dalam makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA IV) berjudul Sisa-sisa Bangunan Air Zaman Kerajaan Majapahit di Trowulan, menafsirkannya sebagai saluran pengelolaan air (1986: 176).

Adanya saluran irigasi buatan dan alamiah, material vulkanik yang terbawa banjir dapat dikendalikan. Perlu penataan ruang dan tata kota yang ramah. Agar dampak destruktif air dapat dikelola. Mitologi Samudramanthana merupakan pengendalian air dari aspek spiritual. Membentuk karakter manusia zaman Majapahit untuk berkolaborasi dengan alam, terutama soal air.

Selasa, 19 Maret 2024

Bertahan Hidup dari Krisis Pangan Penjajahan Jepang

Ilustrasi Memasak Keong Sawah dan Bekicot

(Sumber: https://travel.kompas.com/read/2020/04/22/190800927)

Kehebatan manusia dibanding makhluk hidup lainnya adalah kemampuannya beradaptasi. Maka dari itu, sebenarnya teori pembelajaran yang adaptif masih lebih baik dari teori diferensiasi.

Mengajarkan pentingnya adaptasi tentu lebih berkelanjutan. Teori diferensiasi tidak merubah fakta, bahwa kenyataannya manusia memang berbeda. Sedangkan, teori adaptif mengajarkan manusia untuk beradaptasi. Terhadap segala perubahan yang terjadi. Sehingga manusia berhasil melewati berbagai tantangan hidup.

Krisis pangan masa pendudukan Jepang menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi. Khususnya bagi penduduk yang tinggal di Pulau Jawa. Walaupun makanan yang dikonsumsi berkalori rendah, tetapi penduduk masih dapat bertahan. Mereka mengkonsumsi bahan pangan pengganti beras, yang saat itu memang sulit didapatkan. Berikut tabel tingkat kalori makanan yang dikonsumsi penduduk Jawa, yang berasal dari penelitian Pierre van der Eng berjudul Food Supply in Java during War and Decolonisation, 1940-1950 (1994: 26);

Kalori yang tersedia di Jawa tahun 1940-1950(Kal per kapita per hari)

(dok: Pierre van der Eng, 1994: 26)

Berdasarkan tabel di atas, konsumsi yang berkalori pada masa pendudukan Jepang mengalami penurunan. Khususnya yang berasal dari konsumsi beras. Akan tetapi, untuk tetap bertahan hidup, penduduk Jawa mengganti menu makanan yang berbahan jagung, singkong, kedelai, dan ubi jalar.

Bahkan, beberapa bahan pangan yang sebelumnya tidak dimakan juga dimanfaatkan. Seperti; bonggol dan batang pohon pisang dan pepaya, daun singkong, dan badur (akar semacam keladi). Untuk pengganti protein, bekicot juga menjadi menu santapan, Aiko Kurasawa dalam bukunya berjudul Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 (2015: 116-117).

Hal itu, sejalan dengan pernyataan Moeljo Oembari (kelahiran tahun 1930-an), saksi mata zaman penjajahan Jepang di daerah Mojoagung. Untuk bertahan hidup bersama keluarga harus memanfaatkan ubi jalar sebagai sumber pangan pengganti beras (Wawancara, Jum’at 1 Juni 2018).

Di sisi lain, pemerintah pendudukan Jepang hanya melakukan propaganda untuk mengatasi krisis pangan. Melalui organisasi bentukannya, seperti tonarigumi dan fujinkai menyuarakan slogan “menu perjuangan”. Makanan ini disebut “bubur perjuangan”, yang terdiri dari campuran ubi, singkong, dan katul (Aiko Kurasawa, 2015: 116).

Pemerintah pendudukan Jepang masih tetap melarang perdagangan beras di pasar. Tentu, alasan paling masuk akal, beras lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan perang. Daripada dikonsumsi secara bebas oleh penduduk Jawa.

Meskipun penduduk Pulau Jawa mengalami masa-masa sulit, namun mereka tetap bertahan. Mereka beradaptasi dengan mengkonsumsi bahan pangan pengganti beras. Seperti; jagung, singkong, kedelai, ubi jalar, bonggol dan batang pohon pisang dan pepaya, daun singkong, dan badur (akar semacam keladi dan beracun).

Sebagai pengganti protein, penduduk juga memakan daging bekicot. Bahan-bahan pangan tersebut hingga hari ini masih dikonsumsi penduduk di Pulau Jawa. Daging bekicot dapat diolah sesuai selera, digoreng, disate atau disayur.

Rabu, 13 Maret 2024

Tuyul Pengumpul Harta Kekayaan

Potret Onghokham dalam Buku Onze Ong

(Sumber: Sampul Buku Onze Ong, Komunitas Bambu)

Dalam suatu simposium sejarah di Cornell University, Amerika Serikat sekitar bulan Juli 1990. Sejarawan Dr. Onghokham menjadi salah satu pematerinya. Ia menulis tentang kepercayaan akan Tuyul dalam masyarakat Indonesia. Saat menjelaskan materinya, tidak semua orang tahu tentang Tuyul dalam simposium. Ia mengatakan “Tuyul is the black child with a bald-headed like me…” Sambil mengelus kepalanya yang gundul.

Almarhum Pak Ong sapaan akrabnya. Salah satu sejarawan nyentrik generasi pengajar sejarah tahun 60-an sampai 90-an. Cukup berani ia menulis tentang Tuyul. Apalagi dalam suatu simposium internasional. Apa yang ditulis Pak Ong, bagi sejarawan yang terlalu teoritis dan metodologis dianggap biasa saja.

Sebaliknya, dalam pengantar buku tulisan Onghokham berjudul Madiun dalam Kemelut Sejarah, Priyayi dan Petani di Karesidenan Madiun Abad XIX, Peter Carey sejarawan dari Oxford University, Inggris memujinya. Peter Carey terkenang dengan ucapan Pak Ong. Mengatakan: “sejarah adalah studi tentang individu, bukan tentang struktur, sistem, atau institusi… pengalaman manusia kaya, amat kaya, untuk dikaji oleh suatu metodologi saja”. Ini yang kemudian menginspirasi Peter Carey menyusun disertasi S3 di Oxford tentang Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa (2018: xix).

Sama dengan Peter Carey. Saya menulis sejarah juga banyak terpengaruh oleh Pak Ong. Terutama tentang historiografi. Pasca kemerdekaan, para Begawan sejarah menyusun historiografi indonesiasentris. Sebaliknya, Pak Ong tetap pada pendirian bahwa historiografi kolonial tidak boleh dikesampingkan, tulis Onghokham dalam kata pengantar bukunya berjudul Runtuhnya Hindia Belanda (1999: vii). Bagaimanapun juga sejarah kolonial adalah bagian dari sejarah nasional kita.

Sejarah itu berkisah tentang pengalaman manusia. Termasuk tentang Tuyul. Penulisan tentang Tuyul bermula dari penelitian Clifford Geertz. Seorang antropolog yang di tahun 1950-an meneliti masyarakat Jawa di Mojokuto (saat ini Pare). Saat itu ia sedang menempuh studi antropologi sosial di Harvard University, Amerika Serikat.

Informan dalam penelitiannya menyebut Tuyul adalah makhluk halus anak-anak. Tuyul tidak menggangu, menakuti orang atau membuatnya sakit. Justru Tuyul sangat disenangi manusia. Karena membantu manusia menjadi kaya. Tuyul bisa disuruh mencuri uang. Bisa menghilang dan bepergian jauh hanya dalam sekejap mata. Tentu tidak akan mengalami kesulitan dalam mencari uang untuk tuannya, tulis Clifford Geertz dalam bukunya berjudul Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (2014: 10).

Sebagian besar informan Geertz di Mojokuto, menyebutkan ada tiga orang kaya raya yang memelihara Tuyul. Seorang jagal kaya, perempuan pengusaha tekstil, dan saudagar kaya yang disebut haji (2014: 17). Penelitian Clifford Geertz merupakan karya etnografi yang menarik. Namun, untuk menjadi data sejarah dengan akurasi yang kuat tentu butuh data pembanding. Sangat mungkin, kebiasaan orang Jawa melihat orang lain (tetangganya) kaya dengan menuduhnya memelihara Tuyul. Hal ini yang kemudian melemahkan etos kerja orang Jawa.

Minggu, 10 Maret 2024

AIR DALAM TRADISI JAWA KUNO DI MAJAPAHIT

Patirtaan atau Candi Tikus tahun 1933

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Dalam bahasa Jawa Kuno terdapat kata “er”, “air”, atau “her”, yang berarti air. Pada kitab Nagarakretagama, terdapat istilah “mantri air haji” yaitu pejabat yang bertugas mengawasi sejumlah krsyan yang terdiri atas Sampud, Rupit, Pilan, Pucangan, Pawitra, Jagaddita, Butun, arca-arca lingga, saluran-saluran air (pranala) dan pancuran (jaladwara) yang dikeramatkan. Sedangkan, istilah “air haji” merupakan pejabat yang mengurusi air suci milik raja. Tempat sumber air suci disebut patirtaan (patirthan). Air ini dipercaya dapat menghilangkan bermacam klesa (rintangan) dan kotoran, tulis Agus Aris Munandar, dalam bukunya berjudul Ibukota Majapahit: Masa Kejayaan dan Pencapaian (2008: 15). Barangkali, jika dilihat dari aspek spiritual yang dimaksud kotoran adalah dosa.

Unsur air memang tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan masyarakat saat itu. Agus Aris Munandar juga menekankan, berdasarkan analisa cerita pada relief candi di Jawa, digambarkan gentong batu berisi air di bawah pohon kalpawreksa. Dimaksudkan agar para dewa yang turun dapat menetap dalam air di gentong batu. Air tersebut menjelma menjadi air amerta yang disemayami para dewa (2008: 64). Bisa dikatakan jika air amerta merupakan air suci. Biasanya digunakan untuk ritual keagamaan.

Selain untuk ritual kepercayaan, air juga berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan duniawi. Seperti; konsumsi, irigasi pertanian dan perkebunan, sarana transportasi air, dan lain-lain. Air untuk konsumsi penduduk di ibukota kerajaan sudah higienis. Terbukti dari temuan beberapa sumur kuno di daerah Trowulan.

Iklan Wisata Jolotundo di Pesanggrahan Trawas tahun 1929

(Sumber: De Indische Courant, 3 Desember 1929)

Dalam penelitian Wanny Rahardjo Wahyudi berjudul Pengendalian Air di Kota Majapahit, terkait dengan irigasi persawahan tercatat pada beberapa prasasti. Antara lain; prasasti Jiyu I (1486 M) berisi tentang perluasan batas tanah untuk sawah, prasasti Jiyu IV (1486 M) tentang biaya mengairi sawah, prasasti Jayasong Jayapatra (1350 M) tentang perebutan sawah, prasasti Karang Bogem (1387 M) tentang pejabat-pejabat pengelola air atau irigasi (2003: 24-25).

Masyarakat masa Majapahit juga berupaya untuk beradaptasi dengan lingkungan alam. Khususnya terkait dengan air. Apalagi, daerah Trowulan yang diyakini sebagai ibukota Majapahit saat itu berada di daerah rawan bencana. Berdasarkan letaknya, dahulu sering dilanda banjir akibat dari luapan air dan lahar, tulis A. S. Wibowo dalam Majalah Arkeologi berjudul Fungsi Kolam Buatan di Ibukota Majapahit (1977: 44).

Untuk mengurangi dampak banjir dan bahkan mengalihkannya, maka dibuatlah beberapa bangunan dan saluran air. Sehingga, dampak destruktif dari bencana alam dapat dihindari. Di satu sisi, air merupakan sumber kehidupan bagi semua mahkluk hidup.

Jumat, 08 Maret 2024

Klik Ngopi

Mencari dan Menemukan Ruang Tersenyum bersama Kopi

(Sumber: Dokumen Pribadi)

Ketika berada di tempat baru, pertama yang harus ditemukan adalah ruang masuk jaringan sosial. Perlu menemukan suasana yang nyaman. Untuk mengalihkan beban. Namun, memberikan ruang belajar adaptasi. Ruang itu bisa dalam bentuk ngopi bareng. Santai tetapi ada banyak sumber informasi awal yang masuk. Informasi awal dapat menjadi langkah pijakan awal beradaptasi di tempat baru.

Bagi orang yang belajar ilmu sosial dan humaniora, jaringan sosial sangat penting. A. L. Epstein dalam tulisannya “The Network and Urban Social Organization” yang dieditori oleh J. Clyde Mitchell berjudul Social Network in Urban Situations diterbitkan oleh Manchester University Press, mengatakan setiap jaringan sosial pada dasarnya selalu bersifat egosentris dan personal. Oleh karena itu, kesatuan hubungan-hubungan yang terbentuk senantiasa bersifat khas bagi tiap-tiap individu (1971: 109). Individu akan mendapatkan pengalaman yang berbeda tentunya.

Klik Ngopi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jaringan sosial. Tiap individu akan mencari ruang untuk belajar. Dengan memperbanyak “mendengar” informasi awal. Apakah kemudian individu akan memutuskan pilihan yang paling menguntungkan bagi dirinya? Di sinilah ujian sosial dan kepribadian dimulai. Sebab, definisi “menguntungkan” dapat bermakna ganda.

Menguntungkan karena jaringan sosial menjadi wadah bertemunya beragam individu. Ada beragam kepentingan yang di bawa. Namun, kepentingan yang relatif sama di antara individu akan membentuk suatu kumpulan manusia yang teratur saling berhubungan, berinteraksi, dengan tingkah laku yang relatif tetap (berpola). Pada gilirannya akan menjadi kelompok sosial. Kumpulan manusia berjumlah dua orang atau lebih, dengan pola interaksi yang nyata dan sebagai satu kesatuan, tulis Soekandar Wiraatmadja dalam bukunya berjudul Rural Sosiology (1976: 46). Artinya, Klik Ngopi tidak lain bagian dari kumpulan manusia. Dalam sosiologi sering disebut kelompok sosial. Para pembelajar sepangjang hayat akan menempatkan Klik Ngopi sebagai tempat belajar.

Demikianlah bahwa belajar dapat terjadi di mana saja. Dalam kegiatan ngopi sekalipun. Memaknai suatu aktivitas dengan positif tentu lebih baik. Sebab, bagi saya mencari dan menemukan ruang tersenyum lebih berharga.

Senin, 04 Maret 2024

Kolaborasi Belajar Sejarah Bersama Teman Sejawat

Foto Kegiatan Bersama Panitia dan Peserta Bedah Buku Japanan Festival 2024

(Sumber: Dokumen Pribadi)

Tahun ini merupakan tahun pertama saya di SMAN 1 Puri Mojokerto. Ketika pertama kali masuk, saya bertemu teman sejawat yang sama-sama mengajar sejarah. Namanya Bapak M. Mahfudi, yang juga baru pertama masuk di sekolah baru. Pindah tugas dari Maluku, sebagai guru yang berjuang di garis depan daerah terluar. Kami memiliki minat yang sama. Sama-sama ingin belajar sejarah dan membangun tradisi literasi. Karenanya, kami mengikuti kegiatan literasi di mana saja.

Salah satu cara mengimplementasikan budaya literasi dapat dilakukan di mana saja. Termasuk dapat dilakukan di luar kegiatan KBM di sekolah. Bekerjasama dengan komunitas literasi di sekitar sekolah. Kompas atau komunitas pelestari sejarah merupakan komunitas sejarah di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kegiatan utama dengan membedah buku sejarah lokal.

Bagaimanapun mendekati peserta didik dengan menggandeng komunitas literasi di luar sekolah merupakan salah satu cara mendekatkan dunia literasi kepada anak-anak Generasi Z. Buku yang dibedah adalah karya penulis sendiri, berjudul “Mojowarno dan Komunitas Multikultural Tahun 1864-1931”. Kegiatan ini dilaksanakan pada 2 Maret 2024 di acara J-Fest Desa Japanan, Mojowarno Kabupaten Jombang.

Menggugah budaya literasi penting dilakukan, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Terkadang anak-anak kurang memaksimalkan potensi literasinya di dalam sekolah. Karena berbagai faktor tentunya. Nah, kegiatan ini dapat menjadi alternatif untuk menumbuhkembangkan literasi yang dilakukan di luar sekolah. Potensi literasi peserta didik sesungguhnya luar biasa besar. Mereka pun pembaca yang kuat sebenarnya, namun potensi ini terkadang kurang mendapatkan apresiasi.

Strategi menggandeng komunitas literasi di luar sekolah tentu bertujuan sama dengan literasi di dalam sekolah. Sebab, muaranya adalah bagaimana peserta didik dapat dekat dengan literasi. Mereka dapat membaca, berdiskusi, dan akhirnya mampu menulis atau membuat karya literasi.

Kamis, 01 Februari 2024

Kelaparan dan Kematian Era Pendudukan Jepang

Seperti bantuan sosial (bansos) beras yang dikorupsi saat ini. Rakyat sengsara di masa penjajahan Jepang juga karena korupsi beras. Penelitian wawancara A. B. Lapian dan J. R. Chaniago yang kemudian menjadi buku berjudul Di bawah Pendudukan Jepang: Kisah Empat Puluh Dua Orang yang Mengalaminya, menyebutkan tindakan korupsi dalam pendistribusian beras muncul dilakukan oleh staf-staf Kumiai (1988: 25).

Selain korupsi, Jepang saat menduduki Indonesia melakukan perampasan padi. Rakyat harus menyerahkan padi kepada Jepang. Dengan komposisi 40% untuk petani, 30% untuk Jepang, dan 30% untuk cadangan.

Kekurangan bahan pangan di Jawa disebabkan harus mengganti beras yang gagal dikirim karena tenggelam di Laut Jawa. Serta, diperuntukkan juga untuk jatah romusha, baik yang ada di Pulau Jawa maupun di luar Jawa, tulis Aiko Kurasawa, dalam bukunya berjudul Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 (2015: 107-108).

Masyarakat yang kekurangan gizi

(dok: Aiko Kurasawa, 2015: 117)

Temuan Aiko Kurasawa dalam penelitiannya di Jawa tersebut, terkait menurunnya kesejahteraan penduduk dapat dibenarkan. Bahan pangan, terutama beras sangat sulit didapatkan. Kalaupun ada, di pasar gelap harganya cukup mahal. Sehingga, sebagian besar rakyat tidak mampu membelinya.

Sampel yang digunakan untuk meninjau kemiskinan dan kelaparan di Jawa, dengan membandingkan petani pemilik sawah dengan petani penggarap sawah. Masih cukup beruntung petani pemilik sawah. Hasil panen dari 0,5 hektar luas sawah, menghasilkan 10 kuintal beras. Diberikan kepada petani penggarap (bawon) sebanyak 2 kuintal. Tersisa 8 kuintal. Kuota yang harus diserahkan kepada Jepang sebesar 2,4 kuintal (30%). Tersisa 5,6 kuintal. Untuk bibit musim tanam berikutnya 0,5 kuintal. Tersisa 5,1 kuintal, atau beras sekitar 357 kg. Jika keluarga tersebut terdiri enam anggota, maka masing-masing mendapat jatah 60 kg beras. Konsumsi harian per kapita sekitar 164 g, per orang (Aiko Kurasawa, 2015: 115-116). Sedangkan, petani penggarap hanya mendapat 2 kuintal. Harus menghidupi keluarga, menyetor padi kepada Jepang, dan membayar hutang. Hal ini yang memicu terjadinya penyakit busung lapar karena kekurangan gizi.

Bencana kelaparan di Jawa masa pendudukan Jepang berkorelasi secara langsung dengan tingkat fertilitas dan mortalitas. Seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini;

(dok: Aiko Kurasawa, 2015: 118-119)

Tingginya tingkat kematian di Jawa terjadi pada tahun 1944. Dengan jumlah kematian mencapai 1.423.000 jiwa. Dimungkinkan, tahun 1944 Jepang bertindak lebih ekploitatif terhadap penduduk Jawa. Apalagi, pada tahun itu Jepang terus terdesak oleh pasukan Sekutu. Ancaman kekalahan dalam Perang Pasifik membuat Jepang bertindak lebih keras. Khususnya, dalam urusan bahan makanan (beras) yang dibutuhkan untuk mendukung perang.

Jumat, 05 Januari 2024

DARI BEDOG KE SURINAME

Orang Jawa di Suriname tahun 1894

(Sumber: https://geheugen.delpher.nl/nl/geheugen/view/javaanse-immigranten-depot)

Diaspora orang Jawa di Suriname cukup banyak. Mereka ini datang ke Suriname di bawa sejak era kolonial. Gelombang pertama migrasi sejak kedatangan mereka di Suriname pada 9 Agustus 1890, seperti yang tertulis dalam kemlu.go.id. Dalam penelitian Hary Sulistyo, dkk dalam Jurnal Kawisastra UGM menyatakan bahwa meskipun menjadi diaspora yang jauh dari homeland, namun tetap terhubung sebagai Jawa yang terus mereka pertahankan secara identitas kultural (2020: 365). Kini mereka tinggal dan menetap di Suriname, di Benua Amerika yang jauh dari negeri nenek moyangnya di Pulau Jawa.

Seperti tercatat dalam Algemeene Secretarie Templaar No. 1031 (Arsip ANRI), dasar melakukan migrasi ke Suriname melalui Keputusan Kerajaan Belanda 22 Maret 1872 No. 27. Dengan kontrak kerja selama lima tahun, yang setelah itu mereka diperbolehkan kembali ke tanah air. Kecuali mereka yang telah menerima premi.

Mereka yang didatangkan dari Pulau Jawa akan bekerja di sektor pertanian, perkebunan, dan pertambangan. Menurut Yusuf Ismael dalam bukunya berjudul Indonesia Pada Pantai Lautan Atlantik, menyebutkan pengiriman orang Jawa ke Suriname tahun 1890-1939 (49 tahun) dengan jumlah total 32.956 orang (1955: 30). Mereka yang di bawa ke Suriname berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Salah satunya berasal dari wilayah Mojokerto.

Sadan Penduduk Desa Bedog Dikirim ke Suriname tahun 1920-an

(Sumber: https://www.nationaalarchief.nl/sites/default/files/ntimages/NT00346/resources/hds-java-photos/ww/ww1276.jpg)

Informasi menarik tentang penduduk onderdistrik Puri ada yang dikirim ke Suriname. Bernama Sadan, yang berasal dari Desa Bedog. Ia menandatangani kontrak kerja ke Suriname pada 27 Maret 1920 sampai 27 Maret 1925. Dengan Kontrak Kode WW1276. Berangkat dari Semarang menuju Paramaribo, Suriname dengan menaiki Kapal Merauke. Saat itu ia masih berusia 23 tahun. Usia seseorang yang masih produktif bekerja.

Berdasarkan keterangan dalam foto arsip yang dikeluarkan nationaalarchief.nl disebutkan ia memperpanjang kontrak kerjanya. Diperpanjang mulai 15 Mei 1925 sampai tahun 1930-an. Bekerja di perusahaan perkebunan Waterloo & Hazard, Nickerie Suriname. Tidak diketahui apakah kemudian ia kembali pulang saat kontrak kerjanya habis. Namun demikian, dari informasi dalam keterangan fotonya ia mendapatkan premi. Yang artinya kemungkinan besar tidak kembali ke Pulau Jawa.