Kamis, 08 Juni 2023

PEDAGANG DAN MINDERING: JEJAK NAGA DI JAWA

Pedagang Klontong Cina di Batavia Sekitar Tahun 1850-an

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/855504)

Sejak semasa kuliah, saya memiliki minat meneliti tentang orang-orang Tionghoa. Meskipun, saya sendiri bukanlah orang Tionghoa, melainkan Jawa tulen berkulit gosong. Waktu itu, akibat membaca buku biografi Oei Tiong Ham (1866-1924), berjudul “Oei Tiong Ham Concern: The First Business Empire of Southeast Asia”, dieditori oleh Yoshihara Kunio (1989). Oei Tiong Ham adalah orang Tionghoa kaya raya dan memiliki perusahaan berskala internasional yang berasal dari Semarang. Salah satu cabang perusahaan berkantor di Singapura. Buku tersebut mengajak pemikiran saya menelusuri perihal jatuh bangun seorang imigran dari Cina di tanah perantauan dalam membangun jaringan bisnis.

Para penulis sejarah menyebut Oei Tiong Ham sebagai raja gula (sugar lord). Jadilah proposal penelitian tentang jaringan perdagangan orang-orang Tionghoa di Jawa. Masih teringat, sekitar 30 kali bolak-balik konsultasi, pada akhirnya gagal. Alasan utama penguji proposal karena telah sering ditulis mahasiswa sejarah. Tak patah arang, semenjak lulus pun saya masih kerap menulis tentang orang Tionghoa. Tentu, dengan cara saya sendiri.

Hubungan Cina-Jawa sudah terjalin cukup lama. Bahkan, jauh sebelum kedatangan sosok Laksamana Ceng-Ho ke Jawa di awal abad ke-15. Artinya, Ceng-Ho bukanlah orang pertama yang menjalin hubungan dengan Jawa, terutama pemerintahan di Jawa Timur (dalam hal ini Tamwlang-Kahuripan hingga Majapahit). Meski, kisah tentang Ceng-Ho begitu populer, karena misi diplomasi. Memang benar, pasca kedatangan Ceng-Ho, gelombang migrasi orang-orang Tionghoa ke Nusantara (termasuk Jawa) semakin besar. Apalagi, kurun waktu abad ke-18, 19 dan awal abad ke-20. Ketika, pemerintah jajahan (baik VOC dan Belanda) membutuhkan tenaga-tenaga mereka, untuk mengerakkan perekonomian.

Letnan Cina Mojokerto Tan Djoe An Mendapat Penghargaan Tahun 1918

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/921473)

Imigran Cina di Jawa

Dr. Priyanto Wibowo, salah satu pakar sejarah Cina dari Universitas Indonesia (UI), dalam suatu seminar mengemukakan pendapatnya, bahwa secara umum orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari bagian tenggara Cina, yakni; provinsi Guangdong dan Fujian. Mereka terdiri dari orang Hakka, Hainan, Hokkien, Kanton, Hockchia, dan Tiochiu. Di Jawa, banyak bermukim orang Hakka, Hokkien, dan Hockchia.

Pintu gerbang masuknya orang-orang Tionghoa melalui pantai utara Jawa. Jejak sejarah mereka menghiasi kota-kota di pesisir utara Jawa, seperti; Tuban, Lasem, Kudus, Semarang, Tegal, Pekalongan, Cirebon, dll. Banyak peninggalan benda (arsitektur bangunan) dan aspek sosial (komunitas) berada di tempat-tempat tersebut. Bahkan, dalam perkembangannya, mereka masuk hingga jantung di kota-kota pedalaman Jawa.

Catatan historis tertua, masa Dinasti Sung (960-1279 M), menyebut kedatangan utusan dari Jawa (992 M), mereka membawa upeti dipersembahkan kepada kaisar Cina. Maksud pemberian upeti tidak begitu jelas, apakah sebagai wujud tunduk atau upaya negosiasi menjalin hubungan dagang. Pada periode ini, pusat politik Jawa berada di Jawa Timur. Namun, tidak jelas siapa penguasa Jawa yang memerintah.

Tahun 1129, kaisar Cina menganugerahkan 2.400 rumah untuk tempat penyimpanan perbekalan bagi pelaut dan pedagang Jawa. Kebijakan tersebut dapat diartikan sebagai bentuk penghormatan kaisar Cina, serta begitu pentingnya perniagaan kala itu bagi negeri Cina. Data tekstual yang berasal dari Jawa (prasasti) tidak ditemukan terkait adanya hubungan dengan Cina. Hanya, beberapa daerah yang dekat dengan Cina tercatat pada prasasti. Seperti; Campa di Vietnam dan Khmer atau Kamboja (Prasasti Cane, 1021 M).

Data tekstual Jawa baru mencatat orang-orang Tionghoa tahun 1365, dalam uraian Kitab Nagarakretagama atau Desawarnana oleh Mpu Prapanca, berikut kutipannya pada pupuh 83; “…hentunyanantara sarwwa jana teka sakenganyadesa prakirnna, nang Jambudwipa Khamboja Cina Yawana len Campa Kharnnatakadi, Goda mwang Syangka tang sangkanika makahawan potra milwing wanik sok, Bhiksu mwang wipra mukyan hana teka sinungan bhoga tustan panganti…”. Dikatakan, bahwa mereka datang ke Jawa dalam jumlah besar tanpa peduli dengan jarak yang jauh.

Pulau Jawa benar-benar menarik perhatian bangsa asing saat itu. Eksotisme, keramahan sosial, dan kekayaan pulau Jawa, menjadi destinasi pendatang dari Cina dan negeri-negeri lain. Magnet penarik para saudagar, khususnya berasal dari negeri Cina. Di satu sisi, keadaan ekonomi dan situasi politik tidak kondusif (kerapkali terjadi perang saudara) mendorong orang-orang Tionghoa bermigrasi ke Jawa.

Awalnya mereka bermukim di daerah pesisir utara Jawa. Gresik menjadi salah satu pusat komunitas mereka. Nama Gresik dalam bahasa Cina, Ts’e Ts’un, dan kemudian diganti menjadi Sin Ts’un yang berarti desa baru. P.J Veth (1896), dalam bukunya berjudul “Java, Geographisch, Etnologisch, en Historisch”, menyebut di pelabuhan Gresik ramai diperdagangkan barang-barang, seperti; porselen, sutera, dan lain-lain yang berasal dari Cina.

Pedagang Klontong Cina di Batavia Sekitar Tahun 1930-an

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/791605)

Dari Niaga Hingga Cina Mindering

Perniagaan orang-orang Tionghoa bergeser ke daerah pedalaman. Menyusuri area di sekitar aliran sungai Brantas. Sebab, lembah Brantas merupakan daerah subur dan banyak pemukiman penduduk. Sejak lama, daerah ini menjadi hunian strategis masyarakat, seperti tercatat pada Prasasti Kamalagyan (1037 M). Temuan-temuan arca terakota di situs bekas ibukota Majapahit, yang menggambarkan sosok pria dan wanita Tionghoa, merupakan bukti kuat meyakinkan bahwa orang-orang Tionghoa bermukim juga di ibukota Majapahit. Termasuk, temuan mata uang Cina juga semakin memperkokoh hipotesis tersebut.

Hingga kini kota-kota di sekitar Brantas, seperti; Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang memiliki tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi. Tak heran jika di masa penjajahan Belanda banyak sekali perkebunan tebu dan industri gula. Pada akhir abad ke-19, Belanda secara besar-besaran membuka lahan untuk perkebunan tebu. Tak pelak, Karesidenan Surabaya menjadi penghasil utama gula di pulau Jawa.

Jumlah penduduk yang banyak, dan roda perekonomian berputar dengan baik, menarik minat orang-orang Tionghoa bermukim di sekitar lembah Brantas. Mereka turut menggerakkan perekonomian, khusus dalam hal perniagaan. Kepandaian dagangnya tidak didapatkan begitu saja, namun melalui kerja keras, ulet, dan tangguh. Semangat dominan yang mesti dimiliki seorang “entrepreneur”. Pada awal abad ke-20, di pulau Jawa populer dengan keberadaan “Cina Mindering”, yakni orang-orang Tionghoa yang memberikan kredit baik berupa barang, uang, atau dalam bentuk lainnya kepada penduduk dengan pembayaran kembali secara bertahap (angsuran).

Menurut V.B. Van Gutem (1919), dalam bukunya berjudul “Tjina Mindering: eenige aanteekenigen over het Chineesche gelschieter swezen op Java”, menyebutkan bahwa “Cina Mindering” yang beroperasi di Mojokerto adalah orang Hok Tsjia berjumlah 25, dan Hok Tsjioe berjumlah 40. Sedangkan, di Jombang adalah orang Hok Tsjioe berjumlah 115.

Kini, kehidupan mereka pun tidak dapat dipisahkan dari aktivitas ekonomi. Kawasan pusat-pusat perbelanjaan di Mojokerto dan Jombang tidak lain merupakan tempat tinggal mereka. Seperti di jalan Majapahit Mojokerto, dan jalan Gus Dur dan A. Yani Jombang. Orang-orang Tionghoa membentuk komunitas dagang di tempat tersebut. Jaringan bisnisnya bernilai milyaran rupiah per hari. Mereka mampu bertahan dari hantaman gelombang zaman. Kita pun, tanpa harus malu, mengucapkan terima kasih karena telah menggerakkan perekonomian masyarakat dan Negara.

Toko-toko di Jombang dan Studio Foto Lie Yok Man Sekitar Tahun 1929-an

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/840717)