Senin, 04 Desember 2023

TRANSPORTASI AIR MASA JAWA KUNO

Relief kapal pada panel candi Borobudur sekitar abad ke-9 M

(dok: Repro A.B. Lapian, 2008)

Pemanfaatan sungai dan laut sebagai jalur pelayaran tidak hanya sekedar hipotesis belaka. Ada banyak data sejarah yang mendukung teori tersebut. Bukti otentik terkait pelayaran terdapat pada relief kapal atau perahu pada panel relief candi Borobudur. Artinya, sejak masa Mataram Kuno Jawa Tengah, antara abad ke-7 sampai ke-9 Masehi masyarakat Jawa telah mengenal pelayaran. Termasuk, cara bagaimana mereka membuat kapal atau perahu.

Di Pulau Jawa banyak sekali bahan baku pembuatan kapal atau perahu. Kayu jati (Tectona Grandis) merupakan bahan baku utama pembuatan kapal atau perahu di Jawa. Selain jumlahnya banyak, kayu jati mempunyai keunggulan, terkait aspek kekuatan kayunya. Kapal atau perahu dari kayu jati tampaknya dapat tahan lama. Maka dari itu, di pesisir utara Jawa terdapat tempat-tempat pembuatan dan perbaikan kapal. Industri pembuatan dan perbaikan kapal sudah ada sejak masa Jawa kuno.

Data prasasti juga menyebutkan aktivitas penggunaan kapal atau perahu. Baik yang memanfaatkan sarana sungai maupun laut, yaitu; prasasti Gulung-Gulung (929 M), prasasti Saranan (929 M), prasasti Linggasuntan (929 M), prasasti Turryan (929 M), prasasti Jeru-Jeru (929 M), prasasti Candi Lor (935 M), prasasti Wimalasrama (masa Mpu Sindok), prasasti Cane (1021 M), prasasti Baru (1030 M), prasasti Turunhyan A (1035 M), prasasti Kamalagyan (1037 M), prasasti Gandhakuti (1042 M), prasasti Patakan (masa Airlangga), prasasti Mananjung (diperkirakan abad ke-11 M), prasasti Kambang Putih (1093 M), prasasti Hantang (1135 M), prasasti Jarin (1181 M), prasasti Balawi (1305 M), prasasti Tuhanaru (1323 M), prasasti Canggu (1358 M), dan prasasti Waringin Pitu (1447 M). Seperti yang ditulis oleh Hedwi Prihatmoko (2011), dalam skripsinya berjudul Pengelolaan Transportasi Air Abad X Sampai XV Masehi di Jawa Timur Berdasarkan Sumber Prasasti (hlm. 40-64).

Dalam penelitian J. W. Christie (1982: 515-521) berjudul Patterns of Trade in Western Indonesia: Ninth Through Thirtheenth Centuries A.D (Vol. I & II), yang menterjemahkan prasasti Wimalasrama menyebutkan:

“maramwan tlung ramẃan, parahu 6, masunghᾱra 6 kunang ikang hiliran, akiran agöng 6, akirin tᾱ 8, mbᾱtᾱmbᾱ 6, amayang 6 amukét kakap 6 amukét arp 6, atadah 6 anglamboan 6, amaring..”

Artinya: pedagang yang menggunakan rakit/perahu kayuh (batasnya) 3 pedagang, perahu (batasnya) 6, perahu sungai (dengan tiang?) (batasnya) 6, pedagang hilir sungai (batasnya) 6, perahu pengangkut barang-barang besar (batasnya) 6, perahu pengangkut obat-obatan (batasnya) 8, nelayan dengan pukat paying (batasnya) 6, nelayan kakap (batasnya) 6, nelayan kerapu (batasnya) 6, atadah (batasnya) 6, nelayan dengan perahu lambo (batasnya) 6, amaring.

Nama-nama perahu berdasarkan bentuknya

(Repro, Hedwi Prihatmoko, 2011: 85)

Pentingnya Sarana Penyeberangan

Selain nama-nama perahu, uraian pada prasasti juga menyebutkan suasana hati para nahkoda dan pedagang. Ditulis oleh Ninie Susanti (2003) dalam penelitiannya berjudul Airlangga: Raja Pembaharu di Jawa Pada Abad Ke-11 M (hlm. 423). Seperti yang terpahat pada prasasti Kamalagyan (1037 M), berikut penggalan kalimatnya:

“..rikᾱn para puhᾱwan para banyaga sańkᾱriŋ dwīpᾱntara sama ńunten ri hujuŋ galuh ikań anak thᾱni Śakawᾱhan kadédétan sawahnya atyanta sarwwasukha ni manahnya makᾱnta ta sawaha muwah sawahnya kabeh an pinunyan”.

Artinya: demikian para nahkoda (puhawan) dan pedagang dari pulau lain bertemu di Hujung Galuh. Penduduk yang tanah pertaniannya terkena banjir sangat senang hatinya karena berakhirlah banjir itu dan dengan ini seluruh hasil sawahnya dapat dimiliki.

Informasi tersebut memperlihatkan pentingnya pelayaran di Sungai Brantas. Para pedagang pun menyusuri lembah Sungai Brantas (bisa juga di Sungai Bengawan Solo) untuk mendatangi pusat-pusat ekonomi di pedalaman Jawa. Tentu ada perbedaan terkait penggunaan jenis kapal. Berbeda dengan pelayaran di laut yang membutuhkan kapal-kapal berukuran besar. Pelayaran di Sungai Brantas dan Bengawan Solo tentunya menggunakan kapal-kapal yang ukurannya relatif kecil. Kapal ukuran kecil atau perahu dapat bermanuver di aliran sungai yang dangkal dan tidak terlalu lebar.

Pada uraian prasasti terdapat beberapa istilah yang terkait dengan alat transportasi air, seperti; parahu, sunghar, tundan, galah, ramwan, langkapan, wlah, banawa, panggagaran, joron, kétpak, lambu, kuńjalan, amayang, dan lancang. Seperti yang ditulis oleh Adrian B. Lapian (2008) dalam bukunya berjudul Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 (hlm. 49-50).

Nama-nama kapal atau perahu tersebut yang digunakan di Jawa (terutama Jawa Timur) saat itu. Jenisnya beranekaragam dan tentu disesuaikan untuk penggunaannya. Ada yang untuk transportasi di sungai dan ada juga untuk transportasi di laut. Ada yang digunakan mengangkut barang, mencari ikan, dan penyeberangan di sungai.

Penyeberangan di sungai banyak diuraikan dalam prasasti. Daerah-daerah penyeberangan, baik di Sungai Bengawan Solo dan Brantas jumlahnya sangat banyak. Para penguasa Jawa kuno telah memperhatikan pentingnya tempat-tempat penyeberangan.

Dalam penelitian Ninie Susanti (2007), berjudul Pengelolaan Transportasi Pada Masa Jawa Kuno Abad VIII-XV: Kajian Arkeologi disebutkan pertama kali tercatat pada prasasti Telang (893 M) terkait dengan pembuatan tempat penyeberangan di Paparahuan (pinggiran Sungai Bengawan Solo) dan penjagaannya, sehingga Desa Telang-Mahe-Paparahuan dijadikan Sima (hlm. 14). Pada masa berikutnya, perhatian terhadap tempat-tempat penyeberangan semakin meningkat.

Puncaknya pada masa imperium Majapahit, dengan dikeluarkannya sebuah prasasti oleh Raja Hayam Wuruk. Prasasti yang ditemukan di Canggu, wilayah utara Mojokerto. Prasasti Canggu (1358 M) berisi nama-nama tempat penyeberangan di seluruh Jawa, yang menjadi wilayah inti Majapahit. Raja memerintahkan tempat-tempat tersebut untuk dijaga atau dirawat. Adapun petugas penyeberangan saat itu yang disebut dengan “anambangi”.

Penyeberangan Sungai Brantas di Megaluh Jombang Sekitar Tahun 2019

(Sumber: https://radarjombang.jawapos.com/nasional/66989925)

Kamis, 02 November 2023

RIWAYAT KOPI DI KAKI PEGUNUNGAN ANJASMORO

Petak Lahan Kopi di Pegunungan Anjasmoro Tahun 1890

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/790255)

Tanaman kopi di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Secara intensif diperkenalkan saat Pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan Cultuur Stelsel atau tanam paksa (1830-1870).

Bahkan, ketika kebijakan tanam paksa dihapus, hanya tanaman kopi yang masih diwajibkan untuk ditanam oleh penduduk. Khususnya di daerah Priangan. Hal ini, dikarenakan komoditas kopi sangat menguntungkan bagi pemerintah kolonial saat itu. Meskipun pada akhirnya dihapus dari tanam paksa, namun penduduk masih terus menanam kopi.

Salah satu daerah penghasil kopi di masa itu adalah Karesidenan Surabaya. Dalam Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie tahun 1901, Karesidenan Surabaya terdiri dari beberapa afdeeling, antara lain: Surabaya, Jombang, Sidoarjo, Mojokerto, Gresik, dan Lamongan. Daerah yang cocok untuk tanaman kopi berada di distrik Jabung, afdeeling Mojokerto. Yang secara kontur daerahnya termasuk wilayah pegunungan. Dikenal dengan nama Pegunungan Anjasmoro.

Dalam Staatsblad Van Nederlandsch-Indie tahun 1879 No. 188, pemerintah kolonial mulai melakukan penanaman kopi secara intensif di Karesidenan Surabaya. Bahkan, berdasarkan Staatsblad Van Nederlandsch-Indie tahun 1883 No. 263, area perkebunan kopi terus diperluas hingga distrik Jabung. Pada periode ini, sebagian besar wilayah distrik Jabung berada di daerah pegunungan. Bahkan, daerah Wonosalam saat itu termasuk ke dalam wilayah administrasi distrik Jabung.

Dari tahun 1870-an sampai 1890-an, ada beberapa onderdistrik yang intensif ditanami kopi yaitu: Jatirejo, Gondang, Mojogeneng, Trawas, Pacet, dan Celaket. Berdasarkan dokumen-dokumen kolonial, jenis kopi yang ditanam adalah kopi Liberika. Jenis kopi Liberika inilah yang di kemudian hari menurunkan jenis kopi Excelsa.

Tercatat pada Staatsblad Van Nederlandsch-Indie tahun 1890 No. 115, di distrik Jabung terdapat sekitar 26 perkebunan kopi. Beberapa yang terdaftar secara resmi yaitu perkebunan Jembul, Blentreng, Begagan, Gumeng, Dlundung, Kali Jarak, Dampak, Banyon, Jae, Segunung, Mendiro, Pengajaran, Sumber, dan lain-lain.

Perkebunan-perkebunan kopi tersebut berada di lereng Pegunungan Anjasmoro. Berada di tengah-tengah hutan belantara, dan berhawa sejuk. Pohon kopi berada di bawah tanaman hutan, seperti pohon pinus, jati, durian, nangka, dan lain-lain. Wonosalam saat itu masih menjadi bagian dari wilayah administratif distrik Jabung. Kemudian, pada tahun 1901 menjadi bagian distrik Bareng.

Pembukaan Lahan untuk Tanaman Kopi di Perkebunan Sumber tahun 1900-an

(Sumber: https://collectie.wereldculturen.nl/?query=search=*=TM-10012154)

Pada tahun 1913, tertulis pada Indisch Verslag 1931 Statistich Jaaroverzicht van Nederlandsch Indie Over het Jaar 1930, bahwa harga kopi di Surabaya per 100 kg sebesar f 61,68 gulden. Lebih mahal dibandingkan harga gula yang saat itu berkisar f 12,59 gulden per 100 kg. Berarti harga kopi saat itu per 1 kg sebesar f 1,62 gulden. Karenanya tanaman kopi tetap dipertahankan sebab menguntungkan secara ekonomi bagi pemerintah kolonial.

Bagi pemerintah kolonial tanaman kopi tentu sangat penting. Untuk itu, dibentuk petugas khusus yang menangani kopi yang disebut mantri koffie. Bertugas untuk menerima setoran kopi dari para petani dan sekaligus mengawasi proses penjualannya. Penduduk wajib menjual kopinya kepada pemerintah kolonial. Dalam koran Tjahaja Timoer (19 November 1917), pada saat menjalankan tugasnya di lapangan, mantri koffie mendapatkan uang jalan, sebesar f 15 sen dan upah sebesar f 60 sen. Jadi, total upahnya dalam satu bulan f 75 sen.

Pasca Indonesia merdeka, pada tahun 1958-an dilakukan nasionalisasi perkebunan milik Belanda. Secara otomatis bekas perkebunan milik Belanda menjadi milik pemerintah Indonesia. Termasuk bekas-bekas perkebunan yang juga dimiliki oleh swasta Belanda. Pada akhirnya dikuasai oleh penduduk setempat, yang sebagian masih meneruskan penanaman kopi hingga saat ini.

Jenis kopi Liberika yang pertama kali ditanam oleh pemerintah kolonial, mengalami penyesuaian dengan iklim dan tanah di Pegunungan Anjasmoro. Kini kopi itu dikenal dengan nama kopi Excelsa, turunan dari kopi Liberika, yang ditanam Belanda sekitar 140 tahun yang lalu.

Buah dan Tanaman Kopi Liberika di Dusun Blentreng Tahun 2022

(Sumber: dokumen penulis)

Kamis, 05 Oktober 2023

TAN DJOE AN: LETNAN CINA MOJOKERTO (1897-1918)

Kapitan Cina Mojokerto Tan Djoe An Sekitar tahun 1918

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/921473)

Belum diketahui dengan pasti sejak kapan pertama kali migrasi orang-orang Tionghoa ke Nusantara. Namun, gelombang migrasi sudah dilakukan sejak lama. Mereka bermukim di berbagai tempat di Nusantara, termasuk di Pulau Jawa. Pada mulanya mereka banyak bermukim di daerah pesisir utara Jawa. Menurut Victor Purcell, dalam bukunya The Chinese in South East Asia dikatakan di era Pemerintahan Hindia Belanda banyak orang Tionghoa yang sengaja didatangkan. Hal itu dilakukan oleh Belanda karena kebutuhan akan tenaga kerja. Untuk menambah jumlah kebutuhan tenaga kerja dalam proyek pertambangan dan perkebunan (1997: 33).

Puncak persebaran orang-orang Tionghoa di Jawa terjadi pada awal abad ke-19. Di mana, di Kota Batavia saja ada sekitar 100.000 orang Tionghoa. Sedangkan, jumlah penduduk di Pulau Jawa saat itu diperkirakan sekitar 5 juta jiwa, tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2002: 55).

Sedangkan, dalam buku Uitkomsten Der In De Maand November 1920 Gehouden Volkstelling, Deel II Tabellen, pada awal abad ke-20 di Mojokerto terdapat 1.989 jiwa penduduk Tionghoa. Terdiri dari 1.108 penduduk laki-laki, dan 881 penduduk perempuan (1922: 52-53). Jumlah ini hanya yang ada di Kota Mojokerto, belum termasuk di onderdistrik Jabon, Puri, Sooko, dan Trowulan. Yang saat itu termasuk ke dalam wilayah administrasi distrik Mojokerto. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan mereka bermukim di Mojokerto.

Di sisi lain, jumlah mereka semakin banyak dan menjadi penguasa jaringan perdagangan saat itu. Karenanya, pemerintah kolonial sangat khawatir terhadap eksistensi mereka. Untuk membatasi geraknya, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan wijkenstelsel dan passenstelsel. Membagi pemukiman dan kewajiban mempunyai surat jalan.

Konsekuensi dari kebijakan wijkenstelsel adalah terpusatnya pemukiman orang-orang Tionghoa di suatu daerah. Pemukiman mereka seringkali disebut Pecinan. Biasanya berada di pusat kota dan merupakan daerah perdagangan yang strategis.

Dari Letnan Cina Sampai Kapitan Cina

Untuk mempermudah Pemerintah Hindia Belanda dalam menjalankan pemerintahan, dijalankanlah kebijakan sistem opsir. Mona Lohanda dalam bukunya The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942, menyebutkan sistem jabatan tersebut awalnya dari jabatan syahbandar. Kemudian berkembang menjadi sistem kapitan saat Belanda berkuasa (2001: 40-61). Dalam susunan jabatan, selain Kapitan Cina ada juga Letnan Cina dan Mayor Cina.

Pemerintah kolonial yang menunjuk mereka untuk menjabat sebagai opsir. Dengan jabatan kapitan, letnan, atau mayor. Biasanya yang ditunjuk merupakan orang yang kaya di antara etnis Cina lainnya. Dari kekayaan itulah yang menjadi ukuran akan penghargaan yang tinggi, dan pengaruh di antara etnis Cina, tulis Onghokham dalam bukunya Rakyat dan Negara (1991: 33). Pemerintah kolonial memasukan orang Tionghoa dalam kelompok Vreemde Oosterlingen, atau golongan timur asing. Sehingga perlu mengangkat pemimpin di antara kelompok tersebut.

Demikian pula terjadi pada Letnan Cina Tan Djoe An, yang seorang pedagang kaya di Mojokerto. Dalam buku Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1898, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia, ia mulai menjabat sebagai Letnan Cina Mojokerto pada 29 Juli 1897 (1898: 184). Kabar pengangkatannya juga dimuat dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, 30 Juli 1897. Dikatakan bahwa ia menggantikan Letnan Cina sebelumnya, yakni Goei Hok Tjin. Kemudian, Goei Hok Tjin diberikan sebutan Letnan Cina tituler bagi bangsanya setelah pensiun. Tan Djoe An menjabat sebagai pemimpin dalam Bestuur over Vreemde Oosterlingen, atau pemerintahan untuk orang timur asing, khususnya orang Tionghoa di afdeling Mojokerto.

Berdasarkan informasi dari surat kabar Soerabaijasch Handelsblad, 02 Januari 1894, 08 Desember 1897, 22 Oktober 1898, 24 Juli 1899, 25 Januari 1900, dan 30 Agustus 1905, Tan Djoe An mempunyai toko yang juga diberi nama Toko Tan Djoe An. Toko tersebut menjual berbagai macam jenis makanan, minuman, dan kebutuhan lainnya. Seperti: petis udang (merk Liem Boen Tiong), bir (cap Glas), air beraroma buah-buahan, sabun, buah apel, obat, susu, dan lain-lain. Termasuk mendapatkan lisensi penjualan berbagai produk.

Dalam perjalanan kariernya di pemerintahan, Tan Djoe An pernah juga menduduki jabatan sebagai anggota dewan daerah Surabaya. Seperti diberitakan dalam surat kabar Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indie, 21 Maret 1908. Rencana pengangkatannya sebagai anggota dewan daerah Surabaya pada 01 April 1908. Saat itu afdeling Mojokerto merupakan bagian dari Karesidenan Surabaya. Dalam buku Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1913, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia, ia tidak lagi disebut Letnan Cina. Tetapi disebut dalam jabatannya sebagai Kapitan Cina tituler (1913: 179). Artinya, ia sudah mendapatkan kenaikan jabatan menjadi Kapitan Cina sejak tahun 1912.

Tan Djoe An menjabat Letnan dan Kapitan Cina Mojokerto dalam waktu yang cukup lama. Pada tahun 1917, ia mendapatkan penghargaan Gouden Ster (bintang emas) dari pemerintah. Karena kesetiaan dan pengabdiannya kepada pemerintah kolonial, dan juga pelayanannya dalam menjalankan tugas, tulis surat kabar De Nieuwe Vorstenlanden, 29 Oktober 1917. Jika merujuk pada foto saat pemberian penghargaan, dihadiri oleh pejabat tinggi Eropa dan pribumi di afdeling Mojokerto. Seperti: Residen Surabaya, Asisten Residen Mojokerto R. A. Kern, dan Bupati Mojokerto Raden Tumenggung Kromo Adinegoro.

Meskipun sudah memasuki masa pensiun, Kapitan Cina tituler Tan Djoe An masih tercatat menjabat sampai tahun 1918. Setahun setelah memperoleh penghargaan bergengsi dalam pemerintahan, kabar duka menyelimuti komunitas Tionghoa Mojokerto. Terutama dari keluarga besar Kapitan Cina Mojokerto Tan Djoe An. Surat kabar De Locomotief, 13 Juni 1918 memberitakan meninggalnya Tan Djoe An yang dimuat dalam iklan duka oleh istri dan anak-anaknya. Ia meninggal dalam usia 62 tahun pada 10 Juni 1918. Ditulis dalam berita duka bahwa ia merupakan Kapitan Cina tituler dan juga pernah menjadi anggota dewan daerah Surabaya.

Pasca meninggalnya Tan Djoe An, pemerintah kolonial kemudian mengangkat Ong Tiang Sing sebagai Letnan Cina Mojokerto pada 03 Juli 1918, seperti dimuat dalam buku Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1919, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia (1919: 181). Demikian riwayat singkat Tan Djoe An, Kapitan Cina tituler Mojokerto yang pernah menjabat selama sekitar 20 tahun.

Sabtu, 02 September 2023

Jelle Eeltjes Jellesma: Misionaris NZG Pertama di Mojowarno (1851-1858)

J. E. Jellesma dan Lukisan Rumahnya di Mojowarno

(Sumber: C. W. Nortier, 1939)

Di era kolonial, Mojowarno pernah menjadi tempat penting bagi misi zending. Khususnya, yang berada di bawah naungan Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG). Sebab, NZG pernah mempunyai pos zending di tempat itu.

Dalam buku tulisan Jan Willem Gunning berjudul Hedendaagsche Zending In Onze Oost: Uitgegeven Door Den Boekhandel Van Den Zendingsstudie Raad, disebutkan bahwa NZG merupakan perhimpunan pekabaran Injil yang didirikan di Rotterdam Belanda pada 19 Desember 1797. Dengan wilayah kerja di beberapa daerah, seperti; Maluku, Minahasa, Timor, Tanah Karo, Poso, Jawa TImur, dan Bolaang-Mongondow (1914: 120-122).

Tidak mudah mendapatkan izin membuka pos zending di Pulau Jawa. Selama itu, misi zending selalu diarahkan ke wilayah timur Hindia Belanda. Namun, NZG akhirnya dapat membuka pos zending di Mojowarno, Jawa Timur. Gubernur Jenderal Hindia Belanda memberikan izin NZG membuka pos di Mojowarno. Kemudian mengirimkan misionarisnya yang pertama di Mojowarno, yaitu J. E. Jellesma tahun 1851, seperti yang ditulis oleh J. Kruijt, dalam bukunya berjudul Jelle Eeltjes Jellesma: Apostel Van Java (1872: 57-79).

Dikatakan oleh J. Kruijt (1872: 3) bahwa Jellesma dilahirkan pada 13 Mei 1816, di Hitzum sebuah desa kecil di Kota Friesland dekat Franeker, Belanda. Sejak remaja perilakunya sederhana dan sangat religius.

Pada tahun 1841, Jellesma mulai belajar sebagai misionaris di Rotterdam, Belanda. Tahun 1843, ia mengikuti ujian dan dinyatakan lulus sebagai misionaris. Kemudian ia ditugaskan ke Hindia Belanda. Pada akhir tahun 1843, ia bersama dua orang misionaris (Donselaar dan Vermaasen) berangkat menuju Batavia. Awalnya ia dikirim ke Pulau Seram, Ambon. Setelah menikah dengan Susanna Bar pada tahun 1848, ia kemudian menuju Surabaya. Sebelumnya ia telah mempelajari Bahasa Jawa, tulis J. Kruijt (1872: 15-43). Ia mempelajari Bahasa Jawa karena akan bertugas di wilayah Karesidenan Surabaya.

Peta Kristenisasi di Jawa Abad Ke-18 Sampai Ke-20

(Sumber: Denys Lombard, 2005: 99)

Misi Zending di Mojowarno

Dalam suatu laporan zending berjudul Maandberight Van Het Nederlandsche Zendelinggenootschap, “betrekkelijk de uitbreiding van het Christendom, bijzonder onder de Heidenen”, 1850 No. 4 dikatakan jika Jellesma mendapatkan surat dari seorang Kepala Desa Mojowarno pada November 1848. Isinya tentang adanya komunitas Kristen di Mojowarno yang berjumlah enam puluh orang. Mereka menginginkan dibaptis di Mojowarno, karena di antaranya terdapat lansia dan anak-anak sehingga tidak dapat pergi ke Surabaya. Setelah mendapat persetujuan dari Residen Surabaya, akhirnya Jellesma memutuskan pergi ke Mojowarno (hlm. 54-55).

Sekitar bulan Juli 1851, ia datang dan menetap di Mojowarno. Selama bekerja sebagai misionaris di Mojowarno, Jellesma tidak mengambil alih kepemimpinan jemaat Kristen. Ia justru bekerjasama dengan Paulus Tosari yang memimpin jemaat Kristen dari kalangan masyarakat Jawa. Di samping itu, ia juga butuh belajar Bahasa Jawa kepada Paulus Tosari, sekaligus sebagai penterjemahnya, seperti ditulis dalam laporan zending (1850 No. 4: 55).

C. W. Nortier dalam bukunya berjudul Onze Zendingsvelden: Van Zendingsarbeid Tot Zelfstandige Kerk in Oost-Java menyebutkan pada masa Jellesma ada sekitar 100 murid sekolah dasar di Mojowarno (1939: 50). Jellesma memang punya minat yang tinggi terhadap pendidikan. Karena itu, ia mulai dengan membuka sekolah zending. Di satu sisi, ia memang memiliki keahlian sebagai guru misionaris. Bekal ilmu yang dulu pernah ia pelajari selama sekolah di Rotterdam, Belanda.

Menurut J. Kruyt, pada masa ia menjalankan tugas sebagai misionaris di Mojowarno tahun 1855, terdapat sekitar 425 jemaat Kristen di tempat itu. Mereka tersebar di Mojowarno, Mojowangi, Mojoroto, dan Mojojejer (1872: 65-69).

Selain tentang pendidikan, Jellesma juga menaruh perhatian terhadap kesehatan. Terbukti dari laporan tulisannya yang terkadang mengulas tentang lingkungan yang tidak sehat di sekitarnya. Sering muncul penyakit demam yang menjangkiti penduduk. Penyakit yang juga merenggut nyawanya.

Pada 16 April 1858, Jellesma meninggal dunia pada pukul 4 pagi. Meninggalkan seorang istri dan dua orang anak, seperti berita duka dari Susanna Bar yang ditulis dalam surat kabar Java-Bode, 24 April 1858. Ia meninggal karena terserang penyakit demam dan disentri yang cukup parah, tulis C. W. Nortier (1939: 53).

J. E. Jellesma dimakamkan di Desa Mojoroto, pada tanah milik Karolus Wiryoguno. Salah satu tokoh penting dalam pembukaan pemukiman pertama kali di Mojowarno.

Makam J. E. Jellesma Misionaris NZG pertama di Mojowarno

(Sumber: Dokumentasi Sekolah/Tugas Pembelajaran Sejarah, 2019)

Jumat, 04 Agustus 2023

Raden Singgih Wirjosoegondho: Wedono Mojoagung (1935-1938)

Wedono Mojoagung Raden Singgih Wirjosoegondho Sekitar tahun 1937

(Sumber: F. A. W. van der Lip, 1937)

Raden Singgih, atau nama panggilan lainnya Wirjosoegondho pernah menjabat Wedono Mojoagung. Pada tahun 1935 sampai tahun 1938. Sebelum menjabat sebagai Wedono Mojoagung, beliau seringkali pindah tugas.

Dalam surat kabar Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 09 Desember 1927 disebutkan bahwa Raden Singgih atau nama lainnya Wirjosoegondho diangkat sebagai wedono di wilayah Karesidenan Madiun. Sebelumnya ia menjabat sebagai asisten wedono yang juga berada di wilayah Madiun. Berdasarkan berita tersebut, artinya beliau memperoleh kenaikan jabatan. Dari asisten wedono menjadi wedono.

Jika merujuk pada buku Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1929, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia, beliau diangkat sebagai Wedono Sumoroto, Kabupaten Ponorogo. Diangkat sebagai Wedono Sumoroto sejak 29 November 1927. Distrik Sumoroto dulunya merupakan Kabupaten. Namun, sejak tahun 1876 kabupaten tersebut dihapus oleh pemerintah kolonial, tulis Ong Hok Ham dalam bukunya berjudul Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Karesidenan Madiun Abad XIX (2018: 102).

Raden Singgih Wirjosoegondho mulai menjabat sebagai Wedono Mojoagung pada 06 Mei 1935, seperti dimuat dalam buku Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1936, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia. Berita pengangkatannya juga dimuat dalam surat kabar De Indische Courant, 08 Mei 1935. Dikabarkan jika beliau sebelumnya menjabat sebagai Wedono Lengkong, Nganjuk. Beliau menggantikan Wedono Mojoagung R. M. Hoeksamadiman yang dimutasi menjabat sebagai Wedono Sidayu, Surabaya.

Pada masa menjabat Wedono Mojoagung, Kerajaan Belanda sebagai pemilik Hindia Belanda sedang punya gawe besar. Pertunangan Putri Juliana dengan Pangeran Bernhard, yang dilaksanakan pada 08 September 1936. Kabar pertunangan itu kemudian dirayakan besar-besaran di Hindia Belanda, seperti tersajikan dalam buku karya F. A. W. van der Lip (1937), berjudul Nederlansch-Indisch Herinnerings Album: aan de Verloving en het Huwelijk van H.K.H. Prinses Juliana en Z.K.H. Prins Bernhard.

Termasuk dirayakan di wilayah Distrik Mojoagung. Pejabat publik dan penduduk turut memperingati peristiwa tersebut. Dilakukan arak-arakan, berbagai macam permainan, didirikan gapura peringatan, menghias jalan dan rumah, dan lain-lain.

Perayaan Pertunangan Putri Juliana dengan Pangeran Bernhard di Jombang dan Mojoagung 1937

(Sumber: F. A. W. van der Lip, 1937)

Setelah sekitar kurang lebih 3 tahun menjabat Wedono Mojoagung, beliau dimutasi ke wilayah Tuban. Dalam buku Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1939, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia tercatat bahwa sejak 26 Juli 1938 ia mulai bertugas di Landraad Tuban, Karesidenan Bojonegoro. Menjabat sebagai Ajun Jaksa di tempat tersebut. Bahkan, hingga buku Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1942 diterbitkan, beliau masih tercatat sebagai Ajun Jaksa di Tuban. Tampaknya, ia masih menjabat Ajun Jaksa di Tuban sampai berakhirnya pemerintah kolonial Hindia Belanda. Yang kemudian digantikan oleh pemerintah pendudukan Jepang mulai 08 Maret 1942.

Senin, 03 Juli 2023

C. M. Ketting Olivier: Asisten Residen Jombang Pertama (1881-1886)

C. M. Ketting Olivier bergandengan Sultan Hamengkubuwono VII tahun 1894

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/915727)

Sebelum dibentuk Kabupaten Jombang pada 21 Oktober 1910, pemerintah kolonial melakukan pemekaran wilayah afdeling Mojokerto. Pemekaran wilayah afdeling Mojokerto sudah dilakukan sejak 20 Maret 1881. Melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 3 tahun 1881. Keputusan tersebut termuat dalam Staatblad van Nederlandsch-Indie No. 90 Tahun 1881. Dengan membentuk afdeling Jombang.

Konsekuensi terbentuknya afdeling Jombang maka harus ada pejabat baru di tingkat afdeling. Yang dipimpin dan dikepalai oleh seorang asisten residen. Karena itu, pemerintah kolonial mengangkat C. M. Ketting Olivier sebagai Asisten Residen Jombang.

Memulai karir sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1863. Saat diangkat sebagai kontrolir di wilayah Karesidenan Banyumas, seperti diberitakan dalam surat kabar Javabode, 18 Februari 1863.

Setelah cukup lama menjabat sebagai kontrolir, surat kabar Javabode, 16 Februari 1876 memberitakan pengangkatannya sebagai asisten residen. Pemerintah kolonial mengangkatnya sebagai Asisten Residen Kudus. Setelah berpindah-pindah tempat tugas, akhirnya pada tahun 1881 ia diangkat sebagai Asisten Residen Jombang.

Buku Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1882, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia, menyebutkan ia mulai menjabat Asisten Residen Jombang pada 29 Maret 1881. Selain itu, kabar pengangkatanya juga dimuat dalam surat kabar Bataviaasch Handelsblad, 29 Maret 1881. Sebelumnya ia menjabat sebagai Asisten Residen Lamongan.

Saat menjabat Asisten Residen Jombang, pernah turut meresmikan pembangunan sekolah di Mojowarno. Peresmian sekolah itu dilaksanakan pada 25 Agustus 1885. Dalam sambutannya di depan pejabat pribumi, ia mengatakan dengan bersemangat akan pentingnya pendidikan bagi penduduk, seperti diberitakan dalam surat kabar Soerabaiasch Handelsblad, 28 Agustus 1885.

Pada tahun 1886, ia meninggalkan afdeling Jombang. Berdasarkan informasi dari buku Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1887, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia, ia diangkat sebagai residen. Mulai 05 September 1886 menjalankan tugas sebagai Residen Pasuruan.

Berdasarkan informasi dari surat kabar De Locomotief, 19 Juli 1894, 26 Mei 1896, dan 02 April 1897 diberitakan terakhir menjabat sebagai Residen Yogyakarta. Menjabat residen hingga memasuki masa pensiun pada bulan Juni 1896. Kemudian melakukan perjalanan ke Belanda pada 31 Maret 1897, dengan naik kapal api “Merapi” dari Batavia. Ia menghabiskan masa pensiunnya di negeri Belanda.

Setelah sekitar empat tahun menjalani masa pensiun, surat kabar De Locomotief, 22 Agustus 1901 memberitakan tentang meninggalnya C. M. Ketting Olivier di Den Haag, Belanda pada 17 Agustus 1901. Ia merupakan salah satu kelompok pejabat yang setelah pensiun kembali ke negeri induknya. Untuk menikmati hari tua hingga ajal menjemput.

Kamis, 08 Juni 2023

PEDAGANG DAN MINDERING: JEJAK NAGA DI JAWA

Pedagang Klontong Cina di Batavia Sekitar Tahun 1850-an

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/855504)

Sejak semasa kuliah, saya memiliki minat meneliti tentang orang-orang Tionghoa. Meskipun, saya sendiri bukanlah orang Tionghoa, melainkan Jawa tulen berkulit gosong. Waktu itu, akibat membaca buku biografi Oei Tiong Ham (1866-1924), berjudul “Oei Tiong Ham Concern: The First Business Empire of Southeast Asia”, dieditori oleh Yoshihara Kunio (1989). Oei Tiong Ham adalah orang Tionghoa kaya raya dan memiliki perusahaan berskala internasional yang berasal dari Semarang. Salah satu cabang perusahaan berkantor di Singapura. Buku tersebut mengajak pemikiran saya menelusuri perihal jatuh bangun seorang imigran dari Cina di tanah perantauan dalam membangun jaringan bisnis.

Para penulis sejarah menyebut Oei Tiong Ham sebagai raja gula (sugar lord). Jadilah proposal penelitian tentang jaringan perdagangan orang-orang Tionghoa di Jawa. Masih teringat, sekitar 30 kali bolak-balik konsultasi, pada akhirnya gagal. Alasan utama penguji proposal karena telah sering ditulis mahasiswa sejarah. Tak patah arang, semenjak lulus pun saya masih kerap menulis tentang orang Tionghoa. Tentu, dengan cara saya sendiri.

Hubungan Cina-Jawa sudah terjalin cukup lama. Bahkan, jauh sebelum kedatangan sosok Laksamana Ceng-Ho ke Jawa di awal abad ke-15. Artinya, Ceng-Ho bukanlah orang pertama yang menjalin hubungan dengan Jawa, terutama pemerintahan di Jawa Timur (dalam hal ini Tamwlang-Kahuripan hingga Majapahit). Meski, kisah tentang Ceng-Ho begitu populer, karena misi diplomasi. Memang benar, pasca kedatangan Ceng-Ho, gelombang migrasi orang-orang Tionghoa ke Nusantara (termasuk Jawa) semakin besar. Apalagi, kurun waktu abad ke-18, 19 dan awal abad ke-20. Ketika, pemerintah jajahan (baik VOC dan Belanda) membutuhkan tenaga-tenaga mereka, untuk mengerakkan perekonomian.

Letnan Cina Mojokerto Tan Djoe An Mendapat Penghargaan Tahun 1918

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/921473)

Imigran Cina di Jawa

Dr. Priyanto Wibowo, salah satu pakar sejarah Cina dari Universitas Indonesia (UI), dalam suatu seminar mengemukakan pendapatnya, bahwa secara umum orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari bagian tenggara Cina, yakni; provinsi Guangdong dan Fujian. Mereka terdiri dari orang Hakka, Hainan, Hokkien, Kanton, Hockchia, dan Tiochiu. Di Jawa, banyak bermukim orang Hakka, Hokkien, dan Hockchia.

Pintu gerbang masuknya orang-orang Tionghoa melalui pantai utara Jawa. Jejak sejarah mereka menghiasi kota-kota di pesisir utara Jawa, seperti; Tuban, Lasem, Kudus, Semarang, Tegal, Pekalongan, Cirebon, dll. Banyak peninggalan benda (arsitektur bangunan) dan aspek sosial (komunitas) berada di tempat-tempat tersebut. Bahkan, dalam perkembangannya, mereka masuk hingga jantung di kota-kota pedalaman Jawa.

Catatan historis tertua, masa Dinasti Sung (960-1279 M), menyebut kedatangan utusan dari Jawa (992 M), mereka membawa upeti dipersembahkan kepada kaisar Cina. Maksud pemberian upeti tidak begitu jelas, apakah sebagai wujud tunduk atau upaya negosiasi menjalin hubungan dagang. Pada periode ini, pusat politik Jawa berada di Jawa Timur. Namun, tidak jelas siapa penguasa Jawa yang memerintah.

Tahun 1129, kaisar Cina menganugerahkan 2.400 rumah untuk tempat penyimpanan perbekalan bagi pelaut dan pedagang Jawa. Kebijakan tersebut dapat diartikan sebagai bentuk penghormatan kaisar Cina, serta begitu pentingnya perniagaan kala itu bagi negeri Cina. Data tekstual yang berasal dari Jawa (prasasti) tidak ditemukan terkait adanya hubungan dengan Cina. Hanya, beberapa daerah yang dekat dengan Cina tercatat pada prasasti. Seperti; Campa di Vietnam dan Khmer atau Kamboja (Prasasti Cane, 1021 M).

Data tekstual Jawa baru mencatat orang-orang Tionghoa tahun 1365, dalam uraian Kitab Nagarakretagama atau Desawarnana oleh Mpu Prapanca, berikut kutipannya pada pupuh 83; “…hentunyanantara sarwwa jana teka sakenganyadesa prakirnna, nang Jambudwipa Khamboja Cina Yawana len Campa Kharnnatakadi, Goda mwang Syangka tang sangkanika makahawan potra milwing wanik sok, Bhiksu mwang wipra mukyan hana teka sinungan bhoga tustan panganti…”. Dikatakan, bahwa mereka datang ke Jawa dalam jumlah besar tanpa peduli dengan jarak yang jauh.

Pulau Jawa benar-benar menarik perhatian bangsa asing saat itu. Eksotisme, keramahan sosial, dan kekayaan pulau Jawa, menjadi destinasi pendatang dari Cina dan negeri-negeri lain. Magnet penarik para saudagar, khususnya berasal dari negeri Cina. Di satu sisi, keadaan ekonomi dan situasi politik tidak kondusif (kerapkali terjadi perang saudara) mendorong orang-orang Tionghoa bermigrasi ke Jawa.

Awalnya mereka bermukim di daerah pesisir utara Jawa. Gresik menjadi salah satu pusat komunitas mereka. Nama Gresik dalam bahasa Cina, Ts’e Ts’un, dan kemudian diganti menjadi Sin Ts’un yang berarti desa baru. P.J Veth (1896), dalam bukunya berjudul “Java, Geographisch, Etnologisch, en Historisch”, menyebut di pelabuhan Gresik ramai diperdagangkan barang-barang, seperti; porselen, sutera, dan lain-lain yang berasal dari Cina.

Pedagang Klontong Cina di Batavia Sekitar Tahun 1930-an

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/791605)

Dari Niaga Hingga Cina Mindering

Perniagaan orang-orang Tionghoa bergeser ke daerah pedalaman. Menyusuri area di sekitar aliran sungai Brantas. Sebab, lembah Brantas merupakan daerah subur dan banyak pemukiman penduduk. Sejak lama, daerah ini menjadi hunian strategis masyarakat, seperti tercatat pada Prasasti Kamalagyan (1037 M). Temuan-temuan arca terakota di situs bekas ibukota Majapahit, yang menggambarkan sosok pria dan wanita Tionghoa, merupakan bukti kuat meyakinkan bahwa orang-orang Tionghoa bermukim juga di ibukota Majapahit. Termasuk, temuan mata uang Cina juga semakin memperkokoh hipotesis tersebut.

Hingga kini kota-kota di sekitar Brantas, seperti; Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang memiliki tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi. Tak heran jika di masa penjajahan Belanda banyak sekali perkebunan tebu dan industri gula. Pada akhir abad ke-19, Belanda secara besar-besaran membuka lahan untuk perkebunan tebu. Tak pelak, Karesidenan Surabaya menjadi penghasil utama gula di pulau Jawa.

Jumlah penduduk yang banyak, dan roda perekonomian berputar dengan baik, menarik minat orang-orang Tionghoa bermukim di sekitar lembah Brantas. Mereka turut menggerakkan perekonomian, khusus dalam hal perniagaan. Kepandaian dagangnya tidak didapatkan begitu saja, namun melalui kerja keras, ulet, dan tangguh. Semangat dominan yang mesti dimiliki seorang “entrepreneur”. Pada awal abad ke-20, di pulau Jawa populer dengan keberadaan “Cina Mindering”, yakni orang-orang Tionghoa yang memberikan kredit baik berupa barang, uang, atau dalam bentuk lainnya kepada penduduk dengan pembayaran kembali secara bertahap (angsuran).

Menurut V.B. Van Gutem (1919), dalam bukunya berjudul “Tjina Mindering: eenige aanteekenigen over het Chineesche gelschieter swezen op Java”, menyebutkan bahwa “Cina Mindering” yang beroperasi di Mojokerto adalah orang Hok Tsjia berjumlah 25, dan Hok Tsjioe berjumlah 40. Sedangkan, di Jombang adalah orang Hok Tsjioe berjumlah 115.

Kini, kehidupan mereka pun tidak dapat dipisahkan dari aktivitas ekonomi. Kawasan pusat-pusat perbelanjaan di Mojokerto dan Jombang tidak lain merupakan tempat tinggal mereka. Seperti di jalan Majapahit Mojokerto, dan jalan Gus Dur dan A. Yani Jombang. Orang-orang Tionghoa membentuk komunitas dagang di tempat tersebut. Jaringan bisnisnya bernilai milyaran rupiah per hari. Mereka mampu bertahan dari hantaman gelombang zaman. Kita pun, tanpa harus malu, mengucapkan terima kasih karena telah menggerakkan perekonomian masyarakat dan Negara.

Toko-toko di Jombang dan Studio Foto Lie Yok Man Sekitar Tahun 1929-an

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/840717)

Sabtu, 06 Mei 2023

RIWAYAT NAIK HAJI DI JAWA

Poster Kapal Pengangkutan Haji ke Mekkah Tahun 1935

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/855650)

Bagi kaum muslim, ibadah haji merupakan tuntunan dalam agama dan kepercayaan mereka. Untuk melengkapi Rukun Islam yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh karenanya, setiap orang yang beragama Islam sangat berharap untuk dapat menunaikan ibadah tersebut. Tak terkecuali bagi kaum muslim yang ada di “nusantara”, atau yang saat ini disebut Indonesia.

Dalam agama Islam, ibadah haji hukumnya wajib. Baik untuk kaum laki-laki dan perempuan. Asalkan mereka mampu secara finansial (uang) dan fisik. Sebab, ibadah haji membutuhkan biaya yang cukup mahal. Selain itu, mampu secara fisik diartikan dapat mengikuti proses Rukun Haji. Perlu diketahui, ibadah haji sebelum abad ke-19 membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk perjalanan menuju Mekkah dibutuhkan waktu antara 5-6 bulan pelayaran. Baru pada abad ke-19, transportasi laut ibadah haji ditempuh sekitar 3 bulan.

Meskipun waktu perjalanan yang cukup lama, tetapi ibadah haji terus dilakukan. Catatan pertama kali ibadah haji penduduk muslim Pulau Jawa diperoleh dari Hikayat Hasanuddin. Yang mengkisahkan perjalanan haji Sunan Gunung Jati dan putranya (Maulana Hasanuddin) sekitar tahun 1520-an. Lebih lanjut, dalam cerita itu berisi kisah pengislaman wilayah Jawa Barat. Sunan Gunung Jati merupakan salah seorang wali. Yang dalam tradisi lokal di Jawa termasuk ke dalam “Wali Songo”. Beliau bertugas untuk mengislamkan penduduk di daerah Jawa Barat.

Tradisi Haji Masa Mataram Islam dan Banten

Pasca wafatnya Sultan Agung, pemerintahan Mataram Islam menandatangani perjanjian perdamaian dengan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Perjanjian tersebut disepakati tanggal 24 September 1646 di bawah kekuasaan Amangkurat I. Salah satu isi perjanjian terkait dengan upaya Mataram mengirim ulamanya ke Mekkah dan Madinah. Untuk meningkatkan pengetahuan agama Islam. Dalam perjalanan menuju kesana supaya dapat diangkut dengan kapal-kapal VOC. Serta, VOC harus mengembalikan uang yang dirampas dari utusan Sultan Agung. Utusan tersebut sedang melakukan perjalanan ke Mekkah pada tahun 1642 M.

Utusan-utusan dari Kerajaan Mataram pada saat itu tidak diketahui identitasnya. Akan tetapi, mereka memang utusan yang sedang melakukan perjalanan ke Mekkah. Selain Kerajaan Mataram, pada tahun 1664 M Kerajaan Banten juga mengirim seorang imam muslim untuk melakukan perjalanan ke Mekkah, dengan menumpang kapal VOC, tulis Jacob Vredenbregt dalam “Ibadah Haji: Beberapa Ciri dan Fungsinya di Indonesia” (1997: 5).

Menurut Henri Chambert-Loir dalam bukunya “Naik Haji di Masa Silam: Tahun 1482-1890, Jilid I” berbeda dengan di Mataram, bahwa utusan dari Banten diketahui identitasnya. Yaitu: Haji Jayasanta, Haji Wangsaraja, dan Haji Fatah (2013: 34). Mereka menggunakan gelar haji di depan namanya. Barangkali beliau adalah imam atau penghulu di Kerajaan Banten. Selain itu, mereka termasuk ke dalam kelompok bangsawan.

Apakah mereka melakukan perjalanan haji atau tidak juga tidak diketahui dengan pasti. Namun demikian, ada tradisi atau kebiasaan bahwa para penguasa sengaja mengirim utusan untuk pergi haji. Sebab, para penguasa tersebut tentu tidak dapat serta merta menunaikan ibadah haji. Dengan meninggalkan kewajiban untuk menjaga dan melindungi rakyatnya. Oleh karenanya, para penguasa saat itu sengaja mengirim seseorang untuk mewakili dirinya beribadah haji. Di satu sisi, utusan dari Kerajaan Banten memang melakukan ibadah haji. Hal ini tampak dari gelar haji di depan nama mereka.

Pada tahun 1674 M, Abdul Kahar putra Sultan Ageng Tirtayasa melakukan perjalanan ke Mekkah. Untuk pertama kalinya seorang pangeran kerajaan menunaikan ibadah haji. Laporan tentang perjalanan ke Mekkah semakin banyak pada waktu berikutnya. Namun, mereka yang melakukan perjalanan haji tidak lagi menumpang kapal-kapal niaga milik orang Arab, Persia, Turki, dan India. Melainkan menumpang kapal-kapal VOC dan Inggris.

Tradisi para sultan di Jawa mewakilkan ibadah haji masih terus dilakukan. Pada awal abad ke-18, Amangkurat II mengutus beberapa orang untuk menunaikan ibadah haji atas namanya. Mereka menunaikan ibadah haji antara tahun 1700-1702 M. Meskipun, sebenarnya sultan sendiri yang berharap untuk berangkat. Tidak mewakilkannya pada orang lain. Apa yang diinginkan Amangkurat II hanya sebatas cita-cita saja. Kenyataannya beliau memang tidak dapat berangkat menunaikan ibadah haji. Padahal, dari segi finansial tentu sangat cukup sekali.

Pada awal abad ke-19 (sekitar tahun 1811-an), Sultan Hamengkubuwono II mengirim 24 orang santri untuk naik haji. Ketika mereka berangkat, belum sampai di Semarang sudah dicegah oleh Pemerintah Belanda, tulis Henri Chambert-Loir (2013: 39). Pada saat itu situasi sedang dalam pergolakan politik. Inggris mulai menaklukkan Pulau Jawa. Untuk itu, para santri yang akan menunaikan ibadah haji tidak dapat melanjutkan perjalanan.

Rombongan Haji dari Pekalongan di Mekkah Sekitar Tahun 1890-an

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/809332)

Antara Larangan dan Kebutuhan: Monopoli Perjalanan Haji

Yang menarik, pada kurun waktu abad ke-19 jumlah jamaah haji mengalami peningkatan. Pada pertengahan abad ke-19, mulai dilakukan penghitungan jamaah haji. Hal ini didasarkan pada statistik yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Padahal, pemerintah kolonial sebenarnya melakukan upaya untuk menghalangi penduduk muslim naik haji. Ada ketakukan dari pihak pemerintah kolonial terhadap para haji yang baru kembali. Mereka dicurigai membawa pengaruh revolusioner dan gerakan wahabi yang menentang penjajahan. Gerakan anti penjajahan saat itu banyak dipelopori kaum muslim yang baru tiba dari perjalanan haji.

Upaya mempersulit pergerakan para haji di Jawa dilakukan pada tahun 1810. Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1807-1811 M), mengeluarkan ketentuan pas jalan atau paspor bagi haji. Mereka (para haji) yang akan bepergian harus mempunyai dan memakai pas jalan. Apabila mereka akan bepergian dari satu tempat di Pulau Jawa ke tempat lain.

Kebijakan mempersulit para haji juga dilakukan oleh Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816 M). Pada tahun 1811, ia mengirim surat edaran ke seluruh gubernur yang isinya memperingatkan bahaya para haji (ulama). Sikap tersebut barangkali terjadi karena minimnya pengetahuan tentang agama Islam. Sehingga, mencampuradukkan antara Islam sebagai agama dengan politik. Ibadah haji adalah murni ajaran Islam yang harus dilaksanakan oleh tiap-tiap muslim yang mampu (secara finansial dan fisik).

Menurut Jacob Vredenbregt berdasarkan laporan Residen Batavia, pada tahun 1825 ada 200 penduduk meminta pas jalan, dan sekaligus melaporkan perjalanan haji ke Mekkah menggunakan kapal Magbar milik Syaik Umar Bugis (1997: 8). Dari peristiwa tersebut, dikeluarkan Resolusi Gubernur Jenderal pada tanggal 18 Oktober 1825 No. 9. Resolusi ini berisi tentang pemberian izin naik haji menggunakan kapal Magbar. Kemudian, menetapkan para calon haji harus membayar ƒ 110 gulden. Untuk pembayaran pas jalan dan paspor haji. Bagi calon haji yang tidak memiliki pas jalan akan dikenakan denda sebesar ƒ 1.000 gulden.

Untuk menyempurnakan peraturan sebelumnya, pemerintah kolonial mengeluarkan Ordonansi Haji Tahun 1859. Peraturan tersebut dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie No. 42 Tahun 1859. Menjadi peraturan resmi pemerintah kolonial tentang penyelenggaraan haji. Di samping itu, pada tahun 1873 dibuka kantor konsulat Belanda di Jeddah. Pada saat itu Jeddah merupakan pelabuhan penting. Terletak di tepi Laut Merah. Bagi calon haji, Jeddah tidak lain pintu gerbang menuju Mekkah. Untuk mereka menunaikan ibadah haji.

Kebijakan pemerintah kolonial tampaknya seperti mendua. Di satu sisi, pemerintah merasa terancam dengan keberadaan para haji. Yang membawa pengaruh gerakan anti penjajahan. Sehingga, pemerintah kolonial akhirnya membuat kebijakan untuk mempersulit penduduk yang akan menunaikan ibadah haji. Sebaliknya di sisi yang lain, pemerintah berusaha memanfaatkan situasi itu untuk mencari keuntungan finansial. Di mana, calon jamaah haji harus membayar untuk memiliki paspor atau pas jalan. Bahkan, pada akhir abad ke-19 pengangkutan calon jamaah haji di monopoli oleh pemerintah kolonial.

Kontingen Pertama Haji yang Tiba dari Mekkah di Tanjung Priok Tahun 1940

(Sumber: De Locomotief, 17 Februari 1940)

Kamis, 04 Mei 2023

ISLAMISASI DI NUSANTARA

Peta Rute Perdagangan Arab Abad Pertengahan

(Sumber: http://chssp.ucdavis.edu/programs/historyblueprint/maps/medieval-map)

Hai Gaes! Ternyata keberadaan kelompok penganut Agama Islam di nusantara (saat ini Indonesia) telah lama. Pada abad ke-10, para saudagar dari Timur Tengah kerapkali mendatangi pantai Barat Sumatera. Mereka mencari damar dan kapur barus yang bermutu tinggi. Oleh bangsa Arab, nama Barus (saat ini termasuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara) dikenal dengan sebutan Fansur.

Jaringan niaga yang terbentuk di “nusantara” merupakan media penyebaran Islam saat itu. Perkembangan agama Islam cukup cepat dan masif. Berbagai daerah mengalami persentuhan dengan budaya Islam yang dibawa oleh para saudagar. Hingga akhirnya pengaruh Islam masuk ke Pulau Jawa, yang saat itu masih kuat simbol identitas dan pengaruh agama Hindu.

Terkait proses Islamisasi di “nusantara” dapat dilihat dari dua segi, yaitu: cara penyebarannya (mode of transfer) dan cara transmisinya (mode of transmission).

Cara penyebarannya dapat diartikan sebagai asal-usul masuknya Islam dari negeri asalnya (Arab). Menurut Djoko Suryo, dalam bukunya berjudul “Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia Modern” ada empat teori tentang asal-usul dan rute penyebaran Islam di Indonesia. Pertama, teori yang menyebutkan bahwa Islam datang dari Arab lewat India. Kedua, teori yang mengatakan bahwa Islam datang dari Arab lewat Persia. Ketiga, Islam masuk dari Arab lewat Persia, kemudian masuk ke Cina dan baru kemudian masuk ke Indonesia. Keempat, menyatakan bahwa Islam dibawa langsung oleh pembawanya dari tanah Arab (2009: 156).

Sedangkan, cara transmisinya dapat diartikan sebagai suatu bentuk atau cara mengislamkan penduduk “nusantara” saat itu. Keduanya, baik cara penyebarannya (mode of transfer) dan cara transmisinya (mode of transmission) tidak dapat dilepaskan dari adanya bukti-bukti sejarah.

Nisan-Nisan Kuno di Kompleks Pemakaman Putri Campa Tahun 1950-an

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/828505)

Bukti-Bukti Islam di Jawa

Inskripsi tertua tentang keberadaan penganut Islam di Jawa tercatat pada nisan Fatimah Binti Maimun (1082 M). Beberapa batu nisan di pemakaman Troloyo, dengan waktu tertua pada nisan berangka tahun 1368 M. Batu nisan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik (1419 M). Inskripsi atau piagam pembangunan Masjid Kudus (1549 M). Serta, tulisan-tulisan pada dinding bangunan Makam Sentana Gedong di Kediri (awal abad ke-16 M). Bukti-bukti tertua Islam di Jawa diperkuat dengan berita asing dari Cina (catatan Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan tahun 1416 M), Portugis (catatan Tome Pires, Suma Oriental tahun 1512-1515 M), dan naskah-naskah kuno (Babad Tanah Jawa, Serat Kanda, Serat Darmagandul).

Pengaruh Islam mencapai puncaknya pada abad ke-14 sampai abad ke-18. Dengan menggeser pengaruh peradaban Hindu-Budha di “nusantara”. Akan tetapi, sejalan dengan menguatnya pengaruh Islam, ternyata bangsa-bangsa Eropa mulai berdatangan. Bangsa Eropa juga melebarkan pengaruh barat di berbagai daerah di “nusantara”. Walaupun demikian, pengaruh barat tidak dapat membendung pengaruh Islam pada saat itu. Yang mendapat simpati mendalam para penduduk dari berbagai kalangan. Berikut beberapa cara pengislaman, yakni; perdagangan, pernikahan, pendidikan, kesenian, dakwah, dan politik.

Saat itu penganut agama Islam tidak hanya di luar lingkungan istana. Namun, telah memasuki kehidupan istana. Para keluarga bangsawan di Jawa telah banyak yang memeluk agama Islam. Ajaran Islam dengan mudah diterima penduduk setempat, terutama di kalangan masyarakat Jawa. Kelebihan dari proses penyebaran Islam di Jawa karena dapat beradaptasi dengan budaya lokal. Tradisi-tradisi pra-Islam tidak serta merta ditolak. Justru sebaliknya mendapat tempat, seperti: ziarah kubur (dalam tradisi Hindu disebut Upacara Sradha), wayang kulit dan musik gamelan, serta tradisi-tradisi lainnya.

Makin meluasnya pengaruh Islam dengan diikuti jumlah penganut yang juga banyak. Kebutuhan untuk memperdalam ajaran Islam juga diperlukan. Para penganut agama Islam mulai benar-benar ingin menjalankan Rukun Islam. Yaitu: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Rukun Islam merupakan pilar pembentukan kepribadian seorang muslim. Untuk itu, bagi kaum muslim di “nusantara” saat itu bernilai penting untuk dilaksanakan. Termasuk melaksanakan ibadah haji bagi sebagian masyarakat.

Rabu, 05 April 2023

Menengok Kuliner Onde-Onde

Onde-Onde Bo Liem Sejak Tahun 1929

(Sumber: www.eastjavatraveler.com)

Jeng jing kapal udara,

Numpak sepur mudun Jakarta,

Jakarta akeh lamuk e,

Suroboyo akeh duwik e,

Duwik e satus slawe,

Gawe tuku onde-onde,

Onde-onde isine kacang,

Wak Min (lambe) ndomble…

Tidak diketahui sejak kapan lirik lagu tersebut mulai muncul. Siapa penciptanya pun tak dapat ditelusuri. Jika ditinjau dari lirik lagu, tampaknya berlogat Jawa Timuran (Suroboyo). Namun, yang jelas, lagu itu semasa saya masih kecil begitu populer. Terutama, jika sedang bermain bersama.Sebagai lagu penghibur dan terkadang untuk membuly teman bermain.

Tulisan ini sebenarnya tidak berusaha mengulas lagu tersebut. Tetapi, akan mengulas tentang salah satu panganan terkenal. Konon katanya menjadi jajanan khas Mojokerto. Ah! Itu lho kue onde-onde. Konon kue ini sudah ada sejak zaman Majapahit. Oleh karenanya, diakui sebagai karakteristik kuliner Mojokerto. Meskipun, data historis yang dapat dijadikan penyokong (sebagai bukti) tidak begitu jelas.

Di negeri Cina, panganan tersebut telah dikenal sejak masa dinasti Tang (618-907). Dikenal dengan sebutan “ludeui”, yang merupakan kue resmi di daerah Changan (sekarang Xian). Dari sanalah kemudian menyebar ke berbagai daerah di Cina. Bahkan, hingga ke Asia Tenggara. Penyebutan kue ini di Cina pun berbeda-beda, seperti; “matuan”, “ma yuan”, “zhen dai”, atau “zhimaqiu”. Di Malaysia disebut “kuih bom”. Di Vietnam disebut “banh cam” atau “banh ran”. Dan di Filipina disebut “butsi”.

Penyebarannya, bisa jadi mengikuti arus migrasi orang-orang Tionghoa. Dari proses sosial, terkait dengan interaksi sosial dapat mempengaruhi wajah kuliner. Termasuk, panganan yang kita kenal dengan nama onde-onde ini. Variasi olahan panganan di tiap-tiap daerah terkadang berbeda-beda. Isinya pun tidak melulu kacang hijau. Bisa diganti kacang merah, gula merah, daging cincang, bihun, ubi, jamur, dll.

Inilah yang oleh pemerhati makanan disebut “infiltrasi kuliner” (culinaire infiltratie). Tidak hanya Cina, makanan-makanan di Indonesia juga terpengaruh oleh India, Arab, hingga Belanda. Masuknya bangsa-bangsa asing tersebut, ternyata berdampak pula terhadap budaya kuliner di Indonesia. Mungkin lebih tepat jika menggunakan istilah akulturasi. Pertemuan budaya terkait dengan makanan lebih bersifat “penetration of pacifique”, atau jalan damai yang digunakan. Walaupun, masuknya lewat kolonialisme, seperti masa penjajahan Belanda.

Pengaruh Cina terhadap makanan di Jawa tercatat pada prasasti Biluluk II (1391 M). Disebutkan istilah “hang laksa”, atau pembuat bihun. Dapat diketahui makanan bihun (sejenis mie) berasal dari negeri Cina. Selain itu, Denys Lombard dalam bukunya berjudul “Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia” Jilid II, menyebut beberapa kuliner Indonesia yang mendapat pengaruh dari Cina, seperti; bapao (roubao), bacang (rouzang), lumpia (numbing), dan baso (rouso).

Wajah kuliner Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan pengaruh dari luar. Termasuk, panganan onde-onde yang kita kenal saat ini.

Simbol dalam Makanan

Dari analisis historis, berbicara tentang makanan tidak hanya sebagai pengganjal perut saja. Di dalamnya, terkandung berbagai makna dan filosofis. Termasuk, menyiratkan status sosial tertentu.

Pada masa lalu, di zaman kerajaan-kerajaan kuno, makanan dan minuman yang disajikan berbeda antara raja (kaum bangsawan) dengan rakyat jelata. Ada juga makanan yang berfungsi sakral dan profan. Fungsi sakral biasanya makanan tersebut menjadi bagian dari sajian kepada dewa, dan diletakkan di tempat-tempat suci. Sedangkan, pada fungsi profan dapat diartikan sebagai seni atau kenikmatan bagi para konsumennya.

Di Cina, kue onde-onde sebagai simbol bulan purnama dan kebersamaan. Bisa jadi, bentuknya yang bulat dianggap menyerupai wajah bulan yang jika dilihat dari bumi begitu indah dan terang. Tak salah, jika pada perayaan-perayaan resmi menjadi panganan wajib dipersiapkan. Kulit luarnya dilumuri wijen bisa jadi menandakan pentingnya sebuah kebersamaan. Perlu diakui, jiwa persaudaraan orang-orang Tionghoa sangat kokoh.

Mungkin saja, pada mulanya di Cina kue onde-onde merupakan panganan dalam lingkungan istana. Diciptakan khusus oleh para juru masak kerajaan untuk sang kaisar. Dalam dunia istana, hal ini sering terjadi. Namun, untuk menunjukkan perhatian kaisar kepada rakyat, akhirnya kuliner tersebut diperbolehkan dinikmati siapa saja.

Perjamuan Kolonial

Pada akhir abad ke-19, di Jawa populer dengan istilah “rijsttafel”. Tidak lain merupakan makan nasi bersama-sama di atas satu meja. Para tuan dan nyonya Belanda mempopulerkan tradisi atau kebiasaan makan tersebut.

Sajian utamanya memang nasi, yang membedakan adalah menu-menu pelengkap, alat-alat yang digunakan, hingga tata cara makan. Berbeda sekali dengan kebiasaan makan kaum pribumi waktu itu.

Buku yang ditulis oleh Catenius van der Meijden (1922) berjudul “Makanlah Nasi! (Eet Rijs!) De Indische Rijsttafel (voor Holand), menyebutkan menu-menu makanan pendamping sajian utama nasi. Salah satunya adalah “Kwee Onde-Onde”. Kue ini menjadi sajian pembuka atau penutup pada saat makan bersama.

Selain itu, kebiasaan para “meneer” Belanda pada sore hari memakan hidangan ringan (salah satu menu onde-onde) dan meminum secangkir teh. Sambil menikmati pemandangan di perkebunan mereka, serta keindahan pulau tropis yang ditempati.

Mencicipi kuliner satu ini tidak perlu ditunda-tunda lagi. Masih hangat-hangat baru keluar dari perapian, mengeluarkan bau harum yang khas campuran terigu, kacang hijau, dan wijen. Apalagi, jika kue onde-onde didapatkan dari pakar pembuatnya di Mojokerto. Toko roti “Bo Liem”, yang sudah turun-temurun menyajikan onde-onde, sejak tahun 1920-an.

Tak ada salahnya, sore hari, sambil menikmati gemericik air dari langit di musim penghujan. Membayangkan menjadi seorang “meneer” pemilik perkebunan di lereng gunung Anjasmoro, yang duduk-duduk di teras rumah melumat kue onde-onde dan menyruput teh manis hangat.

Rabu, 15 Maret 2023

PERANG SETENGAH HATI MELAWAN PERDAGANGAN OPIUM

Pemakai Candu atau Opium di Jawa

Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/804531

Beberapa waktu lalu jagad media dihebohkan. Kabar berita penangkapan Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi. Polisi wanita yang jago berburu bandar narkotika dan obat-obatan terlarang. Citranya yang seolah wonder woman. Menghiasi kabar media elektronik. Sebagai penjaga dan pengawal keadilan. Pembawa amanat bangsa untuk memberantas narkoba.

Anehnya, Ia pun tersandung kasus narkoba. Saat menjabat sebagai Kapolsek Astanaanyar. Berpesta narkoba bersama sebelas anggotanya. Pesta itu dilakukan di salah satu hotel di Bandung. Perbuatan itu telah mencoreng wibawa dan citra kepolisian di mata masyarakat.

Sejak zaman kolonial, para penegak hukum ada yang terlibat dalam perdagangan opium ilegal. Istilahnya mereka adalah agen ganda. Di satu sisi bekerja pada pemerintah. Di sisi lain, menjadi kaki tangan bandar opium.

Pemerintah kolonial pun berperang melawan opium. Karena merusak mental masyarakat. Saat itu, opium diperdagangkan secara terbuka dan sembunyi-sembunyi. Diperdagangkan secara terbuka karena mendapatkan legalitas dari penguasa. Namun, untuk menghindari pajak maka dilakukan perdagangan gelap. Demi meraup keuntungan yang besar.

Perdagangan ilegal marak dilakukan. Dalam laporan Pieter Brooshoooft (1888), Memorie over den toestand in Indie menyebutkan bandar opium melakukan segala cara untuk melindungi kepentingannya. Melakukan perdagangan gelap, mempekerjakan mata-mata dan Komite Inspeksi Cina, subsidi bagi polisi pribumi dan korps priyayi, penyalahgunaan pengadilan polisi, perdagangan patungan, dan pondok opium ilegal (hlm. 156). Para bandar opium menaklukkan penegak hukum. Menyeret mereka untuk menikmati sensasi opium. Dengan memberikan opium secara gratis atau subsidi.

Keuntungan yang menggiurkan menarik pemerintah untuk berdagang candu. Menurut Narti, sejak masa VOC sudah dilakukan monopoli perdagangan candu. Dijalankan melalui Amfioem Societeit, yaitu badan perantara perdagangan candu. Kemudian diganti dengan Amfioen Directie. Pada abad ke-19, dibentuk sistem Opiumpacht. Sejak akhir abad ke-19, diganti dengan sistem Opiumregie (Lembaran Sejarah, Vol. 2, No. 1, 1999: 26). Pemerintah dengan sengaja memang menjual opium. Dengan menjual opium dapat mengisi kas negara.

Opium yang dijual secara legal, memberi keuntungan besar bagi pemerintah kolonial. Pada tahun 1920, kas negara mendapatkan pemasukan sebesar f 28.988.958 gulden. Didapatkan dari hasil perdagangan candu di Pulau Jawa.

Polisi Candu

Pemerintah kolonial membentuk satuan polisi khusus. Menangani permasalahan sekitar candu. Dinamakan Dinas Reserse Candu. Dinas ini menjadi bagian dari Kepolisian Negara. Secara struktural, pusat reserse candu dipimpin seorang Kepala Komisaris. Serta, reserse candu yang ada di satuan polisi daerah. Di Jawa, dibentuk di kota Batavia, Semarang, dan Surabaya.

Satuan reserse candu di Batavia, mencakup seluruh wilayah di Jawa Barat. Di Semarang mencakup seluruh wilayah Jawa Tengah. Dan, di Surabaya mencakup seluruh wilayah Jawa Timur. Saat itu, satuan ini sudah dilengkapi kapal dan perahu motor. Untuk menjaga dan mengawasi penyelundupan candu lewat laut. Perahu motor ditempatkan di Teluk Batavia, Pulau Seribu, sepanjang pantai utara Jawa, Selat Sunda, dan Selat Madura. Menempatkan penjagaan di daerah-daerah, seperti Indramayu, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Rembang, Pasuruan, Probolinggo, dan Banyuwangi.

Perang melawan perdagangan gelap candu terus dilakukan pemerintah. Tahun 1922, di Pelabuhan Tanjung Priok polisi berhasil menemukan 29 kati candu. Tahun 1925, di Surabaya ditemukan 84 kaleng dan 30 bungkus candu. Dan, tahun 1929 di Semarang berhasil ditangkap seorang Cina yang membawa 64 kati, 10 thail, dan 195 kaleng candu, tulis Narti (hlm 43).

Candu seperti dua sisi mata uang. Satu sisi memberi keuntungan besar bagi pemerintah kolonial. Di sisi lain, merusak mental masyarakat. Penduduk menjadi malas bekerja. Tetapi, ambisi materi bagi pemerintah kolonial tetap melegalkan candu. Distribusi dan perdagangan candu dikuasai pemerintah. Makanya, pemerintah hanya setengah hati saja memberantas perdagangan candu. Hanya yang ilegal yang diberantas. Padahal, efek candu bagi penduduk sangat berbahaya.

Kamis, 02 Februari 2023

WHITE RAJAH DALAM FILM EDGE OF THE WORLD

Jonathan Rhys Meyers dan Atiqah Hasiholan Beradu Peran di Film Edge of the World

Sumber: https://filmthreat.com/reviews/edge-of-the-world-2021/

Kelangkaan rempah dan makin mahal harganya, mendorong bangsa Eropa menjelajahi samudera. Tak terkecuali pelaut-pelaut dari Inggris. Semenjak keberhasilan Sir Francis Drake (1543-1596) mengelilingi bumi. Dalam pelayarannya tahun 1577-1580. Mendorong pelaut-pelaut Inggris mengikuti jejaknya.

Barangkali kisah sukses itulah menjadi jembatan kolonialisme Inggris. Untuk menguasai jaringan pelayaran dan perniagaan rempah. Seperti bangsa-bangsa Eropa lainnya. Yang pada akhirnya saling berebut daerah koloni.

Sejarah kawasan Asia Tenggara, tidak dapat dipisahkan dari perebutan itu. Begitu pula kisah tentang Inggris. Terutama di wilayah Serawak, Pulau Borneo (Kalimantan). Yang dahulu menjadi bagian Kesultanan Brunei.

Kedatangan James Brooke (1803-1868) ke Serawak diangkat ke layar lebar. Dengan judul “Edge of the World”. Dibintangi oleh aktor Jonathan Rhys Meyers. Memerankan tokoh Sir James Brooke. Serta, aktris Indonesia Atiqah Hasiholan. Memerankan sosok Fatima, sebagai pendamping Brooke.

Kedatangan James Brooke di Serawak dalam Film Edge of the World

Sumber: https://www.fakta.id/film/sinopsis-edge-of-the-world-2021

Kedatangan Brooke di Serawak

Dikisahkan pada awal film, tentang Serawak yang kaya emas, batubara, dan rempah-rempah. Namun, negeri itu mengalami ketidakstabilan politik. Akibat seringnya pemberontakan. Para penguasa Melayu dan Suku Dayak kepada Sultan Brunei. Karena tidak mampu melindungi penduduknya dari serangan bajak laut (Lanun).

Keadaan itu yang ditemui James Brooke, ketika menjejakkan kaki di Serawak. Ia bukan seorang tentara yang dikirim Ratu Inggris. Apalagi pejabat di tanah koloninya.

Dalam buku tulisan Spencer St. John (1994), berjudul The Life of Sir James Brooke, Rajah of Sarawak, From His Personal Papers and Correspondence, dikatakan ia merupakan seorang pengembara. Tujuan awalnya untuk berdagang dan menyebarkan agama Kristen. Di pedalaman Borneo, Sulawesi, dan Papua New Guinea (hlm. 12-49).

Pada awal tahun 1839, menempuh perjalanan dari Inggris ke Singapura dengan kapal Royalist. Ia diminta Gubernur Singapura, George Bonham menyampaikan sepucuk surat kepada Pangeran Muda Hashim. Isinya ucapan terima kasih, karena membantu Pemerintah Inggris. Saat kapal Inggris karam di Sungai Serawak. James Brooke tiba di Kuching, Serawak pada 11 Agustus 1839.

James Brooke justru tertarik di Serawak, Borneo. Ketimbang berada di Sulawesi atau Papua New Guinea. Setibanya di Serawak, ia menyaksikan pemberontakan berlangsung. Dikutip dari General Correspondence Borneo, pemberontakan terjadi karena penduduk tidak puas terhadap penguasa. Menurutnya Pangeran Mahkota telah berbuat zalim (1842: 21-39).

Untuk memulihkan keadaan, Pangeran Muda Hashim meminta bantuan James Brooke. Tetapi permohonan tersebut ditolak. Dalam kisah film, ia tidak tertarik pada politik. Sehingga menolak permohonan tersebut. Brooke lebih tertarik pada tumbuh-tumbuhan dan hewan. Serta, mempelajari kebudayaan suku-suku di Serawak. James Brooke pun meninggalkan Serawak, Borneo.

Bungalow Sir James Brooke, Gubernur dan Raja Serawak Tahun 1858

Sumber: https://www.alamy.com/stock-photo-the-bungalow

Negeri Serawak Diperintah Rajah Putih

Kedatangannya yang kedua di Serawak, ia masih melihat pemberontakan. Brooke tetap dekat dengan pembesar Kesultanan Brunei. Hubungan baik itulah yang membuatnya leluasa masuk. Menembus hutan dan menyusuri Sungai Serawak. Ia menyaksikan sendiri penderitaan penduduk. Akibat pemberontakan yang tak kunjung berhenti.

Ketika Pangeran Muda Hashim meminta bantuan, ia pun langsung menerima. Apalagi, jika berhasil memadamkan pemberontakan mendapat hadiah. Negeri Serawak akan diberikan kepada James Brooke.

Mandat dan tugas itu dilaksanakan dengan baik. Pemberontakan pun dipadamkan. Ia berhasil menenteramkan keadaan di Serawak. Dalam waktu yang singkat. Tidak lebih dari dua tahun. Sultan Brunei membalas jasanya. Mengangkatnya menjadi penguasa Serawak. Memberi James Brooke gelar “Raja Serawak”, pada 24 September 1841. Brooke dijuluki sebagai “White Rajah”, atau raja putih.

Penyerahan Serawak kepada James Brooke dilakukan oleh Pangeran Muda Hashim. Dalam suatu perjanjian di antara keduanya. Dikutip dari Utusan Serawak, 3 Oktober 1950, di antara isi perjanjian itu adalah:

“… Pengiran Muda Hashim bin Almerhum Sultan Mahmud dengan ini menyerahkan kepada Tuan James Brooke akan Kerajaan Sarawak bersama-sama dengan jajahan-jajahannya, kehasilan-kehasilan dan semua tanggungan-tanggungannya.”

Perjanjian itu ada syaratnya. Bahwa Serawak tidak boleh diberikan kepada pihak ketiga. Tanpa persetujuan dari Sultan Brunei. Berdasarkan General Correspondence Borneo (1842: 24-25), James Brooke diberi wilayah dari Tanjung Datu ke Sungai Samarahan.

Peta Serawak Pada Masa Kepemimpinan Dinasti Brooke 1841-1946

Sumber: https://www.pinterest.com/pin/545217098629339034/

Vernon Mullen (1967), dalam bukunya The Story of Sarawak, menyebutkan James Brooke melakukan perluasan wilayah. Pada tahun 1853 dan 1861, mengambil wilayah Brunei. Mulai dari kawasan Batang Rejang sampai ke Sungai Balingian. Ia memperluas daerahnya ke kawasan timur Serawak (hlm. 54).

Kekuasaan James Brooke atas Serawak diakui oleh Amerika Serikat. Sebagai negeri yang merdeka pada tahun 1850. Kerajaan Inggris pun tahun 1864 turut mengakuinya. Bahkan, melantik seorang Konsul Inggris di Serawak.

“Raja Putih” James Brooke meninggal pada 11 Juni 1868 di Inggris. Dinasti-dinasti Brooke silih berganti berkuasa atas Serawak. Hingga dinasti Brooke terakhir, Charles Vyner Brooke (1874-1963) menyerahkannya kepada Kerajaan Inggris. Surat penyerahan itu ditandatangani pada 21 Mei 1946. Mulai berlaku pada 1 Juli 1946, bahwa Serawak menjadi bagian koloni Inggris.

Tahun-tahun Terakhir Sir James Brooke, Raja Serawak

Sumber: https://worldhistory.us/historical-biographies/

Sabtu, 21 Januari 2023

SENDER RADIO REPUBLIK DI RANGOON MYANMAR

Telegrafis Sersan Udara Nurbaman di Stasiun Radio AURI Tangse Aceh

(Sumber: Umar Said Noor, 1999: 63)

Hari-hari ini media banyak memberitakan situasi politik di Myanmar. Dahulu bernama Burma. Rezim militer yang berkuasa mengingatkan era Orde Baru di Indonesia. Tentara dan polisi di negara itu menembaki warganya sendiri. Dengan peluru tajam. Rakyat Myanmar jadi korban kebrutalan aparatnya.

Tapi gaes, Myanmar pernah turut berkontribusi atas perjuangan bangsa Indonesia. Pada saat mempertahankan kemerdekaan dari Belanda. Upaya Belanda menguasai Indonesia pada periode Perang Kemerdekaan RI II tahun 1948-1949. Belanda melakukan berbagai cara agar pemerintah republik kalah. Pengerahan militer hingga blokade ekonomi dilakukan. Untuk mempersempit ruang informasi antara republik dengan dunia luar. Dalam diplomasi Belanda di luar negeri, citra republik dibikin negatif.

Pemerintah RI pun tidak kurang akal. Pantang menyerah. Walaupun pemerintah RI di Yogyakarta berhasil dilumpuhkan Belanda. Pemerintahan RI tetap berjalan. Melalui Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Dipimpin oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara. Dalam buku tulisan Ide Anak Agung Gde Agung (1991), berjudul Renville dikatakan sebelum pasukan Belanda menyerang Yogyakarta, sudah dikirim telegram ke Sumatera dan New Delhi. Untuk melanjutkan fungsi pemerintahan (hlm. 209).

Komunikasi sangat penting gaes. Meskipun dalam situasi perang. Perintah dan strategi tidak akan berjalan mulus jika tidak ada alat komunikasi. Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) berperan penting dalam menyediakan radio. Terutama, dalam pemerintahan darurat di Sumatera. Pemancar radio ini selalu berpindah-pindah. Agar tidak terendus oleh Belanda.

Informasi dari pemerintah darurat di Sumatera dapat diketahui. Ataupun sebaliknya. Komunikasi dengan para pejuang di Pulau Jawa tidak terputus. Termasuk dengan pemegang mandat pemerintahan darurat di New Delhi, India.

Opsir Muda Udara III Soemarno, Telegrafis Indonesia Airways di Rangoon Myanmar

(Sumber: Umar Said Noor, 1999: 64)

Salah satu stasiun radio yang penting berada di Rangoon, Myanmar. Di tempat itu sekaligus menjadi pangkalan pesawat udara pertama milik RI. Pesawat “Seulawah” sumbangan rakyat Aceh. Menjalankan misi sebagai pesawat penerbangan sipil. Menurut Umar Said Noor, dalam bukunya berjudul Peran Radio PHB AURI Selama Perang Kemerdekaan RI II 1948-1949, disebutkan pesawat itu dipiloti oleh Komodor Udara Wiweko dan telegrafis udaranya Opsir Muda Udara III Soemarno. Misinya sebagai pesawat Perusahaan Penerbangan Indonesia Airways (hlm. 89).

Misi lainnya sebagai tempat stasiun radio penghubung. Menyalurkan informasi dari radio di Indonesia menuju ke New Delhi, India. Menurut Ide Anak Agung Gde Agung (1991: 217), terdapat nama Mayor Unani yang bertugas di Rangoon, Myanmar. Dalam telegram tanggal 16 Desember 1948, diperintahkan mencari penginapan. Untuk rombongan pemerintah RI yang akan singgah di Myanmar pada 19 Desember 1948. Telegram tersebut telah disadap oleh Belanda.

Stasiun radio Rangoon, Myanmar diberi kemudahan oleh pimpinan militer di negara itu. Jenderal Newin, Pimpinan Angkatan Perang Birma. Setelah Komodor Udara Wiweko dan Soemarno berhasil bernegosiasi dengannya. Meminta diberi fasilitas menggunakan sender. Untuk berhubungan secara radiografis. Antara Indonesia Airways dengan stasiun radio gerilya di Sumatera.

Dengan mata tertutup, keduanya dibawa ke stasiun radio milik AD Birma. Setelah sampai di tempat, baru dibuka. Mereka kemudian berhasil berhubungan dengan stasiun radio AURI di Kotaraja. Jalur radio ini dapat terhubung dengan baik. Informasi dari Pulau Jawa ke PDRI di Sumatera, kemudian melalui Tangse dan Kotaraja berhasil diterima di Rangoon, Myanmar.

Informasi yang dikirim dari Indonesia dapat diteruskan ke luar negeri. Dikirim ke Perwakilan RI di New Delhi, India. Diterima oleh Abu Bakar Lubis, pejabat bagian Penerangan Perwakilan RI di New Delhi. Oleh perwakilan RI di India, informasi didistribusikan ke Perwakilan RI di PBB. Termasuk, informasi penting Serangan 1 Maret 1949 oleh TNI ke Yogyakarta, ujar Umar Said Noor.

Peta Stasiun Radio AURI

(Sumber: Umar Said Noor, 1999: 52)