Senin, 01 April 2024

JAN PIETERSZOON COEN MELARANG PERGUNDIKAN

Lukisan Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Hasrat seksual bagi manusia menjadi kebutuhan pokok. Jika tidak disalurkan bisa berbahaya. Tak terkecuali para pendatang bangsa Eropa. Yang mulai masif berdatangan sejak awal abad ke-16. Awalnya bangsa Eropa yang datang hanya laki-laki saja. Tinggal dan menetap dalam waktu yang lama. Karenanya mereka butuh pasangan hidup.

Banyaknya kaum laki-laki Eropa yang datang, tidak sebanding dengan jumlah wanitanya. Karena itu dibutuhkan pasangan dari wanita setempat. Untuk menyalurkan birahi seksual mereka. Wanita-wanita itu populer disebut nyai. Jumlahnya pun bisa lebih dari satu. Biasa disebut dengan istilah pergundikan. Mereka hidup bersama layaknya suami-istri, namun tanpa ikatan perkawinan yang sah di mata hukum.

Kebiasaan menyimpan wanita sebagai gundik, sebenarnya bukan hal baru. Pada zaman imperium Hindu-Budha dan Islam sudah ada. Para raja dan sultan biasa memiliki banyak wanita. Di belakang sang permaisuri, ada banyak selir. Akibatnya mempunyai banyak anak. Tak jarang suksesi kepemimpinan kerap diwarnai perang. Saling berebut untuk menggantikan sang penguasa. Situasi tersebut, menurut Onghokham (2018) pakar sejarah Jawa, dalam buku Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang, karena tidak jelasnya aturan pergantian penguasa (hlm. 51-55).

Tetapi ini bukan soal pergundikan masa imperium di Jawa. Soal pergundikan yang dilakukan oleh orang Eropa. Sejak VOC memindahkan kantornya di Batavia, sudah marak pergundikan. Para pegawai VOC, dari tingkat rendah sampai tinggi, kerap memelihara nyai. Biasanya wanita itu juga sebagai pembantu sang majikan.

Lukisan Pengurus Rumah Tangga (Nyai) Sekitar Tahun 1853-1855

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Kebutuhan Pergundikan

Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC tahun 1618-1623 dan 1627-1629, menyadari pentingnya menyediakan wanita-wanita Eropa. Sebagai pasangan hidup para pegawai VOC. Dalam buku tulisan Leonard Blusse (2004), berjudul Persekutuan Aneh Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC, dikatakan Coen menulis surat kepada Heren XVII. Meminta dikirim wanita-wanita Eropa dari kalangan yang baik-baik. Serta, mengusulkan para keluarga Belanda untuk beremigrasi ke Batavia (hlm. 301). Upaya ini pun tidak berhasil. Sebab, laki-laki Eropa di Batavia tetap lebih senang memelihara para nyai.

Bagi kalangan pegawai VOC, sistem pergundikan lebih fleksibel. Banyak di antara pegawai itu tidak selamanya tinggal di Hindia Timur. Suatu ketika mereka akan kembali ke Belanda. Di Hindia Timur hanya bekerja mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Nyai atau gundik yang mereka pelihara, akan ditinggalkan begitu saja.

Maraknya pergundikan di Batavia, membuat resah sang Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen. Dikutip dari buku tulisan Reggie Baay (2017), berjudul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, dalam surat Coen pada 11 Desember 1620. Dikatakan bahwa seorang gundik malas (kecuali dalam hal seks), bodoh, pembohong, dan bahkan mematikan. Dan karena kebenciaannya, seorang gundik bahkan dapat membunuh orang lain (hlm. 13-14).

Penguasa Batavia itu sangat membenci pergundikan di kalangan pegawai VOC. Bahkan, ia pun membenci seorang gundik. Menurutnya pergundikan adalah perilaku janggal, tidak terkendali, dan membahayakan kepentingan kolonial. Ia kemudian mengeluarkan larangan memelihara gundik. Baik di rumah, tempat tinggal, atau tempat lainnya. Larangan ini mulai berlaku pada 11 Desember 1620, tulis Reggie Baay (2017: 2).

Nyai dan pergundikan saat itu tercitrakan negatif. Namun, menjadi kebutuhan sebagian kalangan laki-laki bangsa Eropa. Untuk melampiaskan kebutuhan biologis mereka. Selain itu, secara naluri seorang laki-laki tentu berharap mendapatkan keturunan. Bersama wanita simpanan mereka. Walaupun anak-anak hasil pergundikan juga tercitrakan negatif.

Anak-anak yang lahir di Hindia Timur, tidak selamanya buruk. Di antara mereka itu ada yang sukses. Karena perhatian sang ayah yang dari bangsa Eropa. Seperti Dirck van Cloon, yang mendapat pendidikan hingga negeri Belanda. Setelah kembali dari Belanda, ia menjadi pengusaha yang sukses (Reggie Baay, 2017: 15). Di kemudian hari, Dirck van Cloon mampu menduduki jabatan Gubernur Jenderal VOC tahun 1732-1735.

Rabu, 27 Maret 2024

Live in Social: Belajar Bareng Penduduk Desa Manduro

Bersama Orang Tua Asuh di Desa Manduro tahun 2016

(Sumber: Dokumen Pribadi)

Pendidikan tidak boleh tercerabut dari akarnya. Akar itu adalah masyarakat. Bagaimana pendidikan turut berkontribusi atas kualitas hidup masyarakat. Pendidikan harus menjadikan masyarakat sebagai sumber belajar.

Untuk itu, kegiatan pembelajaran yang mengkorelasikan (menghubungkan) antara materi pelajaran dengan kehidupan nyata sehari-hari senantiasa perlu dilakukan. Salah satunya dengan aktivitas pembelajaran kontekstual, atau “Contextual Teaching and Learning” (CTL).

Menurut Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, dalam bukunya berjudul Teori Belajar dan Pembelajaran, menyatakan pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan nyata sebagai anggota keluarga dan masyarakat (2009: 201).

Salah satu bentuk aktivitas pembelajaran yang mengkaitkan antara pendidikan dengan realitas sosial adalah kegiatan pembelajaran terpadu berbasis riset di Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur pada tahun 2016. Pembelajaran ini dilakukan oleh peserta didik dengan kegiatan observasi partisipan bersama penduduk Desa Manduro. Selama tiga hari dua malam di tengah masyarakat.

Membantu Orang Tua Asuh Bekerja Menjemur Jagung tahun 2016

(Sumber: Dokumen Pribadi)

Selain karena letaknya yang tidak terlalu jauh, Desa Manduro dipilih karena mempunyai faktor keunikan, terutama untuk kajian ilmu sosial dan humaniora. Penduduk Desa Manduro merupakan kelompok pendatang dari etnis Madura. Berdasarkan riwayat setempat, mereka telah menetap cukup lama, dan termasuk yang mendirikan desa tersebut. Dari segi multikultural, penduduk di Desa Manduro yang mayoritas Orang Madura, berada di tengah-tengah kelompok mayoritas yang beretnis Jawa.

Peserta didik menerapkan metode penelitian sosial seperti; observasi dan interview. Dalam kegiatan ini, para peserta didik menerapkan metode “participant as observer” (observasi partisipan), atau bisa juga disebut pengamatan terlibat, tulis Harsja W. Bachtiar (1990: 119-120) dalam tulisanya berjudul “Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian”, dalam, buku yang dieditori Koentjaraningrat berjudul Metode-Metode Penelitian Masyarakat.

Kegiatan tersebut tidak hanya tentang belajar melakukan penelitian sosial. Tetapi memberikan pengalaman yang berbeda. Menyentuh hati peserta didik. Bahwa, di tengah hidupnya yang nyaman, masih ada sebagian masyarakat hidup dengan sederhana dan keterbatasan.

Sabtu, 23 Maret 2024

AIR ANUGERAH BUKAN MUSIBAH: BELAJAR PENGENDALIAN AIR DI MAJAPAHIT

Letak geografis Trowulan sebagai Ibukota Majapahit

(dok: Alifah, dalam Inajati Idrisijanti, 2014: 46)

Hari-hari kini dan yang akan datang, air selalu menjadi persoalan penting. Seringkali diberitakan, air membawa malapetaka. Banjir menerjang berbagai tempat di Indonesia. Tidak mengenal kota atau desa. Hampir semuanya merasakan bencana banjir. Biasanya terjadi ketika musim penghujan pada masa puncaknya.

Namun, tetap menjadi persoalan juga saat musim kemarau tiba. Kemarau yang panjang mengakibatkan kelangkaan air. Di mana-mana, hampir di seluruh bagian wilayah Indonesia terjadi krisis air bersih. Inilah yang akhirnya membuat manusia justru menganggap air sebagai musibah.

Belajar dari imperium kuno yang berada di wilayah Mojokerto bernama Kerajaan Majapahit. Tentang pengendalian air. Dari segi geomorfologi, Penempatan ibukota Majapahit di Trowulan sebenarnya mengandung resiko tingkat tinggi. Penyebabnya keberadaan Trowulan di ujung kipas aluvial Jatirejo. Setiap musim penghujan akan cukup banyak tercurahkan material vulkanik ke arah ibukota Majapahit.

Hal itu dibenarkan oleh A. S. Wibowo dalam tulisannya di Majalah Arkeologi II/3, berjudul Fungsi Kolam Buatan di Ibukota Majapahit, menyebutkan ibukota Majapahit dahulu seringkali dilanda banjir. Banjir mengarah ke beberapa titik penting di sekitar ibukota kerajaan. Seperti; areal persawahan, pemukiman penduduk, tempat penyeberangan, dan lain-lain.

Foto udara terkait keberadaan kanal, saluran air, dan kolam

(dok: http://geoarkeologi.fib.ugm.ac.id)

Kurang lebih 800 tahun yang lalu, Majapahit telah berupaya melakukan pengendalian air. Penelitian Wanny Rahardjo Wahyudi berjudul Pengendalian Air di Kota Majapahit menyebutkan ada lima buah waduk, enam kanal yang jalurnya membujur dari utara ke selatan, delapan kanal yang jalurnya melintang dari barat ke timur (2003: 30-31).

Dari hasil penafsiran foto udara yang dibuat Bakosurtanal menunjukkan adanya tanggul dan saluran buatan yang membelokkan arah aliran sungai asli ke kanal-kanal, tulis Kardono Darmoyuwono (1981: 6) dalam laporan penelitiannya berjudul Penerapan Teknik Penginderaan Jauh untuk Inventarisasi dan Pemetaan Peninggalan Purbakala Daerah Trowulan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Karina Arifin pun dalam makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA IV) berjudul Sisa-sisa Bangunan Air Zaman Kerajaan Majapahit di Trowulan, menafsirkannya sebagai saluran pengelolaan air (1986: 176).

Adanya saluran irigasi buatan dan alamiah, material vulkanik yang terbawa banjir dapat dikendalikan. Perlu penataan ruang dan tata kota yang ramah. Agar dampak destruktif air dapat dikelola. Mitologi Samudramanthana merupakan pengendalian air dari aspek spiritual. Membentuk karakter manusia zaman Majapahit untuk berkolaborasi dengan alam, terutama soal air.

Selasa, 19 Maret 2024

Bertahan Hidup dari Krisis Pangan Penjajahan Jepang

Ilustrasi Memasak Keong Sawah dan Bekicot

(Sumber: https://travel.kompas.com/read/2020/04/22/190800927)

Kehebatan manusia dibanding makhluk hidup lainnya adalah kemampuannya beradaptasi. Maka dari itu, sebenarnya teori pembelajaran yang adaptif masih lebih baik dari teori diferensiasi.

Mengajarkan pentingnya adaptasi tentu lebih berkelanjutan. Teori diferensiasi tidak merubah fakta, bahwa kenyataannya manusia memang berbeda. Sedangkan, teori adaptif mengajarkan manusia untuk beradaptasi. Terhadap segala perubahan yang terjadi. Sehingga manusia berhasil melewati berbagai tantangan hidup.

Krisis pangan masa pendudukan Jepang menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi. Khususnya bagi penduduk yang tinggal di Pulau Jawa. Walaupun makanan yang dikonsumsi berkalori rendah, tetapi penduduk masih dapat bertahan. Mereka mengkonsumsi bahan pangan pengganti beras, yang saat itu memang sulit didapatkan. Berikut tabel tingkat kalori makanan yang dikonsumsi penduduk Jawa, yang berasal dari penelitian Pierre van der Eng berjudul Food Supply in Java during War and Decolonisation, 1940-1950 (1994: 26);

Kalori yang tersedia di Jawa tahun 1940-1950(Kal per kapita per hari)

(dok: Pierre van der Eng, 1994: 26)

Berdasarkan tabel di atas, konsumsi yang berkalori pada masa pendudukan Jepang mengalami penurunan. Khususnya yang berasal dari konsumsi beras. Akan tetapi, untuk tetap bertahan hidup, penduduk Jawa mengganti menu makanan yang berbahan jagung, singkong, kedelai, dan ubi jalar.

Bahkan, beberapa bahan pangan yang sebelumnya tidak dimakan juga dimanfaatkan. Seperti; bonggol dan batang pohon pisang dan pepaya, daun singkong, dan badur (akar semacam keladi). Untuk pengganti protein, bekicot juga menjadi menu santapan, Aiko Kurasawa dalam bukunya berjudul Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 (2015: 116-117).

Hal itu, sejalan dengan pernyataan Moeljo Oembari (kelahiran tahun 1930-an), saksi mata zaman penjajahan Jepang di daerah Mojoagung. Untuk bertahan hidup bersama keluarga harus memanfaatkan ubi jalar sebagai sumber pangan pengganti beras (Wawancara, Jum’at 1 Juni 2018).

Di sisi lain, pemerintah pendudukan Jepang hanya melakukan propaganda untuk mengatasi krisis pangan. Melalui organisasi bentukannya, seperti tonarigumi dan fujinkai menyuarakan slogan “menu perjuangan”. Makanan ini disebut “bubur perjuangan”, yang terdiri dari campuran ubi, singkong, dan katul (Aiko Kurasawa, 2015: 116).

Pemerintah pendudukan Jepang masih tetap melarang perdagangan beras di pasar. Tentu, alasan paling masuk akal, beras lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan perang. Daripada dikonsumsi secara bebas oleh penduduk Jawa.

Meskipun penduduk Pulau Jawa mengalami masa-masa sulit, namun mereka tetap bertahan. Mereka beradaptasi dengan mengkonsumsi bahan pangan pengganti beras. Seperti; jagung, singkong, kedelai, ubi jalar, bonggol dan batang pohon pisang dan pepaya, daun singkong, dan badur (akar semacam keladi dan beracun).

Sebagai pengganti protein, penduduk juga memakan daging bekicot. Bahan-bahan pangan tersebut hingga hari ini masih dikonsumsi penduduk di Pulau Jawa. Daging bekicot dapat diolah sesuai selera, digoreng, disate atau disayur.

Rabu, 13 Maret 2024

Tuyul Pengumpul Harta Kekayaan

Potret Onghokham dalam Buku Onze Ong

(Sumber: Sampul Buku Onze Ong, Komunitas Bambu)

Dalam suatu simposium sejarah di Cornell University, Amerika Serikat sekitar bulan Juli 1990. Sejarawan Dr. Onghokham menjadi salah satu pematerinya. Ia menulis tentang kepercayaan akan Tuyul dalam masyarakat Indonesia. Saat menjelaskan materinya, tidak semua orang tahu tentang Tuyul dalam simposium. Ia mengatakan “Tuyul is the black child with a bald-headed like me…” Sambil mengelus kepalanya yang gundul.

Almarhum Pak Ong sapaan akrabnya. Salah satu sejarawan nyentrik generasi pengajar sejarah tahun 60-an sampai 90-an. Cukup berani ia menulis tentang Tuyul. Apalagi dalam suatu simposium internasional. Apa yang ditulis Pak Ong, bagi sejarawan yang terlalu teoritis dan metodologis dianggap biasa saja.

Sebaliknya, dalam pengantar buku tulisan Onghokham berjudul Madiun dalam Kemelut Sejarah, Priyayi dan Petani di Karesidenan Madiun Abad XIX, Peter Carey sejarawan dari Oxford University, Inggris memujinya. Peter Carey terkenang dengan ucapan Pak Ong. Mengatakan: “sejarah adalah studi tentang individu, bukan tentang struktur, sistem, atau institusi… pengalaman manusia kaya, amat kaya, untuk dikaji oleh suatu metodologi saja”. Ini yang kemudian menginspirasi Peter Carey menyusun disertasi S3 di Oxford tentang Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa (2018: xix).

Sama dengan Peter Carey. Saya menulis sejarah juga banyak terpengaruh oleh Pak Ong. Terutama tentang historiografi. Pasca kemerdekaan, para Begawan sejarah menyusun historiografi indonesiasentris. Sebaliknya, Pak Ong tetap pada pendirian bahwa historiografi kolonial tidak boleh dikesampingkan, tulis Onghokham dalam kata pengantar bukunya berjudul Runtuhnya Hindia Belanda (1999: vii). Bagaimanapun juga sejarah kolonial adalah bagian dari sejarah nasional kita.

Sejarah itu berkisah tentang pengalaman manusia. Termasuk tentang Tuyul. Penulisan tentang Tuyul bermula dari penelitian Clifford Geertz. Seorang antropolog yang di tahun 1950-an meneliti masyarakat Jawa di Mojokuto (saat ini Pare). Saat itu ia sedang menempuh studi antropologi sosial di Harvard University, Amerika Serikat.

Informan dalam penelitiannya menyebut Tuyul adalah makhluk halus anak-anak. Tuyul tidak menggangu, menakuti orang atau membuatnya sakit. Justru Tuyul sangat disenangi manusia. Karena membantu manusia menjadi kaya. Tuyul bisa disuruh mencuri uang. Bisa menghilang dan bepergian jauh hanya dalam sekejap mata. Tentu tidak akan mengalami kesulitan dalam mencari uang untuk tuannya, tulis Clifford Geertz dalam bukunya berjudul Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (2014: 10).

Sebagian besar informan Geertz di Mojokuto, menyebutkan ada tiga orang kaya raya yang memelihara Tuyul. Seorang jagal kaya, perempuan pengusaha tekstil, dan saudagar kaya yang disebut haji (2014: 17). Penelitian Clifford Geertz merupakan karya etnografi yang menarik. Namun, untuk menjadi data sejarah dengan akurasi yang kuat tentu butuh data pembanding. Sangat mungkin, kebiasaan orang Jawa melihat orang lain (tetangganya) kaya dengan menuduhnya memelihara Tuyul. Hal ini yang kemudian melemahkan etos kerja orang Jawa.

Minggu, 10 Maret 2024

AIR DALAM TRADISI JAWA KUNO DI MAJAPAHIT

Patirtaan atau Candi Tikus tahun 1933

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Dalam bahasa Jawa Kuno terdapat kata “er”, “air”, atau “her”, yang berarti air. Pada kitab Nagarakretagama, terdapat istilah “mantri air haji” yaitu pejabat yang bertugas mengawasi sejumlah krsyan yang terdiri atas Sampud, Rupit, Pilan, Pucangan, Pawitra, Jagaddita, Butun, arca-arca lingga, saluran-saluran air (pranala) dan pancuran (jaladwara) yang dikeramatkan. Sedangkan, istilah “air haji” merupakan pejabat yang mengurusi air suci milik raja. Tempat sumber air suci disebut patirtaan (patirthan). Air ini dipercaya dapat menghilangkan bermacam klesa (rintangan) dan kotoran, tulis Agus Aris Munandar, dalam bukunya berjudul Ibukota Majapahit: Masa Kejayaan dan Pencapaian (2008: 15). Barangkali, jika dilihat dari aspek spiritual yang dimaksud kotoran adalah dosa.

Unsur air memang tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan masyarakat saat itu. Agus Aris Munandar juga menekankan, berdasarkan analisa cerita pada relief candi di Jawa, digambarkan gentong batu berisi air di bawah pohon kalpawreksa. Dimaksudkan agar para dewa yang turun dapat menetap dalam air di gentong batu. Air tersebut menjelma menjadi air amerta yang disemayami para dewa (2008: 64). Bisa dikatakan jika air amerta merupakan air suci. Biasanya digunakan untuk ritual keagamaan.

Selain untuk ritual kepercayaan, air juga berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan duniawi. Seperti; konsumsi, irigasi pertanian dan perkebunan, sarana transportasi air, dan lain-lain. Air untuk konsumsi penduduk di ibukota kerajaan sudah higienis. Terbukti dari temuan beberapa sumur kuno di daerah Trowulan.

Iklan Wisata Jolotundo di Pesanggrahan Trawas tahun 1929

(Sumber: De Indische Courant, 3 Desember 1929)

Dalam penelitian Wanny Rahardjo Wahyudi berjudul Pengendalian Air di Kota Majapahit, terkait dengan irigasi persawahan tercatat pada beberapa prasasti. Antara lain; prasasti Jiyu I (1486 M) berisi tentang perluasan batas tanah untuk sawah, prasasti Jiyu IV (1486 M) tentang biaya mengairi sawah, prasasti Jayasong Jayapatra (1350 M) tentang perebutan sawah, prasasti Karang Bogem (1387 M) tentang pejabat-pejabat pengelola air atau irigasi (2003: 24-25).

Masyarakat masa Majapahit juga berupaya untuk beradaptasi dengan lingkungan alam. Khususnya terkait dengan air. Apalagi, daerah Trowulan yang diyakini sebagai ibukota Majapahit saat itu berada di daerah rawan bencana. Berdasarkan letaknya, dahulu sering dilanda banjir akibat dari luapan air dan lahar, tulis A. S. Wibowo dalam Majalah Arkeologi berjudul Fungsi Kolam Buatan di Ibukota Majapahit (1977: 44).

Untuk mengurangi dampak banjir dan bahkan mengalihkannya, maka dibuatlah beberapa bangunan dan saluran air. Sehingga, dampak destruktif dari bencana alam dapat dihindari. Di satu sisi, air merupakan sumber kehidupan bagi semua mahkluk hidup.

Jumat, 08 Maret 2024

Klik Ngopi

Mencari dan Menemukan Ruang Tersenyum bersama Kopi

(Sumber: Dokumen Pribadi)

Ketika berada di tempat baru, pertama yang harus ditemukan adalah ruang masuk jaringan sosial. Perlu menemukan suasana yang nyaman. Untuk mengalihkan beban. Namun, memberikan ruang belajar adaptasi. Ruang itu bisa dalam bentuk ngopi bareng. Santai tetapi ada banyak sumber informasi awal yang masuk. Informasi awal dapat menjadi langkah pijakan awal beradaptasi di tempat baru.

Bagi orang yang belajar ilmu sosial dan humaniora, jaringan sosial sangat penting. A. L. Epstein dalam tulisannya “The Network and Urban Social Organization” yang dieditori oleh J. Clyde Mitchell berjudul Social Network in Urban Situations diterbitkan oleh Manchester University Press, mengatakan setiap jaringan sosial pada dasarnya selalu bersifat egosentris dan personal. Oleh karena itu, kesatuan hubungan-hubungan yang terbentuk senantiasa bersifat khas bagi tiap-tiap individu (1971: 109). Individu akan mendapatkan pengalaman yang berbeda tentunya.

Klik Ngopi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jaringan sosial. Tiap individu akan mencari ruang untuk belajar. Dengan memperbanyak “mendengar” informasi awal. Apakah kemudian individu akan memutuskan pilihan yang paling menguntungkan bagi dirinya? Di sinilah ujian sosial dan kepribadian dimulai. Sebab, definisi “menguntungkan” dapat bermakna ganda.

Menguntungkan karena jaringan sosial menjadi wadah bertemunya beragam individu. Ada beragam kepentingan yang di bawa. Namun, kepentingan yang relatif sama di antara individu akan membentuk suatu kumpulan manusia yang teratur saling berhubungan, berinteraksi, dengan tingkah laku yang relatif tetap (berpola). Pada gilirannya akan menjadi kelompok sosial. Kumpulan manusia berjumlah dua orang atau lebih, dengan pola interaksi yang nyata dan sebagai satu kesatuan, tulis Soekandar Wiraatmadja dalam bukunya berjudul Rural Sosiology (1976: 46). Artinya, Klik Ngopi tidak lain bagian dari kumpulan manusia. Dalam sosiologi sering disebut kelompok sosial. Para pembelajar sepangjang hayat akan menempatkan Klik Ngopi sebagai tempat belajar.

Demikianlah bahwa belajar dapat terjadi di mana saja. Dalam kegiatan ngopi sekalipun. Memaknai suatu aktivitas dengan positif tentu lebih baik. Sebab, bagi saya mencari dan menemukan ruang tersenyum lebih berharga.

Senin, 04 Maret 2024

Kolaborasi Belajar Sejarah Bersama Teman Sejawat

Foto Kegiatan Bersama Panitia dan Peserta Bedah Buku Japanan Festival 2024

(Sumber: Dokumen Pribadi)

Tahun ini merupakan tahun pertama saya di SMAN 1 Puri Mojokerto. Ketika pertama kali masuk, saya bertemu teman sejawat yang sama-sama mengajar sejarah. Namanya Bapak M. Mahfudi, yang juga baru pertama masuk di sekolah baru. Pindah tugas dari Maluku, sebagai guru yang berjuang di garis depan daerah terluar. Kami memiliki minat yang sama. Sama-sama ingin belajar sejarah dan membangun tradisi literasi. Karenanya, kami mengikuti kegiatan literasi di mana saja.

Salah satu cara mengimplementasikan budaya literasi dapat dilakukan di mana saja. Termasuk dapat dilakukan di luar kegiatan KBM di sekolah. Bekerjasama dengan komunitas literasi di sekitar sekolah. Kompas atau komunitas pelestari sejarah merupakan komunitas sejarah di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kegiatan utama dengan membedah buku sejarah lokal.

Bagaimanapun mendekati peserta didik dengan menggandeng komunitas literasi di luar sekolah merupakan salah satu cara mendekatkan dunia literasi kepada anak-anak Generasi Z. Buku yang dibedah adalah karya penulis sendiri, berjudul “Mojowarno dan Komunitas Multikultural Tahun 1864-1931”. Kegiatan ini dilaksanakan pada 2 Maret 2024 di acara J-Fest Desa Japanan, Mojowarno Kabupaten Jombang.

Menggugah budaya literasi penting dilakukan, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Terkadang anak-anak kurang memaksimalkan potensi literasinya di dalam sekolah. Karena berbagai faktor tentunya. Nah, kegiatan ini dapat menjadi alternatif untuk menumbuhkembangkan literasi yang dilakukan di luar sekolah. Potensi literasi peserta didik sesungguhnya luar biasa besar. Mereka pun pembaca yang kuat sebenarnya, namun potensi ini terkadang kurang mendapatkan apresiasi.

Strategi menggandeng komunitas literasi di luar sekolah tentu bertujuan sama dengan literasi di dalam sekolah. Sebab, muaranya adalah bagaimana peserta didik dapat dekat dengan literasi. Mereka dapat membaca, berdiskusi, dan akhirnya mampu menulis atau membuat karya literasi.

Kamis, 01 Februari 2024

Kelaparan dan Kematian Era Pendudukan Jepang

Seperti bantuan sosial (bansos) beras yang dikorupsi saat ini. Rakyat sengsara di masa penjajahan Jepang juga karena korupsi beras. Penelitian wawancara A. B. Lapian dan J. R. Chaniago yang kemudian menjadi buku berjudul Di bawah Pendudukan Jepang: Kisah Empat Puluh Dua Orang yang Mengalaminya, menyebutkan tindakan korupsi dalam pendistribusian beras muncul dilakukan oleh staf-staf Kumiai (1988: 25).

Selain korupsi, Jepang saat menduduki Indonesia melakukan perampasan padi. Rakyat harus menyerahkan padi kepada Jepang. Dengan komposisi 40% untuk petani, 30% untuk Jepang, dan 30% untuk cadangan.

Kekurangan bahan pangan di Jawa disebabkan harus mengganti beras yang gagal dikirim karena tenggelam di Laut Jawa. Serta, diperuntukkan juga untuk jatah romusha, baik yang ada di Pulau Jawa maupun di luar Jawa, tulis Aiko Kurasawa, dalam bukunya berjudul Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 (2015: 107-108).

Masyarakat yang kekurangan gizi

(dok: Aiko Kurasawa, 2015: 117)

Temuan Aiko Kurasawa dalam penelitiannya di Jawa tersebut, terkait menurunnya kesejahteraan penduduk dapat dibenarkan. Bahan pangan, terutama beras sangat sulit didapatkan. Kalaupun ada, di pasar gelap harganya cukup mahal. Sehingga, sebagian besar rakyat tidak mampu membelinya.

Sampel yang digunakan untuk meninjau kemiskinan dan kelaparan di Jawa, dengan membandingkan petani pemilik sawah dengan petani penggarap sawah. Masih cukup beruntung petani pemilik sawah. Hasil panen dari 0,5 hektar luas sawah, menghasilkan 10 kuintal beras. Diberikan kepada petani penggarap (bawon) sebanyak 2 kuintal. Tersisa 8 kuintal. Kuota yang harus diserahkan kepada Jepang sebesar 2,4 kuintal (30%). Tersisa 5,6 kuintal. Untuk bibit musim tanam berikutnya 0,5 kuintal. Tersisa 5,1 kuintal, atau beras sekitar 357 kg. Jika keluarga tersebut terdiri enam anggota, maka masing-masing mendapat jatah 60 kg beras. Konsumsi harian per kapita sekitar 164 g, per orang (Aiko Kurasawa, 2015: 115-116). Sedangkan, petani penggarap hanya mendapat 2 kuintal. Harus menghidupi keluarga, menyetor padi kepada Jepang, dan membayar hutang. Hal ini yang memicu terjadinya penyakit busung lapar karena kekurangan gizi.

Bencana kelaparan di Jawa masa pendudukan Jepang berkorelasi secara langsung dengan tingkat fertilitas dan mortalitas. Seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini;

(dok: Aiko Kurasawa, 2015: 118-119)

Tingginya tingkat kematian di Jawa terjadi pada tahun 1944. Dengan jumlah kematian mencapai 1.423.000 jiwa. Dimungkinkan, tahun 1944 Jepang bertindak lebih ekploitatif terhadap penduduk Jawa. Apalagi, pada tahun itu Jepang terus terdesak oleh pasukan Sekutu. Ancaman kekalahan dalam Perang Pasifik membuat Jepang bertindak lebih keras. Khususnya, dalam urusan bahan makanan (beras) yang dibutuhkan untuk mendukung perang.

Jumat, 05 Januari 2024

DARI BEDOG KE SURINAME

Orang Jawa di Suriname tahun 1894

(Sumber: https://geheugen.delpher.nl/nl/geheugen/view/javaanse-immigranten-depot)

Diaspora orang Jawa di Suriname cukup banyak. Mereka ini datang ke Suriname di bawa sejak era kolonial. Gelombang pertama migrasi sejak kedatangan mereka di Suriname pada 9 Agustus 1890, seperti yang tertulis dalam kemlu.go.id. Dalam penelitian Hary Sulistyo, dkk dalam Jurnal Kawisastra UGM menyatakan bahwa meskipun menjadi diaspora yang jauh dari homeland, namun tetap terhubung sebagai Jawa yang terus mereka pertahankan secara identitas kultural (2020: 365). Kini mereka tinggal dan menetap di Suriname, di Benua Amerika yang jauh dari negeri nenek moyangnya di Pulau Jawa.

Seperti tercatat dalam Algemeene Secretarie Templaar No. 1031 (Arsip ANRI), dasar melakukan migrasi ke Suriname melalui Keputusan Kerajaan Belanda 22 Maret 1872 No. 27. Dengan kontrak kerja selama lima tahun, yang setelah itu mereka diperbolehkan kembali ke tanah air. Kecuali mereka yang telah menerima premi.

Mereka yang didatangkan dari Pulau Jawa akan bekerja di sektor pertanian, perkebunan, dan pertambangan. Menurut Yusuf Ismael dalam bukunya berjudul Indonesia Pada Pantai Lautan Atlantik, menyebutkan pengiriman orang Jawa ke Suriname tahun 1890-1939 (49 tahun) dengan jumlah total 32.956 orang (1955: 30). Mereka yang di bawa ke Suriname berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Salah satunya berasal dari wilayah Mojokerto.

Sadan Penduduk Desa Bedog Dikirim ke Suriname tahun 1920-an

(Sumber: https://www.nationaalarchief.nl/sites/default/files/ntimages/NT00346/resources/hds-java-photos/ww/ww1276.jpg)

Informasi menarik tentang penduduk onderdistrik Puri ada yang dikirim ke Suriname. Bernama Sadan, yang berasal dari Desa Bedog. Ia menandatangani kontrak kerja ke Suriname pada 27 Maret 1920 sampai 27 Maret 1925. Dengan Kontrak Kode WW1276. Berangkat dari Semarang menuju Paramaribo, Suriname dengan menaiki Kapal Merauke. Saat itu ia masih berusia 23 tahun. Usia seseorang yang masih produktif bekerja.

Berdasarkan keterangan dalam foto arsip yang dikeluarkan nationaalarchief.nl disebutkan ia memperpanjang kontrak kerjanya. Diperpanjang mulai 15 Mei 1925 sampai tahun 1930-an. Bekerja di perusahaan perkebunan Waterloo & Hazard, Nickerie Suriname. Tidak diketahui apakah kemudian ia kembali pulang saat kontrak kerjanya habis. Namun demikian, dari informasi dalam keterangan fotonya ia mendapatkan premi. Yang artinya kemungkinan besar tidak kembali ke Pulau Jawa.