Selasa, 19 Maret 2024

Bertahan Hidup dari Krisis Pangan Penjajahan Jepang

Ilustrasi Memasak Keong Sawah dan Bekicot

(Sumber: https://travel.kompas.com/read/2020/04/22/190800927)

Kehebatan manusia dibanding makhluk hidup lainnya adalah kemampuannya beradaptasi. Maka dari itu, sebenarnya teori pembelajaran yang adaptif masih lebih baik dari teori diferensiasi.

Mengajarkan pentingnya adaptasi tentu lebih berkelanjutan. Teori diferensiasi tidak merubah fakta, bahwa kenyataannya manusia memang berbeda. Sedangkan, teori adaptif mengajarkan manusia untuk beradaptasi. Terhadap segala perubahan yang terjadi. Sehingga manusia berhasil melewati berbagai tantangan hidup.

Krisis pangan masa pendudukan Jepang menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi. Khususnya bagi penduduk yang tinggal di Pulau Jawa. Walaupun makanan yang dikonsumsi berkalori rendah, tetapi penduduk masih dapat bertahan. Mereka mengkonsumsi bahan pangan pengganti beras, yang saat itu memang sulit didapatkan. Berikut tabel tingkat kalori makanan yang dikonsumsi penduduk Jawa, yang berasal dari penelitian Pierre van der Eng berjudul Food Supply in Java during War and Decolonisation, 1940-1950 (1994: 26);

Kalori yang tersedia di Jawa tahun 1940-1950(Kal per kapita per hari)

(dok: Pierre van der Eng, 1994: 26)

Berdasarkan tabel di atas, konsumsi yang berkalori pada masa pendudukan Jepang mengalami penurunan. Khususnya yang berasal dari konsumsi beras. Akan tetapi, untuk tetap bertahan hidup, penduduk Jawa mengganti menu makanan yang berbahan jagung, singkong, kedelai, dan ubi jalar.

Bahkan, beberapa bahan pangan yang sebelumnya tidak dimakan juga dimanfaatkan. Seperti; bonggol dan batang pohon pisang dan pepaya, daun singkong, dan badur (akar semacam keladi). Untuk pengganti protein, bekicot juga menjadi menu santapan, Aiko Kurasawa dalam bukunya berjudul Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 (2015: 116-117).

Hal itu, sejalan dengan pernyataan Moeljo Oembari (kelahiran tahun 1930-an), saksi mata zaman penjajahan Jepang di daerah Mojoagung. Untuk bertahan hidup bersama keluarga harus memanfaatkan ubi jalar sebagai sumber pangan pengganti beras (Wawancara, Jum’at 1 Juni 2018).

Di sisi lain, pemerintah pendudukan Jepang hanya melakukan propaganda untuk mengatasi krisis pangan. Melalui organisasi bentukannya, seperti tonarigumi dan fujinkai menyuarakan slogan “menu perjuangan”. Makanan ini disebut “bubur perjuangan”, yang terdiri dari campuran ubi, singkong, dan katul (Aiko Kurasawa, 2015: 116).

Pemerintah pendudukan Jepang masih tetap melarang perdagangan beras di pasar. Tentu, alasan paling masuk akal, beras lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan perang. Daripada dikonsumsi secara bebas oleh penduduk Jawa.

Meskipun penduduk Pulau Jawa mengalami masa-masa sulit, namun mereka tetap bertahan. Mereka beradaptasi dengan mengkonsumsi bahan pangan pengganti beras. Seperti; jagung, singkong, kedelai, ubi jalar, bonggol dan batang pohon pisang dan pepaya, daun singkong, dan badur (akar semacam keladi dan beracun).

Sebagai pengganti protein, penduduk juga memakan daging bekicot. Bahan-bahan pangan tersebut hingga hari ini masih dikonsumsi penduduk di Pulau Jawa. Daging bekicot dapat diolah sesuai selera, digoreng, disate atau disayur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar