Minggu, 16 Oktober 2022

TREM MOJOKERTO-MOJOAGUNG-NGORO

Trem yang Digunakan oleh Oost-Java Stoomtram Maatschappij (OJS)

(Sumber: G. H. Von Faber, Oud Soerabaia (1931: 204)

Pemerintahan Presiden Jokowi punya proyek kereta cepat guys. Jakarta-Bandung dibangun rel sepanjang 142,3 km. Nantinya dapat ditempuh hanya sekitar 36-45 menit. Eits, sekitar seratus tahun yang lalu kuda besi sudah melingkar di tanah Jawa. Pemerintah kolonial banyak membangun jaringan transportasi darat. Di Pulau Jawa, antar daerah terhubung jalur kereta api dan trem lho. Termasuk trem jalur Mojokerto-Ngoro.

Banyak dari jalur trem yang kini tidak lagi dapat disaksikan. Jalur trem Mojokerto-Ngoro sudah tidak tampak. Tertutup oleh aspal jalan raya. Bangunan-bangunan bekas stasiun dan gudang pun telah beralih fungsi. Di antaranya bahkan sudah hilang ditelan zaman.

Saat itu, pihak swasta banyak yang mengajukan konsesi pembangunan jalur kereta api dan trem. G. H. Von Faber (1931), dalam bukunya berjudul Oud Soerabaia: De Geschiedenis Van Indies Eerste Koopstad Van De Oudste Tijden Tot De Instelling Van Den Gemesnteraad (1906) menyebutkan bulan Maret 1882, A. C. Benninck Janssonius dan G. A. Oliver mengajukan lisensi pembangunan jalur trem Mojokerto-Ngoro (hlm. 203-204). Beberapa tahun kemudian pemerintah kolonial baru memberikan izin.

Jalur Mojokerto-Ngoro dikelola oleh Oost-Java Stoomtram Maatschappij (OJS), yang dibentuk pada 7 Juni 1888. Namun, perusahaan tersebut baru mendapatkan persetujuan oleh pemerintah kolonial pada 27 Juni 1888 (G. H. Von Faber, 1931: 204). OJS mengelola 2 jalur trem, pertama jalur Surabaya-Krian, dan kedua jalur Mojokerto-Ngoro-Dinoyo.

Pembangunan jalur Mojokerto-Ngoro dimulai pada awal tahun 1889. Jalur ini memiliki panjang 33,6 km. Pembangunan jalur tersebut dibagi menjadi dua seksi. Pertama, jalur Mojokerto-Mojoagung sepanjang 16,7 km. Kedua, jalur Mojoagung-Ngoro sepanjang 16,9 km. Berikutnya, pada tahun 1891 dibangun jalur Gemekan-Dinoyo sepanjang 7,8 km.

Proses pembangunan jalur trem Mojokerto-Ngoro dimuat dalam media massa saat itu. Yakni, majalah De Locomotief terbitan tanggal 21 Agustus 1889 (hlm. 353) dan 11 Februari 1891 (hlm. 156). Disebutkan bulan Juni 1889 pembangunan jalur atau rel trem sudah mencapai 22 km. Termasuk pembangunan jembatan sungai yang dilalui jalur trem ada yang panjangnya 40 meter. Pada 1 Oktober 1899, jalur Mojokerto-Mojoagung sudah dapat digunakan. Sedangkan, jalur Mojoagung-Ngoro mulai digunakan pada 1 Januari 1890. Setahun berikutnya proses pembangunan jalur trem Gemekan-Dinoyo dilaksanakan. Jalur tersebut mulai digunakan pada 5 Maret 1892.

Jalur Trem Mojokerto-Ngoro Tahun 1902

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/814245)

Trayek dan Tiket Trem

Trayek trem yang dikelola oleh OJS untuk jalur Mojokerto-Ngoro melalui beberapa halte dan pemberhentian (stasiun). Dalam buku panduan perjalanan tahun 1926, berjudul Officieele Reisgids der Spoor en Tramwegen en Aansluitende Automobieldiensten op Java en Madoera, Uitgave van 1 Mei 1926, berikut ini halte atau stasiun trem yang dimulai dari; Mojokerto Kali, Mojokerto Stasiun, Penarip, Kepindon, Kedungpring, Brangkal, Gemekan, Jati Pasar, Trowulan, Tanggalrejo, Mojoagung, Rosobo, Dukusari, Pasar Gayam, Selorejo (Pabrik), Mojojejer, Mojowangi, Pasar Mojowarno, Kayen, Guwo, Kertorejo, dan Ngoro. Dalam sehari, trem Mojokerto-Ngoro melayani 5 kali keberangkatan. Sebaliknya, Ngoro-Mojokerto juga 5 kali keberangkatan (1926: 192-193).

Dalam buku De Tramwegen Op Java, Gedenkboek Samengesteld Ter Gelegenheid Van Het Vijf en twintig-jarig Bestaan der Semarang-Joana Stoomtram-Maatschappij (1907), jalur Mojokerto-Ngoro untuk melayani penumpang dan barang. Sedangkan, jalur Gemekan-Dinoyo hanya untuk barang saja (hlm. 21). Untuk jalur Mojokerto-Ngoro, rata-rata pendapatan kotor harian per kilometer pada tahun 1890 sebesar f 1,59 gulden, tahun 1893 sebesar f 1,91 gulden, tahun 1896 sebesar f 3,13 gulden, tahun 1899 sebesar f 4,40 gulden, tahun 1902 sebesar f 3,45 gulden, dan tahun 1905 sebesar f 3,31 gulden (hlm. 92).

Tiket penumpang Mojokerto-Ngoro dibagi menjadi tiga kelas. Kelas 1, Kelas 2, dan Kelas 3 untuk penduduk pribumi. Pada tahun 1905, tiket Kelas 1 terjual 3.374, Kelas 2 terjual 30.159, dan Kelas 3 terjual 306.251 (1907: IV). Pengangkutan barang jalur Mojokerto-Ngoro-Dinoyo, seperti produk gula, kopi, tembakau, kayu, minyak, beras, dan lain-lain (1907: V). Keuntungan bersih per kilometer yang diperoleh OJS pada tahun 1905 adalah f 2,43 gulden (1907: VI). Berarti jika panjang jalur Mojokerto-Ngoro 34 km, maka keuntungan bersih yang didapat adalah f 81,64 gulden.

Bisnis transportasi darat terlihat cukup menjanjikan. Ini yang membuat banyak pihak swasta berusaha mendapatkan konsesi jalur trem. Tak terkecuali jalur Mojokerto-Ngoro yang dikelola pihak swasta (OJS).

Sayangnya jalur trem tersebut tidak mampu bertahan. Pasca kemerdekaan sudah tidak digunakan lagi. Membayangkan kalau trem itu masih ada hingga kini. Para pekerja dan anak sekolah berangkat dan pulang naik trem. Tentu, tidak akan terjadi kemacetan di jalan raya. Polusi udara pun dapat berkurang. Memang, perubahan sosial terkadang harus mengorbankan tatanan sosial yang telah mapan.

Kamis, 13 Oktober 2022

KONSERVASI MATA AIR DALAM TRADISI MASYARAKAT HINDU

Tirta Empul di Gianyar Bali sekitar tahun 1925

(sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/705731)

Kerusakan ekosistem lingkungan alam tentu berdampak terhadap kehidupan manusia. Salah satunya mengakibatkan krisis air di berbagai tempat, bahkan menjadi masalah bersama yang dihadapi oleh manusia. Meskipun, Indonesia menjadi penyumbang 6 % air di dunia, namun diprediksi akan mengalami krisis air pada masa mendatang. Potensi terjadinya krisis air dipercepat adanya kerusakan lingkungan alam.

Pengabaian terhadap keseimbangan alam menjadi sebab utama rusaknya lingkungan. Padahal, setiap agama di dunia mengajarkan pentingnya menjaga dan merawat alam. Termasuk dalam tradisi kepercayaan masyarakat Hindu. Sebelum penganut Hindu berkembang di Bali, Pulau Jawa telah mendapat pengaruh Hindu. Masyarakat Jawa telah mengenal Hindu sejak seribu lima ratus tahun lalu. Dengan munculnya Kerajaan Tarumanegara sekitar abad ke-4 di daerah Jawa Barat. Di Jawa Timur, pengaruh Hindu muncul dengan ditemukannya Prasasti Dinoyo yang bertarikh 682 Saka (760 M). Ratusan tahun lamanya, tradisi Hindu bertahan di masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa.

Di Pulau Bali, pengaruh Hindu mulai terlihat pada sekitar abad ke-9. Dengan ditemukannya prasasti di Pura Desa Sukawana yang bertarikh 804 Saka (882 M). Pengaruh Hindu di Pulau Bali bertahan hingga saat ini. Masyarakat Hindu di Bali, merupakan bukti nyata terjadinya penyebaran kebudayaan India di Indonesia. Meskipun, tidak semua tradisi Hindu dari India yang diadopsi oleh masyarakat saat itu. Masyarakat Hindu saat itu, baik di Jawa dan Bali memiliki cara sendiri dalam beradaptasi dengan tradisi Hindu. Mereka mengembangkan tradisi sebelumnya (tradisi lokal) dengan agama Hindu.

Salah satu ajaran yang beradaptasi dengan tradisi lokal adalah kebiasaan menjaga keseimbangan alam. Konsep ini dikenal dengan nama “Tri Hita Karana”, yang berarti tiga penyebab terciptanya kebahagian. Di mana, ajaran ini mengutamakan hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan menjaga lingkungan alam. Dalam hal pentingnya menjaga hubungan dengan lingkungan alam, terlihat dari upaya manusia untuk merawat alam. Salah satunya dengan melindungi sumber mata air.

Petirtaan Masa Jawa dan Bali Kuno

Agama dan tradisi Hindu memang telah mengajarkan pentingnya menjaga lingkungan alam. Hal ini dapat ditelusuri dari informasi sejarah dan peninggalan sejarah. Pentingnya air merupakan salah satu unsur dalam aktivitas ritual kepercayaan masyarakat Jawa dan Bali kuno. Karena itu, air berperan penting sebagai sarana spiritual.

Sebagai sarana spiritual, sejak masa kerajaan bercorak Hindu di Jawa dan Bali terdapat petirtaan. Karenanya, petirtaan mempunyai fungsi penting dalam masyarakat. Supratikno Rahardjo, dalam bukunya berjudul “Peradaban Jawa Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir”, menyatakan bahwa patirtaan merupakan bagian dari prasarana umum. Secara garis besar ada tiga jenis prasarana umum, yaitu sarana peribadatan dalam bentuk bangunan candi, petirtaan, dan gua-gua pertapaan (2011: 394).

Beberapa bangunan petirtaan yang cukup popular di Pulau Bali antara lain; Tirta Empul, petirtaan Gua Gajah, petirtaan Sudamala, dan lain-lain. Di samping itu, dari penelitian Ni Ketut Puji Astiti Laksmi berjudul “Identifikasi Tempat Suci Pada Masa Bali Kuno”, menyebutkan adanya 460 mata air yang lokasinya menyebar di daerah Bali. Mata air tersebut menjadi sumber air yang mengalir ke sungai, irigasi persawahan, dan sebagian dimanfaatkan untuk air bersih masyarakat (2017: 215). Fungsi yang lain dari adanya patirtaan adalah sebagai sumber mata air.

Petirtaan kuno yang ada di Jawa Timur terletak di lereng Gunung Penanggungan, yakni Petirtaan Jalatundo dan Belahan. Berdasarkan penelitian Agus Aris Munandar, bahwa di lereng-lerang Gunung Penanggungan merupakan tempat pertapaan. Terdapat gua-gua sebagai tempat bertapa para Rsi. Pendapat tersebut ada dalam laporan penelitian berjudul “Gunung Penanggungan Sebagai Tempat Kegiatan Kaum Rsi” (1993: 16). Mata air petirtaan yang terletak di bawahnya merupakan sumber air yang membantu aktivitas kaum pertapa. Juga sebagai sumber mata air untuk irigasi masyarakat saat itu.

Sebagai sumber mata air yang dapat mengairi saluran irigasi pertanian penduduk, tentu petirtaan berfungsi juga untuk aktivitas yang mendukung perekonomian masyarakat pedesaan. Perlu diketahui, dalam buku tulisan AAGN Ari Dwipayana, “Kelas dan Kasta Pergulatan Kelas Menengah Bali”, menyebutkan struktur ekonomi masyarakat Bali zaman kerajaan merupakan struktur ekonomi yang bersifat agraris. Hidup dari bertani, baik sebagai petani pemilik tanah atau penyewa tanah. Pada era hegemoni Majapahit di Bali, dikenal istilah “sawah druwe puri” dan “sawah druwe negara” (2001: 89-91). Pertanian sawah tentu sangat membutuhkan air. Karenanya sumber mata air pada masyarakat saat itu sangat penting. Masyarakat Bali kuno pun telah mengenal pengelolaan air untuk pertanian yang dikenal dengan nama “subak”.

Dalam buku “Sejarah Daerah Bali”, sistem “subak” adalah suatu sistem irigasi pada komunitas masyarakat pedesaan. Organisasi ini mengatur perairan sawah dan telah memiliki peraturan-peraturan baik tertulis maupun yang tidak tertulis yang disebut “awig-awig subak” atau “sima”. Terdapat kepengurusan yang disebut “klian subak” atau “pekaseh”. Dibantu oleh “penyarikan” (sekretaris), “sedahan tembuku” (bendahara), “juru arah” yang bertugas memanggil “krama” (anggota). Anggota subak yang disebut “krama” bertugas membuat bendungan, membagi air, dan menjaga air (1978: 14). Masyarakat agraris dekat dengan tradisi keagamaan. Seperti halnya dalam mengelola pertanian, termasuk air, yang selalu dihubungkan dengan ritual dalam tradisi kepercayaan mereka. Dengan memberikan sesajian kepada para dewa.

Tradisi Konservasi Air

Jauh sebelum era modern seperti saat ini, masyarakat Bali kuno telah mengenal tata cara melindungi dan merawat sumber air. Hal ini karena adanya kedekatan antara lingkungan alam dengan tradisi kepercayaan. Dalam buku tulisan Pinandita I Ketut Pasek Swastika, “Caru” disebutkan pentingnya memberikan persembahan. Sarananya dapat berupa nasi, tumbuhan, binatang, dan unsur alam lainnya (2011: 12). Tujuannya untuk menjaga keharmonisan jagad raya atau alam semesta. Termasuk ritual terkait dengan pentingnya air dalam kehidupan. Pentingnya air dalam kehidupan masyarakat Bali termuat dalam Manawa Dharma Sastra III, yang isinya sebagai berikut:

marudbhya iti tu dvāri

ksipedap svadbya ityapi,

vanaspatibya ityebhya

muṣalo lūkhale haret.

Artinya: dengan mengatakan hormat kepada Dewa Angin, ia hendaknya mempersembahkan sedikit makan dekat pintu dan beberapa lagi di Air dengan mengatakan hormat kepada air, ia juga menyebarkan pada Lesung dan Alu dengan mengatakan hormat kepada kayu-kayuan (Swastika, 2011: 28).

Hal ini menjadi bukti bahwa dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali sangat menghormati air. Bahkan, di era Jawa dan Bali kuno telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Agama dan tradisi Hindu yang memuliakan air harus menjadi falsafah hidup. Kemudian menjadikannya pedoman dalam mengelola lingkungan alam.

Tantangan di masa depan terkait dengan adanya potensi krisis air dapat dihindari. Sejarah harus memberikan informasi yang mampu menginspirasi manusia untuk memperbaiki persoalan yang muncul di masa depan. Karena itu, tradisi konservasi mata air yang telah diajarkan oleh orang-orang terdahulu harus tetap dipertahankan. Termasuk di dalamnya penting menumbuhkan keterkaitan antara agama dan tradisi yang menumbuhkan semangat mencintai lingkungan alam. Masa depan bumi dan isinya ada di tangan generasi muda.