Kamis, 02 November 2023

RIWAYAT KOPI DI KAKI PEGUNUNGAN ANJASMORO

Petak Lahan Kopi di Pegunungan Anjasmoro Tahun 1890

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/790255)

Tanaman kopi di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Secara intensif diperkenalkan saat Pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan Cultuur Stelsel atau tanam paksa (1830-1870).

Bahkan, ketika kebijakan tanam paksa dihapus, hanya tanaman kopi yang masih diwajibkan untuk ditanam oleh penduduk. Khususnya di daerah Priangan. Hal ini, dikarenakan komoditas kopi sangat menguntungkan bagi pemerintah kolonial saat itu. Meskipun pada akhirnya dihapus dari tanam paksa, namun penduduk masih terus menanam kopi.

Salah satu daerah penghasil kopi di masa itu adalah Karesidenan Surabaya. Dalam Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie tahun 1901, Karesidenan Surabaya terdiri dari beberapa afdeeling, antara lain: Surabaya, Jombang, Sidoarjo, Mojokerto, Gresik, dan Lamongan. Daerah yang cocok untuk tanaman kopi berada di distrik Jabung, afdeeling Mojokerto. Yang secara kontur daerahnya termasuk wilayah pegunungan. Dikenal dengan nama Pegunungan Anjasmoro.

Dalam Staatsblad Van Nederlandsch-Indie tahun 1879 No. 188, pemerintah kolonial mulai melakukan penanaman kopi secara intensif di Karesidenan Surabaya. Bahkan, berdasarkan Staatsblad Van Nederlandsch-Indie tahun 1883 No. 263, area perkebunan kopi terus diperluas hingga distrik Jabung. Pada periode ini, sebagian besar wilayah distrik Jabung berada di daerah pegunungan. Bahkan, daerah Wonosalam saat itu termasuk ke dalam wilayah administrasi distrik Jabung.

Dari tahun 1870-an sampai 1890-an, ada beberapa onderdistrik yang intensif ditanami kopi yaitu: Jatirejo, Gondang, Mojogeneng, Trawas, Pacet, dan Celaket. Berdasarkan dokumen-dokumen kolonial, jenis kopi yang ditanam adalah kopi Liberika. Jenis kopi Liberika inilah yang di kemudian hari menurunkan jenis kopi Excelsa.

Tercatat pada Staatsblad Van Nederlandsch-Indie tahun 1890 No. 115, di distrik Jabung terdapat sekitar 26 perkebunan kopi. Beberapa yang terdaftar secara resmi yaitu perkebunan Jembul, Blentreng, Begagan, Gumeng, Dlundung, Kali Jarak, Dampak, Banyon, Jae, Segunung, Mendiro, Pengajaran, Sumber, dan lain-lain.

Perkebunan-perkebunan kopi tersebut berada di lereng Pegunungan Anjasmoro. Berada di tengah-tengah hutan belantara, dan berhawa sejuk. Pohon kopi berada di bawah tanaman hutan, seperti pohon pinus, jati, durian, nangka, dan lain-lain. Wonosalam saat itu masih menjadi bagian dari wilayah administratif distrik Jabung. Kemudian, pada tahun 1901 menjadi bagian distrik Bareng.

Pembukaan Lahan untuk Tanaman Kopi di Perkebunan Sumber tahun 1900-an

(Sumber: https://collectie.wereldculturen.nl/?query=search=*=TM-10012154)

Pada tahun 1913, tertulis pada Indisch Verslag 1931 Statistich Jaaroverzicht van Nederlandsch Indie Over het Jaar 1930, bahwa harga kopi di Surabaya per 100 kg sebesar f 61,68 gulden. Lebih mahal dibandingkan harga gula yang saat itu berkisar f 12,59 gulden per 100 kg. Berarti harga kopi saat itu per 1 kg sebesar f 1,62 gulden. Karenanya tanaman kopi tetap dipertahankan sebab menguntungkan secara ekonomi bagi pemerintah kolonial.

Bagi pemerintah kolonial tanaman kopi tentu sangat penting. Untuk itu, dibentuk petugas khusus yang menangani kopi yang disebut mantri koffie. Bertugas untuk menerima setoran kopi dari para petani dan sekaligus mengawasi proses penjualannya. Penduduk wajib menjual kopinya kepada pemerintah kolonial. Dalam koran Tjahaja Timoer (19 November 1917), pada saat menjalankan tugasnya di lapangan, mantri koffie mendapatkan uang jalan, sebesar f 15 sen dan upah sebesar f 60 sen. Jadi, total upahnya dalam satu bulan f 75 sen.

Pasca Indonesia merdeka, pada tahun 1958-an dilakukan nasionalisasi perkebunan milik Belanda. Secara otomatis bekas perkebunan milik Belanda menjadi milik pemerintah Indonesia. Termasuk bekas-bekas perkebunan yang juga dimiliki oleh swasta Belanda. Pada akhirnya dikuasai oleh penduduk setempat, yang sebagian masih meneruskan penanaman kopi hingga saat ini.

Jenis kopi Liberika yang pertama kali ditanam oleh pemerintah kolonial, mengalami penyesuaian dengan iklim dan tanah di Pegunungan Anjasmoro. Kini kopi itu dikenal dengan nama kopi Excelsa, turunan dari kopi Liberika, yang ditanam Belanda sekitar 140 tahun yang lalu.

Buah dan Tanaman Kopi Liberika di Dusun Blentreng Tahun 2022

(Sumber: dokumen penulis)