Sabtu, 31 Desember 2022

HIBURAN UNTUK RAKYAT

Relief Alat Musik Gamelan Gambang Pada Panil Candi Penataran Tahun 1297 Saka (1375 M)

(Sumber: I Nyoman Mariyana, 2019: 123)

Manusia memang tidak sempurna gaes. Siapa pun bisa keliru. Tak peduli seorang presiden pun. Ketika berpidato dengan teks naskah yang kurang tepat. Menyebut Bipang Ambawang. Kuliner khas Ambawang, Kalimantan Barat. Sebagai oleh-oleh pas Lebaran. Nah, itulah yang dialami Presiden Joko Widodo, atau Jokowi. Presiden Republik Indonesia ke tujuh.

Kekeliruan seorang presiden berpidato menjadi hiburan rakyat. Di kala merebaknya beragam hiburan. Televisi baik manual atau digital, yang menyajikan beragam seni. Rakyat jenuh dengan hiburan yang biasa. Makanya, pidato Presiden Jokowi menjadi hiburan rakyat. Di tengah suasana yang serba sulit. Himpitan ekonomi akibat pandemi.

Kisah tentang hiburan rakyat sudah ada sejak dulu. Zaman imperium kuno Majapahit. Raja Hayam Wuruk (1351-1389 M) peduli terhadap rakyatnya. Untuk dapat menikmati kesenian. Hal itu tertulis dalam Kitab Negarakretagama gubahan Mpu Prapanca (1365 M).

Dalam buku I Ketut Riana (2009), berjudul Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagarakrtagama Masa Keemasan Majapahit. Berupaya menerjemahkan karya Mpu Prapanca, Kitab Negarakretagama. Penjelasan tentang hiburan rakyat ada pada Wirama 66. Berikut kutipannya:

“Sāsing kāryya mawēha tuṣṭa rikanang parajana winangun narēṡwara huwus,…” artinya: segala kegiatan untuk menggembirakan rakyat telah diselenggarakan oleh Baginda Raja (hlm. 328).

Meskipun tidak ada pidato kenegaraan yang tercatat secara tekstual. Tetapi, raja menghibur rakyatnya dengan cara lain. Melalui festival kesenian di kerajaan. Raja Hayam Wuruk ingin rakyatnya gembira ria. Bersama raja berbagi ceria. Menikmati berbagai kesenian. Di Majapahit, perayaan kesenian dilaksanakan setiap tahun. Saat itu, para raja vassal (raja daerah) datang ke ibukota Majapahit.

Pementasan kesenian di masa Majapahit dilakukan juga saat perayaan panen dan peresmian bangunan suci. Menurut P. E. J. Ferdinandus (2003), dalam bukunya berjudul Alat Musik Jawa Kuno menyebutkan bahwa pementasan kesenian selalu diiringi alat musik (hlm. 388). Seni pertunjukan yang dipentaskan masa Majapahit ada bermacam-macam. Seperti; perang tanding, ḡita (menyanyi), manretta (menari), dan mabanyol (melawak).

Dapat dibedakan antara seni pertunjukan dan seni musik. Pementasan seni pertunjukan tentu diiringi dengan musik. Meskipun, alat musik tidak disebutkan dalam pertunjukan tersebut. Namun, alat musik merupakan komponen pementasan kesenian dalam upacara dan perayaan, tulis P. E. J. Ferdinandus (2003: 388).

Kesenian memang setua peradaban manusia. Awal mulanya cenderung bersifat sakral. Karena bertujuan untuk sarana spiritual. Sejalan dengan perkembangan peradaban, seni pun menjadi hiburan. Tidak hanya dinikmati kalangan bangsawan. Rakyat jelata pun turut menikmatinya.

Bagaimana gembira ria rakyat dilukiskan dalam Kitab Negarakretagama. Setelah menikmati pementasan seni. Mereka riang gembira melihat arak-arakan Raja Hayam Wuruk bersama keluarga dan pejabat istana. Berikut kutipannya dalam Wirama 84, yaitu:

“Budhhinya dharadharan kapwa suka bangun wāhu manonton…” artinya: semua hatinya bersuka ria seperti buat pertama menonton (2009: 406).

Kegembiraan rakyat bagi Raja Hayam Wuruk sangat penting. Karenanya memberikan hiburan kepada rakyat adalah tugas mulia. Kerajaan tanpa rakyat bukanlah apa-apa. Setiap tahun baginda raja selalu mementaskan pertunjukan. Untuk hiburan rakyat.

Kamis, 01 Desember 2022

WABAH TIKUS DAN GONJANG GANJING POLITIK

Ganas, memang sangat ganas wabah Covid 2019. Melumpuhkan negara sekalipun. Sepanjang bulan Januari sampai Mei tahun 2021, sudah membuat defisit APBN lebih dari 200 trilyun. Negara megap-megap, apalagi rakyat. Yang sebagian besar bukan penikmat langsung APBN.

Situasi tak menentu dan negara abstain. Aparat sebagai pejabat publik sibuk menyelamatkan diri. Hingga menyelamatkan karirnya tanpa malu. Koruptor berpesta pora. Sebab wabah menghambat penegakan hukum. KPK yang independen, menjadi tidak merdeka. Pegawainya telah menjadi ASN, yang pada prinsipnya harus hormat pada atasan. SIAP NDAN! Tak peduli atasannya salah sekalipun.

Tapi ini bukan soal Covid, atau bahkan KPK. Tapi soal pertanda. Tentang wabah tikus di pedesaan. Menyerang tanaman petani. Orang-orang Jawa dulu suka menghubung-hubungkan. Keadaan di sekitar mereka, dengan kondisi yang sedang dan akan dialami kerajaan. Wabah tikus adalah pertanda. Negara dalam keadaan bahaya.

Tikus Menyerang Tanaman Jagung

(Sumber: http://www.litbang.pertanian.go.id/info-teknologi/3299/)

Wabah Tikus dalam Tradisi Jawa

Beda masyarakat, beda kebiasaan. Bagi masyarakat Manado, tikus menjadi menu santapan. Di Pasar Tomohon, daging tikus dijual. Dijajakan di lapak-lapak pedagang. Mereka sudah terbiasa menyantapnya. Konon, hanya tikus hutan yang jadi hidangan.

Masyarakat Jawa dan sebagian lainnya, tidak terbiasa. Dalam tradisi Jawa, tikus adalah mahkluk yang kotor. Tidak layak di konsumsi. Pada tahun 1910-1916, di Malang pernah terjadi wabah pes. Penyakit yang dibawa oleh tikus. Saat ini pun tikus jadi musuh petani. Dalam semalam saja, gerombolan tikus mampu menghabiskan tanaman pak tani. Jadi, yang suka mencuri bukan lagi kancil, tapi tikus. Kancil sekarang hewan yang sulit ditemukan di Jawa.

Onghokham, pada bulan Desember 1965 berkunjung ke Jawa Timur. Sejarawan nyentrik spesialis Jawa ini, memang berasal dari Pasuruan. Meski Orang Tionghoa, ia sangat menyukai budaya Jawa.

Dikutip dari David Reeve (2018), pada epilog buku Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priyayi dan Petani di Karesidenan Madiun Abad XIX, Onghokham menyaksikan wabah tikus di pedesaan Jawa. Ia prihatin atas gejolak di pedesaan Jawa, dan keadaan ekonomi yang tak terkendali (hlm. 340).

Wabah tikus menyengsarakan petani. Membuatnya gagal panen. Kelangkaan bahan pangan merajalela. Kalaupun ada, kantong penduduk pedesaan tak cukup membelinya. Musim paceklik pun terjadi. Kalau paceklik tahun 1965-an, diikuti bencana pembunuhan massal. Paceklik tahun 2020-an, diselingi pagebluk Covid 2019.

Pagebluk dan wabah tikus menjadi pertanda. Sedang atau akan terjadi gonjang-ganjing politik. Negara salah urus, negara gagal, rakyat jadi tumbal. Semua itu diawali penderitaan rakyat kecil. Jadi korban salah urus negara. Akibat penguasa dan pembesar sibuk urus diri sendiri. Rakyat kecil harus menanggungnya.

Sejak dahulu kala, pertanda zaman dibaca pujangga. Dari Jayabaya hingga Ronggowarsito. Pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Ronggowarsito (1802-1873). Menulis kegelisahan itu dalam Serat Kalatidha (1860). Menggambarkan tanda datangnya zaman kekacauan atau zaman edan, tulis David Reeve (2018: 340).

Ronggowarsito melihat dengan kepala sendiri. Saat terjadi Perang Jawa (1825-1830). Juga mengalami langsung Cultuur Stelsel (1830-1870). Ia menyaksikan carut marut kehidupan masyarakat Jawa. Konflik antar pembesar, dan konflik antara Diponegoro dengan Belanda. Rakyat pedesaan menjadi korban perang. Lanjut korban kebijakan tanam paksa.

Meruwat Pagebluk dan Wabah Tikus

Tiap-tiap manusia sejatinya seorang negosiator. Bahkan dalam alam tak nyata sekalipun. Tradisi ruwatan juga selalu dikaitkan dengan alam tak nyata. Di luar nalar dan logika.

Ketika muncul kekacauan, akibat pagebluk dan wabah tikus, yang tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan sains. Akan mencari jalan supranatural. Orang Jawa biasanya melakukan ruwatan. Untuk mengembalikan keadaan sebelum kekacauan. Menyeimbangkan makrokosmos, dunia di luar diri manusia.

Dalam tradisi Bali, pernah memiliki kaitan erat dengan peradaban Jawa kuno. Mengenal Caru atau Mecaru. Menurut Pinandita I Ketut Pasek Swastika, Caru untuk menjaga keseimbangan jagat raya. Sebagai pembersih dan penyucian kembali dari pengaruh kotor. Sarananya memberikan beragam hidangan. Berupa nasi, tumbuhan, binatang, dan unsur-unsur alam lainnya (2011: 11-12).

Jagat raya yang tidak harmonis, bisa karena beragam hal. Manusia, hewan, tumbuhan, dan bencana alam. Wabah tikus pertanda jagat raya kurang harmonis. Hewan pengerat memakan tanaman petani. Rakus, dengan sangat rakus sekali.

Segala cara telah dilakukan petani. Memasang setrum (aliran listrik), jaring, hingga memberi racun. Tak jarang petani menggropyok tikus bersama-sama. Cara logis ini pun masih belum mampu menyelesaikan soal tikus.

Di tengah suasana frustasi, petani memakai cara klenik. Memberi sesajen. Menyiram dengan air yang diambil dari tujuh sumber mata air (sumur). Menurut Isharyanto, Juru Pelihara Candi atau Patirtaan Tikus di Trowulan, terkadang penduduk sekitar mengambil air. Digunakan untuk melindungi tanaman padi dari serangan tikus.

Saat ini, tikus mengancam eksistensi petani. Membuatnya gulung tikar. Persis koruptor yang menilap APBN. Dua-duanya menjadi mahkluk yang kotor. Tetapi, di zaman edan ini, keduanya menikmati. Tanpa ada malu. Seperti yang pernah dituliskan Ronggowarsito.

Sejarah sebenarnya telah mengingatkan. Saking seringnya, barangkali menjadi lupa. Atau mungkin saja abai (pura-pura lupa). Kehancuran kerajaan-kerajaan zaman Hindu-Budha, Islam, dan VOC akibat salah urus. Pengurus mengutamakan korupsi dan sewenang-wenang. Padahal, pengurus harus mengabdi pada rakyat. Mestinya, dalam birokrasi modern, pejabat dan aparat adalah pelayan publik.

Jumat, 18 November 2022

ASA TIMOR PORTUGIS PASCA REVOLUSI BUNGA

Generasi Y (lahir tahun 1980-1995), mengalami era peralihan politik akhir tahun 1990-an. Bahkan, generasi Z (lahir tahun 1996-2009) pun tidak merasakan situasi politik tahun 1998. Dalam pelajaran sejarah pun, yang diketahui tentang Timor tidak banyak. Hanya tahu bahwa Timor merupakan provinsi ke 27. Pasca dianeksasi Pemerintah Republik Indonesia tahun 1975. Dengan operasi militer bernama Operasi Seroja.

Provinsi ke 27 itu diberi nama Timor Timur. Kisah sejarah tentang Timor Timur cukup rumit. Ada beragam kepentingan politik. Baik lokal, nasional, maupun internasional.

Peta Timor Portugis Sejak Perang Dunia II

(Sumber: http://museum.wa.gov.au/debt-of-honour/indonesian-occupation-1975-1999)

Politik Lokal

Sebelum tahun 1975, daerah Timor merupakan jajahan Portugal. Berbagi kuasa atas Pulau Timor dengan Indonesia. Indonesia mewarisi sebagian wilayah itu dari Belanda.

Keadaan politik dalam negeri Portugal mengalami perubahan besar. Ketika terjadi Revolusi Bunga (Revoluҫão dos Cravos). Pada 25 April 1974. Kebijakan politik kolonial Portugal berubah cepat. Daerah-daerah koloninya, di belahan dunia turut merasakan. Tak terkecuali situasi di Timor.

Avelino M. Coelho (Shalar Kosi FF), salah satu saksi mata mengkisahkan dalam bukunya. Berjudul Dua Kali Merdeka Esei Sejarah Politik Timor Leste, dikatakan Pemerintah Revolusioner Espinola memberikan hak menentukan nasib sendiri. Proses dekolonisasi di bawah tanggung jawab Portugal. Berdasarkan mandat dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tanggal 13 Mei 1974, dibentuk komisi untuk penentuan nasib sendiri Timor Leste. Yang dibentuk oleh Gubernur Portugis untuk Timor Leste, Dr. Lemos Pires (2012: 2-4).

Rencana dekolonisasi Portugal disambut suka cita penduduk Timor. Mereka mulai membentuk organisasi dan partai politik. Untuk menyambut datangnya pemilihan politik. Sebagai upaya datangnya dekolonisasi. Dalam rangka menentukan nasib sendiri.

Ada partai União Democrática Timorense (UDT), Frente Revolucionária de Timor Leste Independente (Fretilin), Associaҫão Popular Democrática Timorenses (Apodeti), Klibur Oan Timor Asuwain (KOTA), dan Partai Buruh (Trabalhista). Partai-partai itu mempunyai orientasi dan tujuan yang berbeda. Polarisasi masyarakat Timor pun semakin tajam.

Geoffrey C. Gunn (2005), dalam bukunya 500 Tahun Timor Loro Sae, menyebutkan ada partai Associaҫão Democrática para Integraҫão Timor Leste na Australia (ADITLA). Partai ini memilih berintegrasi dengan Australia. Namun, langsung ditolak oleh Canberra (hlm. 412). UDT memilih berafiliasi dengan Portugal. Apodeti bergabung dengan Indonesia. Sedangkan, Fretilin memilih merdeka sepenuhnya.

Bulan Juni 1974, bagian dari kebijakan dekolonisasi Portugal, memberikan tiga pilihan. Pertama, melanjutkan hubungan dengan Portugal. Kedua, merdeka. Dan, ketiga bergabung dengan Indonesia. Untuk merealisasikannya, Pemerintah Portugal mengirim Movimento das Forҫas Armadas (MFA). Yang tiba di Timor pada 25 Juni 1974.

Pada awal tahun 1975, Fretilin mendapat dukungan besar dari tingkat desa. Saat pemilihan umum yang diselenggarakan oleh MFA, tulis Geoffrey C. Gunn (2005: 413).

Hasil pemilihan itu membuat polarisasi partai politik kian tajam. Meskipun, kontrol dan kekuasaan Fretilin cukup kuat. Avelino M. Coelho, menyebutkan pihak UDT, Apodeti, Trabalhista, dan KOTA akhirnya mengajukan permohonan integrasi dengan Indonesia (2012: 40).

Proklamasi Kemerdekaan oleh Fretilin

Situasi dan keadaan di Timor Portugis kian tak menentu. Teror, intimidasi dan kekerasan terus terjadi. Hasil pemilihan awal di tingkat desa, yang dimenangkan oleh Fretilin tidak diakui oleh partai-partai lain.

Pemerintah Portugal terkesan enggan menyelesaikan permasalahan. Justru malah meninggalkan Timor Portugis. Di saat situasi dan kondisi memanas. Akibatnya rencana dekolonisasi Portugal pun gagal. Pada 22 September 1975, misi yang dipimpin oleh Almeida Santos kembali ke Portugal. Ia hanya mengusulkan dilakukan negosiasi. Antara tiga kekuatan besar di Timor Portugis. Yakni, Fretilin, UDT, dan Apodeti.

Dalam situasi tak menentu, Fretilin pun memilih jalan. Memerdekakan diri pada hari Jum’at 28 November 1975. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan Pemerintah Portugal. Proklamasi kemerdekaan itu diakui oleh beberapa negara Afrika, China, Soviet, Vanuatu, dan Kuba. Meski demikian, Fretilin tetap mengakui Portugal sebagai administering power di Timor Portugis, tulis Avelino M. Coelho (2012: 35-37).

Pengakuan dari negara lain diperoleh, namun PBB dan Portugal tidak mengakuinya. Secara berkelanjutan, Fretilin terus mengontak Portugal. Agar kembali ke Timor Portugis. Untuk menjalankan misi dekolonisasinya.

Bekas Kapal Pendarat TNI AL di Pesisir Pantai Dili

(Sumber: Repro Geoffrey C. Gunn, 2005: 322)

Di sisi lain, Fretilin harus menghadapi penyusupan dan penyerbuan militer Indonesia. Penyusupan militer Indonesia ke Timor diakui oleh Benny Moerdani. Dalam buku biografinya, tulisan Julius Pour (1993) berjudul Benny Moerdani: Profile of a Soldier Statesman. Dikatakan adanya Operasi Komodo, yang kemudian berkembang menjadi Operasi Seroja (hlm. 328).

Sebelum invasi militer Indonesia, partai-partai oposisi dari Fretilin, seperti UDT, Apodeti, Trabalhista, dan KOTA membuat suatu kesepakatan. Pernyataan sikap untuk berintegrasi dengan Indonesia. Dikenal dengan nama Deklarasi Balibo, pada 30 November 1975. Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 7 Desember 1975, Pemerintah Indonesia mendaratkan pasukan militer. Masuk dan menguasai Kota Dili. Termasuk daerah-daerah di pesisir pantai Timor Portugis.

Invasi militer Indonesia menunda cita-cita dan perjuangan Fretilin. Yang mengharapkan Timor merdeka seratus persen. Deklarasi kemerdekaan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Fretilin, seperti apa yang dilakukan oleh Soekarno dan Hatta. Ketika memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Betapa keras usaha Fretilin mempertahankan kemerdekaan. Seperti usaha Soekarno dan Hatta mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tulis Max Lane dalam kata pengantarnya pada buku berjudul Dua Kali Merdeka Esei Sejarah Politik Timor Leste (2012: xi).

Tentara Fretilin Pada 9 Desember 1975 Bersiap Menghadapi Invasi Indonesia

(Sumber: https://www.smh.com.au/world/asia)

Rabu, 02 November 2022

WANGI AROMA CENDANA

Pohon Cendana di Pulau Sumba

(Sumber: http://travelinkmagz.com/2019/03/cendana/)

Bau harum hio (dupa) menelusuk hidung di istana kaisar Cina. Wewangian itu dibuat dari kayu cendana. Berasal dari Nan-hai atau negeri di kepulauan lautan selatan. Melalui perjalanan panjang sampai di ruangan kaisar.

Cendana merupakan komoditas utama dalam perniagaan. Sejak zaman imperium kuno sampai masa kolonial Belanda. Kayu cendana memiliki nama latin Santalum album L. Kayu tersebut mempunyai aroma harum atau wangi. Aromanya dapat bertahan selama berabad-abad. Tidak heran banyak orang yang mencarinya sebagai komoditas perdagangan.

Sejak ribuan tahun lalu, wilayah nusantara turut memainkan peran dalam jaringan perniagaan global. Para saudagar telah hilir mudik ke berbagai tempat di nusantara. Ada beragam komoditas yang dihasilkan dari berbagai tempat. Seperti: beras, cengkih, pala, lada, pinang, kayu cendana, gaharu, dan lain-lain.

Kayu cendana merupakan salah satu komoditas utama dalam perdagangan. Digunakan untuk sarana spiritual, kesehatan, dan kerajinan. Informasi komoditas perdagangan pada prasasti-prasasti di Jawa tidak memuat tentang kayu cendana. Justru informasi tentang kayu cendana diperoleh dari sumber-sumber Cina.

Disebutkan dalam buku karangan W. P. Groeneveldt (2009), berjudul Nusantara dalam Catatan Tionghoa yang menyebutkan kayu cendana sebagai komoditas perdagangan masa Dinasti Song (960-1279). Dikatakan kayu cendana berasal dari Pulau Jawa (hlm. 23). Informasi tentang kayu cendana berasal dari Jawa tentu tidak benar. Kayu ini berasal dari Pulau Timor dan sekitarnya. Yang dikirim melalui pelabuhan-pelabuhan utama di Pulau Jawa menuju Cina.

Sebagai komoditas utama perdagangan tentu banyak dicari para saudagar. Tidak hanya penduduk lokal, justru bangsa asing yang banyak melakukan perburuan terhadap kayu cendana. Mereka mencari di mana letak daerah penghasil kayu cendana yang berkualitas terbaik.

Perdagangan Kayu Cendana

Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, orang-orang Cina telah menemukan asal kayu cendana. Dalam buku tulisan Th. Rahm (1925), berjudul Departement V. Landbouw, Nijverheid en Handel in Nederlandsch-Indie, Korte Mededeelingen van Het Proefstation voor Het Boschwezen No. 11 Sandelhout op Timor, disebutkan bahwa pada abad ke-17 dan ke-18 para pedagang dari Cina sudah berada di Pulau Timor. Mereka menetap di Pulau Timor dan berbaur dengan penduduk setempat. Mereka mengeksploitasi dan memperdagangkan kayu cendana. Untuk diekspor ke Hongkong dan didistribusikan ke seluruh daratan Cina. Agar perdagangan kayu berjalan lancar, orang-orang Cina saat itu bekerjasama dengan para kepala suku. Penduduk setempat diperintah untuk menebang kayu cendana di hutan dan pegunungan. Kemudian di bawa ke pesisir pantai dan pelabuhan (hlm. 17-18).

Keuntungan perdagangan kayu cendana mengundang kehadiran bangsa Belanda. Sengketa Pulau Timor antara Belanda dengan Portugis pun tidak terhindarkan. Tercatat pada Staatblad van Nederlandsch-Indie No. 33 Tahun 1870, pemerintah kolonial menetapkan daerah Kupang sebagai basis militer. Di sisi lain, penduduk setempat lebih tertarik berdagang kayu cendana dengan bangsa Portugis. Seperti yang dicatat pada laporan perjalanan ALB. C. Kruyt berjudul “Verslag van een Reis door Timor”, dalam Tijdschr. van het Kon. Ned. Aardrijksk. Genootschap 1921.

Pemilahan Kayu Cendana di Kupang Pulau Timor Tahun 1920-an

(Sumber: P. A. Rowaan. De Aetherische Olien Van Nederlandsch-Indie, 1938: 55)

Harga kayu cendana pada tahun 1785 di Pulau Timor sebesar f 35 gulden dengan mendapatkan 300 pikul. Di Batavia untuk 100 pikul dihargai sebesar f 30 gulden. Tahun 1790 harganya menjadi f 50 gulden per pikul. Pada awal abad ke-20, kontrak perdagangan kayu cendana di Pulau Timor dipegang oleh orang-orang Cina. Di Kupang, diberikan kepada; A. Selam, Ch. Pil Liet, Than Tae, dan Lie Soen Jan. Sedangkan, di Atapupu diberikan kepada; Laij Djin Po, Laij Sen Hie, Moe A Kiong, dan Liem Hin Njie. Tahun 1912, harga kayu cendana sebesar f 55 gulden per pikul (Th. Rahm, 1925: 18-20). Untuk memenuhi permintaan ekspor, kayu cendana dipilah sesuai kriterianya. Terdiri dari empat kelas sesuai kualitasnya. Kelas I, Kelas II, Kelas III, dan Kelas IV. Kualitas terbaik ada di Kelas I, terdiri dari batang atau ranting yang lurus dan utuh.

Pengiriman kayu cendana ke pasaran Asia Timur melalui pelabuhan Makassar. Antara tahun 1919-1922, eksportir kayu cendana di Makassar dilakukan oleh 5 firma. Yakni, Firma Moreaux & Co, Firma Manders Seemann, Firma Reiss & Co, Firma Yat Hong, dan Firma Heng Hong. Harga kayu cendana di Makassar berkisar f 70 gulden per pikul (Th. Rahm, 1925: 20-24). Kayu cendana yang akan dikirim ke Hongkong dan daratan Cina, dikumpulkan di pelabuhan Makassar. Setiap tahunnya pasaran ekspor kayu cendana berkisar 6.000 ton.

Wangi aroma kayu cendana menjadi faktor penarik kedatangan orang asing di Pulau Timor. Sejak ribuan tahun yang lalu, para saudagar mengarungi laut untuk mendapatkan kayu cendana.

Minggu, 16 Oktober 2022

TREM MOJOKERTO-MOJOAGUNG-NGORO

Trem yang Digunakan oleh Oost-Java Stoomtram Maatschappij (OJS)

(Sumber: G. H. Von Faber, Oud Soerabaia (1931: 204)

Pemerintahan Presiden Jokowi punya proyek kereta cepat guys. Jakarta-Bandung dibangun rel sepanjang 142,3 km. Nantinya dapat ditempuh hanya sekitar 36-45 menit. Eits, sekitar seratus tahun yang lalu kuda besi sudah melingkar di tanah Jawa. Pemerintah kolonial banyak membangun jaringan transportasi darat. Di Pulau Jawa, antar daerah terhubung jalur kereta api dan trem lho. Termasuk trem jalur Mojokerto-Ngoro.

Banyak dari jalur trem yang kini tidak lagi dapat disaksikan. Jalur trem Mojokerto-Ngoro sudah tidak tampak. Tertutup oleh aspal jalan raya. Bangunan-bangunan bekas stasiun dan gudang pun telah beralih fungsi. Di antaranya bahkan sudah hilang ditelan zaman.

Saat itu, pihak swasta banyak yang mengajukan konsesi pembangunan jalur kereta api dan trem. G. H. Von Faber (1931), dalam bukunya berjudul Oud Soerabaia: De Geschiedenis Van Indies Eerste Koopstad Van De Oudste Tijden Tot De Instelling Van Den Gemesnteraad (1906) menyebutkan bulan Maret 1882, A. C. Benninck Janssonius dan G. A. Oliver mengajukan lisensi pembangunan jalur trem Mojokerto-Ngoro (hlm. 203-204). Beberapa tahun kemudian pemerintah kolonial baru memberikan izin.

Jalur Mojokerto-Ngoro dikelola oleh Oost-Java Stoomtram Maatschappij (OJS), yang dibentuk pada 7 Juni 1888. Namun, perusahaan tersebut baru mendapatkan persetujuan oleh pemerintah kolonial pada 27 Juni 1888 (G. H. Von Faber, 1931: 204). OJS mengelola 2 jalur trem, pertama jalur Surabaya-Krian, dan kedua jalur Mojokerto-Ngoro-Dinoyo.

Pembangunan jalur Mojokerto-Ngoro dimulai pada awal tahun 1889. Jalur ini memiliki panjang 33,6 km. Pembangunan jalur tersebut dibagi menjadi dua seksi. Pertama, jalur Mojokerto-Mojoagung sepanjang 16,7 km. Kedua, jalur Mojoagung-Ngoro sepanjang 16,9 km. Berikutnya, pada tahun 1891 dibangun jalur Gemekan-Dinoyo sepanjang 7,8 km.

Proses pembangunan jalur trem Mojokerto-Ngoro dimuat dalam media massa saat itu. Yakni, majalah De Locomotief terbitan tanggal 21 Agustus 1889 (hlm. 353) dan 11 Februari 1891 (hlm. 156). Disebutkan bulan Juni 1889 pembangunan jalur atau rel trem sudah mencapai 22 km. Termasuk pembangunan jembatan sungai yang dilalui jalur trem ada yang panjangnya 40 meter. Pada 1 Oktober 1899, jalur Mojokerto-Mojoagung sudah dapat digunakan. Sedangkan, jalur Mojoagung-Ngoro mulai digunakan pada 1 Januari 1890. Setahun berikutnya proses pembangunan jalur trem Gemekan-Dinoyo dilaksanakan. Jalur tersebut mulai digunakan pada 5 Maret 1892.

Jalur Trem Mojokerto-Ngoro Tahun 1902

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/814245)

Trayek dan Tiket Trem

Trayek trem yang dikelola oleh OJS untuk jalur Mojokerto-Ngoro melalui beberapa halte dan pemberhentian (stasiun). Dalam buku panduan perjalanan tahun 1926, berjudul Officieele Reisgids der Spoor en Tramwegen en Aansluitende Automobieldiensten op Java en Madoera, Uitgave van 1 Mei 1926, berikut ini halte atau stasiun trem yang dimulai dari; Mojokerto Kali, Mojokerto Stasiun, Penarip, Kepindon, Kedungpring, Brangkal, Gemekan, Jati Pasar, Trowulan, Tanggalrejo, Mojoagung, Rosobo, Dukusari, Pasar Gayam, Selorejo (Pabrik), Mojojejer, Mojowangi, Pasar Mojowarno, Kayen, Guwo, Kertorejo, dan Ngoro. Dalam sehari, trem Mojokerto-Ngoro melayani 5 kali keberangkatan. Sebaliknya, Ngoro-Mojokerto juga 5 kali keberangkatan (1926: 192-193).

Dalam buku De Tramwegen Op Java, Gedenkboek Samengesteld Ter Gelegenheid Van Het Vijf en twintig-jarig Bestaan der Semarang-Joana Stoomtram-Maatschappij (1907), jalur Mojokerto-Ngoro untuk melayani penumpang dan barang. Sedangkan, jalur Gemekan-Dinoyo hanya untuk barang saja (hlm. 21). Untuk jalur Mojokerto-Ngoro, rata-rata pendapatan kotor harian per kilometer pada tahun 1890 sebesar f 1,59 gulden, tahun 1893 sebesar f 1,91 gulden, tahun 1896 sebesar f 3,13 gulden, tahun 1899 sebesar f 4,40 gulden, tahun 1902 sebesar f 3,45 gulden, dan tahun 1905 sebesar f 3,31 gulden (hlm. 92).

Tiket penumpang Mojokerto-Ngoro dibagi menjadi tiga kelas. Kelas 1, Kelas 2, dan Kelas 3 untuk penduduk pribumi. Pada tahun 1905, tiket Kelas 1 terjual 3.374, Kelas 2 terjual 30.159, dan Kelas 3 terjual 306.251 (1907: IV). Pengangkutan barang jalur Mojokerto-Ngoro-Dinoyo, seperti produk gula, kopi, tembakau, kayu, minyak, beras, dan lain-lain (1907: V). Keuntungan bersih per kilometer yang diperoleh OJS pada tahun 1905 adalah f 2,43 gulden (1907: VI). Berarti jika panjang jalur Mojokerto-Ngoro 34 km, maka keuntungan bersih yang didapat adalah f 81,64 gulden.

Bisnis transportasi darat terlihat cukup menjanjikan. Ini yang membuat banyak pihak swasta berusaha mendapatkan konsesi jalur trem. Tak terkecuali jalur Mojokerto-Ngoro yang dikelola pihak swasta (OJS).

Sayangnya jalur trem tersebut tidak mampu bertahan. Pasca kemerdekaan sudah tidak digunakan lagi. Membayangkan kalau trem itu masih ada hingga kini. Para pekerja dan anak sekolah berangkat dan pulang naik trem. Tentu, tidak akan terjadi kemacetan di jalan raya. Polusi udara pun dapat berkurang. Memang, perubahan sosial terkadang harus mengorbankan tatanan sosial yang telah mapan.

Kamis, 13 Oktober 2022

KONSERVASI MATA AIR DALAM TRADISI MASYARAKAT HINDU

Tirta Empul di Gianyar Bali sekitar tahun 1925

(sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/705731)

Kerusakan ekosistem lingkungan alam tentu berdampak terhadap kehidupan manusia. Salah satunya mengakibatkan krisis air di berbagai tempat, bahkan menjadi masalah bersama yang dihadapi oleh manusia. Meskipun, Indonesia menjadi penyumbang 6 % air di dunia, namun diprediksi akan mengalami krisis air pada masa mendatang. Potensi terjadinya krisis air dipercepat adanya kerusakan lingkungan alam.

Pengabaian terhadap keseimbangan alam menjadi sebab utama rusaknya lingkungan. Padahal, setiap agama di dunia mengajarkan pentingnya menjaga dan merawat alam. Termasuk dalam tradisi kepercayaan masyarakat Hindu. Sebelum penganut Hindu berkembang di Bali, Pulau Jawa telah mendapat pengaruh Hindu. Masyarakat Jawa telah mengenal Hindu sejak seribu lima ratus tahun lalu. Dengan munculnya Kerajaan Tarumanegara sekitar abad ke-4 di daerah Jawa Barat. Di Jawa Timur, pengaruh Hindu muncul dengan ditemukannya Prasasti Dinoyo yang bertarikh 682 Saka (760 M). Ratusan tahun lamanya, tradisi Hindu bertahan di masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa.

Di Pulau Bali, pengaruh Hindu mulai terlihat pada sekitar abad ke-9. Dengan ditemukannya prasasti di Pura Desa Sukawana yang bertarikh 804 Saka (882 M). Pengaruh Hindu di Pulau Bali bertahan hingga saat ini. Masyarakat Hindu di Bali, merupakan bukti nyata terjadinya penyebaran kebudayaan India di Indonesia. Meskipun, tidak semua tradisi Hindu dari India yang diadopsi oleh masyarakat saat itu. Masyarakat Hindu saat itu, baik di Jawa dan Bali memiliki cara sendiri dalam beradaptasi dengan tradisi Hindu. Mereka mengembangkan tradisi sebelumnya (tradisi lokal) dengan agama Hindu.

Salah satu ajaran yang beradaptasi dengan tradisi lokal adalah kebiasaan menjaga keseimbangan alam. Konsep ini dikenal dengan nama “Tri Hita Karana”, yang berarti tiga penyebab terciptanya kebahagian. Di mana, ajaran ini mengutamakan hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan menjaga lingkungan alam. Dalam hal pentingnya menjaga hubungan dengan lingkungan alam, terlihat dari upaya manusia untuk merawat alam. Salah satunya dengan melindungi sumber mata air.

Petirtaan Masa Jawa dan Bali Kuno

Agama dan tradisi Hindu memang telah mengajarkan pentingnya menjaga lingkungan alam. Hal ini dapat ditelusuri dari informasi sejarah dan peninggalan sejarah. Pentingnya air merupakan salah satu unsur dalam aktivitas ritual kepercayaan masyarakat Jawa dan Bali kuno. Karena itu, air berperan penting sebagai sarana spiritual.

Sebagai sarana spiritual, sejak masa kerajaan bercorak Hindu di Jawa dan Bali terdapat petirtaan. Karenanya, petirtaan mempunyai fungsi penting dalam masyarakat. Supratikno Rahardjo, dalam bukunya berjudul “Peradaban Jawa Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir”, menyatakan bahwa patirtaan merupakan bagian dari prasarana umum. Secara garis besar ada tiga jenis prasarana umum, yaitu sarana peribadatan dalam bentuk bangunan candi, petirtaan, dan gua-gua pertapaan (2011: 394).

Beberapa bangunan petirtaan yang cukup popular di Pulau Bali antara lain; Tirta Empul, petirtaan Gua Gajah, petirtaan Sudamala, dan lain-lain. Di samping itu, dari penelitian Ni Ketut Puji Astiti Laksmi berjudul “Identifikasi Tempat Suci Pada Masa Bali Kuno”, menyebutkan adanya 460 mata air yang lokasinya menyebar di daerah Bali. Mata air tersebut menjadi sumber air yang mengalir ke sungai, irigasi persawahan, dan sebagian dimanfaatkan untuk air bersih masyarakat (2017: 215). Fungsi yang lain dari adanya patirtaan adalah sebagai sumber mata air.

Petirtaan kuno yang ada di Jawa Timur terletak di lereng Gunung Penanggungan, yakni Petirtaan Jalatundo dan Belahan. Berdasarkan penelitian Agus Aris Munandar, bahwa di lereng-lerang Gunung Penanggungan merupakan tempat pertapaan. Terdapat gua-gua sebagai tempat bertapa para Rsi. Pendapat tersebut ada dalam laporan penelitian berjudul “Gunung Penanggungan Sebagai Tempat Kegiatan Kaum Rsi” (1993: 16). Mata air petirtaan yang terletak di bawahnya merupakan sumber air yang membantu aktivitas kaum pertapa. Juga sebagai sumber mata air untuk irigasi masyarakat saat itu.

Sebagai sumber mata air yang dapat mengairi saluran irigasi pertanian penduduk, tentu petirtaan berfungsi juga untuk aktivitas yang mendukung perekonomian masyarakat pedesaan. Perlu diketahui, dalam buku tulisan AAGN Ari Dwipayana, “Kelas dan Kasta Pergulatan Kelas Menengah Bali”, menyebutkan struktur ekonomi masyarakat Bali zaman kerajaan merupakan struktur ekonomi yang bersifat agraris. Hidup dari bertani, baik sebagai petani pemilik tanah atau penyewa tanah. Pada era hegemoni Majapahit di Bali, dikenal istilah “sawah druwe puri” dan “sawah druwe negara” (2001: 89-91). Pertanian sawah tentu sangat membutuhkan air. Karenanya sumber mata air pada masyarakat saat itu sangat penting. Masyarakat Bali kuno pun telah mengenal pengelolaan air untuk pertanian yang dikenal dengan nama “subak”.

Dalam buku “Sejarah Daerah Bali”, sistem “subak” adalah suatu sistem irigasi pada komunitas masyarakat pedesaan. Organisasi ini mengatur perairan sawah dan telah memiliki peraturan-peraturan baik tertulis maupun yang tidak tertulis yang disebut “awig-awig subak” atau “sima”. Terdapat kepengurusan yang disebut “klian subak” atau “pekaseh”. Dibantu oleh “penyarikan” (sekretaris), “sedahan tembuku” (bendahara), “juru arah” yang bertugas memanggil “krama” (anggota). Anggota subak yang disebut “krama” bertugas membuat bendungan, membagi air, dan menjaga air (1978: 14). Masyarakat agraris dekat dengan tradisi keagamaan. Seperti halnya dalam mengelola pertanian, termasuk air, yang selalu dihubungkan dengan ritual dalam tradisi kepercayaan mereka. Dengan memberikan sesajian kepada para dewa.

Tradisi Konservasi Air

Jauh sebelum era modern seperti saat ini, masyarakat Bali kuno telah mengenal tata cara melindungi dan merawat sumber air. Hal ini karena adanya kedekatan antara lingkungan alam dengan tradisi kepercayaan. Dalam buku tulisan Pinandita I Ketut Pasek Swastika, “Caru” disebutkan pentingnya memberikan persembahan. Sarananya dapat berupa nasi, tumbuhan, binatang, dan unsur alam lainnya (2011: 12). Tujuannya untuk menjaga keharmonisan jagad raya atau alam semesta. Termasuk ritual terkait dengan pentingnya air dalam kehidupan. Pentingnya air dalam kehidupan masyarakat Bali termuat dalam Manawa Dharma Sastra III, yang isinya sebagai berikut:

marudbhya iti tu dvāri

ksipedap svadbya ityapi,

vanaspatibya ityebhya

muṣalo lūkhale haret.

Artinya: dengan mengatakan hormat kepada Dewa Angin, ia hendaknya mempersembahkan sedikit makan dekat pintu dan beberapa lagi di Air dengan mengatakan hormat kepada air, ia juga menyebarkan pada Lesung dan Alu dengan mengatakan hormat kepada kayu-kayuan (Swastika, 2011: 28).

Hal ini menjadi bukti bahwa dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali sangat menghormati air. Bahkan, di era Jawa dan Bali kuno telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Agama dan tradisi Hindu yang memuliakan air harus menjadi falsafah hidup. Kemudian menjadikannya pedoman dalam mengelola lingkungan alam.

Tantangan di masa depan terkait dengan adanya potensi krisis air dapat dihindari. Sejarah harus memberikan informasi yang mampu menginspirasi manusia untuk memperbaiki persoalan yang muncul di masa depan. Karena itu, tradisi konservasi mata air yang telah diajarkan oleh orang-orang terdahulu harus tetap dipertahankan. Termasuk di dalamnya penting menumbuhkan keterkaitan antara agama dan tradisi yang menumbuhkan semangat mencintai lingkungan alam. Masa depan bumi dan isinya ada di tangan generasi muda.