Minggu, 10 Maret 2024

AIR DALAM TRADISI JAWA KUNO DI MAJAPAHIT

Patirtaan atau Candi Tikus tahun 1933

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Dalam bahasa Jawa Kuno terdapat kata “er”, “air”, atau “her”, yang berarti air. Pada kitab Nagarakretagama, terdapat istilah “mantri air haji” yaitu pejabat yang bertugas mengawasi sejumlah krsyan yang terdiri atas Sampud, Rupit, Pilan, Pucangan, Pawitra, Jagaddita, Butun, arca-arca lingga, saluran-saluran air (pranala) dan pancuran (jaladwara) yang dikeramatkan. Sedangkan, istilah “air haji” merupakan pejabat yang mengurusi air suci milik raja. Tempat sumber air suci disebut patirtaan (patirthan). Air ini dipercaya dapat menghilangkan bermacam klesa (rintangan) dan kotoran, tulis Agus Aris Munandar, dalam bukunya berjudul Ibukota Majapahit: Masa Kejayaan dan Pencapaian (2008: 15). Barangkali, jika dilihat dari aspek spiritual yang dimaksud kotoran adalah dosa.

Unsur air memang tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan masyarakat saat itu. Agus Aris Munandar juga menekankan, berdasarkan analisa cerita pada relief candi di Jawa, digambarkan gentong batu berisi air di bawah pohon kalpawreksa. Dimaksudkan agar para dewa yang turun dapat menetap dalam air di gentong batu. Air tersebut menjelma menjadi air amerta yang disemayami para dewa (2008: 64). Bisa dikatakan jika air amerta merupakan air suci. Biasanya digunakan untuk ritual keagamaan.

Selain untuk ritual kepercayaan, air juga berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan duniawi. Seperti; konsumsi, irigasi pertanian dan perkebunan, sarana transportasi air, dan lain-lain. Air untuk konsumsi penduduk di ibukota kerajaan sudah higienis. Terbukti dari temuan beberapa sumur kuno di daerah Trowulan.

Iklan Wisata Jolotundo di Pesanggrahan Trawas tahun 1929

(Sumber: De Indische Courant, 3 Desember 1929)

Dalam penelitian Wanny Rahardjo Wahyudi berjudul Pengendalian Air di Kota Majapahit, terkait dengan irigasi persawahan tercatat pada beberapa prasasti. Antara lain; prasasti Jiyu I (1486 M) berisi tentang perluasan batas tanah untuk sawah, prasasti Jiyu IV (1486 M) tentang biaya mengairi sawah, prasasti Jayasong Jayapatra (1350 M) tentang perebutan sawah, prasasti Karang Bogem (1387 M) tentang pejabat-pejabat pengelola air atau irigasi (2003: 24-25).

Masyarakat masa Majapahit juga berupaya untuk beradaptasi dengan lingkungan alam. Khususnya terkait dengan air. Apalagi, daerah Trowulan yang diyakini sebagai ibukota Majapahit saat itu berada di daerah rawan bencana. Berdasarkan letaknya, dahulu sering dilanda banjir akibat dari luapan air dan lahar, tulis A. S. Wibowo dalam Majalah Arkeologi berjudul Fungsi Kolam Buatan di Ibukota Majapahit (1977: 44).

Untuk mengurangi dampak banjir dan bahkan mengalihkannya, maka dibuatlah beberapa bangunan dan saluran air. Sehingga, dampak destruktif dari bencana alam dapat dihindari. Di satu sisi, air merupakan sumber kehidupan bagi semua mahkluk hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar