Kamis, 01 Mei 2025

Surya Kanta: Media Perlawanan Kaum Sudra di Singaraja Bali

Pakaian Bangsawan Sebelumnya Dilarang Untuk Kaum Sudra

(Sumber: Soerabaijash Handelsblad, 12 Mei 1938)

Dikisahkan gaes, di India pun terjadi perlawanan terhadap tradisi feodal. Dewasa ini, film-film India turut melawan tradisi feodal masyarakatnya. Film menjadi senjata ampuh melawan beragam praktik feodal. Praktik yang menghambat kemajuan peradaban. Tengok film India berjudul “OMG Oh My God” (2012), “PK” (2014), “Toilet” (2017), “Padman” (2018), “12th Fail” (2023), hingga “Dragon” (2025).

Sudah sejak lama muncul perlawanan terhadap kelas dan kasta di India. Dhurorudin Mashad (1999) dalam bukunya berjudul Agama dalam Kemelut Politik: Dilema Sekulerisme di India, menyebutkan permasalahan sosial ekonomi adalah isu yang muncul dalam perlawanan. Dipelopori tokoh-tokoh seperti Ram Mohan Roy, Swami Vivekananda, Swami Dayananda Saraswati, Mohadev Govenda Ranade, Rabindra Nath Tagore, dan Mahatma Gandhi. Dayananda Saraswati meluncurkan Gerakan Arya Samaj. Sedangkan, Gandhi menyuarakan istilah Harijan (anak Tuhan) untuk memperjuangkan nasib kaum Untouchable Caste (hlm. 89-90).

Tak terkecuali di Pulau Bali. Dijuluki sebagai Pulau Dewata. Tempat komunitas Hindu terbesar di Indonesia. Yang mewarisi kebudayaan India. Di era kolonial pada awal abad ke-20, Pemerintah Hindia Belanda membagi Pulau Bali menjadi tiga wilayah dengan status yang berbeda. 1) direct gouvernementsgebled atau wilayah pemerintahan langsung (Buleleng dan Jembrana), 2) gouvernements landschappen atau daerah swapraja di bawah Gouvernement yang diperintah orang pribumi (Karangasem dan Gianyar), dan 3) landschappen met zelfbestuur atau wilayah yang mempunyai hak pemerintahan sendiri (Tabanan, Badung, Klungkung, dan Bangli), tulis surat kabar De Telegraaf, 14 September 1906.

Pembagian Wilayah Pulau Bali tahun 1906

(Sumber: De Telegraaf, 14 September 1906)

Kemiripan dengan budaya India salah satunya terlihat dari sistem kasta. Perlawanan terhadap dominasi kelas dan kasta juga terjadi di Bali. Terhadap dominasi Tri Wangsa (Brahmana, Ksatria, dan Waisya). Di Bali, Tri Wangsa muncul setelah mendapat pengaruh dari Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1924-1930, kelompok Tri Wangsa mengeluarkan media Bali Adnjana. Surat kabar De Indische Courant, 2 April 1927 memberitakan untuk melawan dominasi Tri Wangsa, kaum Sudra menginisiasi munculnya media Surya Kanta (1925-1927).

Dalam diskusi di Bentara Budaya Bali (BBB) tahun 2019 silam, menghadirkan pembicara pakar antropologi dari Perancis, Michel Picard. Peneliti dan pendiri Pusat Studi Asia di Paris, Perancis. Menyatakan, tujuan Surya Kanta adalah memberi posisi kaum jaba yang ingin mengakhiri dominasi gaya barat. Mereka merasa hambatan itu karena keistimewaan yang didapat oleh kaum Tri Wangsa.

Secara kultural, dominasi kaum Tri Wangsa sudah mengakar kuat. Sejak ratusan tahun lalu. Ketika hegemoni Majapahit muncul di Bali. Pembagian kelas sosial tidak lagi berdasarkan karma (pekerjaan). Tetapi, menjadi berdasarkan keturunan. Pada akhirnya, penyimpangan muncul dalam berbagai bidang kehidupan (De Indische Courant, 2 April 1927).

Pada awal abad ke-20, tradisi literasi semakin kuat. Dunia pergerakan nasional sedang tumbuh. Beragam media massa muncul dari berbagai organisasi pergerakan. Surya Kanta muncul sebagai media perlawanan di Singaraja, Bali. Nama lainnya adalah “Perkoempoelan Surya Kanta”. Dalam Bahasa Belanda disebut Vereeniging Surya Kanta.

Dalam buku hasil penelitian AAGN Ari Dwipayana (2001), berjudul Kelas dan Kasta: Pergulatan Kelas Menengah Bali, menyebutkan perkumpulan Surya Kanta dipelopori oleh Ketut Nasa, Ketut Sandi, Nengah Merta, Ketut Kaler, Wayan Ruma, dan lain-lain. Ketut Nasa adalah seorang guru. Mereka berjuang untuk mendapatkan harga diri dalam masyarakat Bali. Dengan jelas tercantum dalam tujuan perkumpulan. Yaitu, mengadakan pembaharuan dalam masyarakat sesuai dengan kemajuan zaman (hlm. 228-229).

Majalah Surya Kanta Juli 1927

(Sumber: I Nyoman Darma Putra, Eksistensi Puisi Indonesia di Bali Pada Era Kolonial, 2017: 176)

Surya Kanta mendapatkan tanggapan baik di masyarakat. Simpati masyarakat Bali terlihat dari berkembangnya perkumpulan. Tumbuh dan berkembang di beberapa daerah. Seperti, di Banjera, Tabanan, Denpasar, Bangli, Gianyar, Jembrana, Karangasem, hingga ke Pulau Lombok.

Pentingnya pendidikan menjadi sasaran kritik pada kaum Tri Wangsa. Salah satu kritik terhadap pendidikan termuat dalam Surya Kanta Nomor 3 Tahun I (1926). Berikut kutipannya:

“Kalaoe ada seorang Triwangsa bermaksoed hendak memperbaiki tingkah lakoe seorang Djaba agar berkelakoean jang baik (sopan) terhadap dirinja (Triwangsa), djanganlah Triwangsa itoe laloe teroes sadja menghinakan kepada si Djaba, karena hal itoe terbilang keliroe, melainkan berilah si Djaba itoe petoeah dan tjontoh soepaja mengerti, bagaimana haroesnja dilakoekan oleh si Djaba menoeroet keadaan jaman terhadap Triwangsa, agar kedoea belah pihak menjadi senang.”

Dari tulisan di atas, menunjukkan pentingnya pendidikan. Penolakan terhadap ketidakadilan sistem wangsa semakin kuat. Pembenaran sepihak tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Ide untuk memperjuangkan kesejajaran terasa lebih berani, tulis AAGN Ari Dwipayana (2001: 235).

Pulau Bali tahun 1938

(Sumber: Keesings Historisch Archief No. 369, 6 Juli 1938)