Lukisan Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen
(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Hasrat seksual bagi manusia menjadi kebutuhan pokok. Jika tidak disalurkan bisa berbahaya. Tak terkecuali para pendatang bangsa Eropa. Yang mulai masif berdatangan sejak awal abad ke-16. Awalnya bangsa Eropa yang datang hanya laki-laki saja. Tinggal dan menetap dalam waktu yang lama. Karenanya mereka butuh pasangan hidup.
Banyaknya kaum laki-laki Eropa yang datang, tidak sebanding dengan jumlah wanitanya. Karena itu dibutuhkan pasangan dari wanita setempat. Untuk menyalurkan birahi seksual mereka. Wanita-wanita itu populer disebut nyai. Jumlahnya pun bisa lebih dari satu. Biasa disebut dengan istilah pergundikan. Mereka hidup bersama layaknya suami-istri, namun tanpa ikatan perkawinan yang sah di mata hukum.
Kebiasaan menyimpan wanita sebagai gundik, sebenarnya bukan hal baru. Pada zaman imperium Hindu-Budha dan Islam sudah ada. Para raja dan sultan biasa memiliki banyak wanita. Di belakang sang permaisuri, ada banyak selir. Akibatnya mempunyai banyak anak. Tak jarang suksesi kepemimpinan kerap diwarnai perang. Saling berebut untuk menggantikan sang penguasa. Situasi tersebut, menurut Onghokham (2018) pakar sejarah Jawa, dalam buku Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang, karena tidak jelasnya aturan pergantian penguasa (hlm. 51-55).
Tetapi ini bukan soal pergundikan masa imperium di Jawa. Soal pergundikan yang dilakukan oleh orang Eropa. Sejak VOC memindahkan kantornya di Batavia, sudah marak pergundikan. Para pegawai VOC, dari tingkat rendah sampai tinggi, kerap memelihara nyai. Biasanya wanita itu juga sebagai pembantu sang majikan.
Lukisan Pengurus Rumah Tangga (Nyai) Sekitar Tahun 1853-1855
(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Kebutuhan PergundikanJan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC tahun 1618-1623 dan 1627-1629, menyadari pentingnya menyediakan wanita-wanita Eropa. Sebagai pasangan hidup para pegawai VOC. Dalam buku tulisan Leonard Blusse (2004), berjudul Persekutuan Aneh Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC, dikatakan Coen menulis surat kepada Heren XVII. Meminta dikirim wanita-wanita Eropa dari kalangan yang baik-baik. Serta, mengusulkan para keluarga Belanda untuk beremigrasi ke Batavia (hlm. 301). Upaya ini pun tidak berhasil. Sebab, laki-laki Eropa di Batavia tetap lebih senang memelihara para nyai.
Bagi kalangan pegawai VOC, sistem pergundikan lebih fleksibel. Banyak di antara pegawai itu tidak selamanya tinggal di Hindia Timur. Suatu ketika mereka akan kembali ke Belanda. Di Hindia Timur hanya bekerja mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Nyai atau gundik yang mereka pelihara, akan ditinggalkan begitu saja.
Maraknya pergundikan di Batavia, membuat resah sang Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen. Dikutip dari buku tulisan Reggie Baay (2017), berjudul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, dalam surat Coen pada 11 Desember 1620. Dikatakan bahwa seorang gundik malas (kecuali dalam hal seks), bodoh, pembohong, dan bahkan mematikan. Dan karena kebenciaannya, seorang gundik bahkan dapat membunuh orang lain (hlm. 13-14).
Penguasa Batavia itu sangat membenci pergundikan di kalangan pegawai VOC. Bahkan, ia pun membenci seorang gundik. Menurutnya pergundikan adalah perilaku janggal, tidak terkendali, dan membahayakan kepentingan kolonial. Ia kemudian mengeluarkan larangan memelihara gundik. Baik di rumah, tempat tinggal, atau tempat lainnya. Larangan ini mulai berlaku pada 11 Desember 1620, tulis Reggie Baay (2017: 2).
Nyai dan pergundikan saat itu tercitrakan negatif. Namun, menjadi kebutuhan sebagian kalangan laki-laki bangsa Eropa. Untuk melampiaskan kebutuhan biologis mereka. Selain itu, secara naluri seorang laki-laki tentu berharap mendapatkan keturunan. Bersama wanita simpanan mereka. Walaupun anak-anak hasil pergundikan juga tercitrakan negatif.
Anak-anak yang lahir di Hindia Timur, tidak selamanya buruk. Di antara mereka itu ada yang sukses. Karena perhatian sang ayah yang dari bangsa Eropa. Seperti Dirck van Cloon, yang mendapat pendidikan hingga negeri Belanda. Setelah kembali dari Belanda, ia menjadi pengusaha yang sukses (Reggie Baay, 2017: 15). Di kemudian hari, Dirck van Cloon mampu menduduki jabatan Gubernur Jenderal VOC tahun 1732-1735.