Hindia Timur menarik minat para penjelajah. Mereka mengarungi lautan demi mencatatkan namanya dalam lembaran sejarah. Tergambarkan dalam tulisan mereka tentang tempat-tempat yang dilalui dan disinggahi. Menjejaki wilayah tersebut hingga pedalaman. Tak terkecuali Pulau Jawa. Termasuk wilayah yang kini disebut Mojokerto.
Laporan Perjalanan Francois Valentyn dalam Buku Oud en Nieuw Oost-Indien
(Sumber: Francois Valentyn, 1724)
Pada awal abad ke-18, Francois Valentyn menjejakkan kakinya di tanah Jawa. Seorang misionaris sekaligus naturalis. Kala itu kuasa Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC) mampu menandingi kuasa Mataram di Jawa. Ia menggambarkan tentang Mojokerto yang saat itu masih disebut Japan. Dalam bukunya berjudul Oud en Nieuw Oost-Indien (Amsterdam, Dordrecht: Joannes van Braam, Gerard Onder de Linden, 1724).
Menurut Valentyn, di wilayah Japan pernah ada Kerajaan Majapahit. Salah satu kerajaan tertua di Jawa. Saat itu terdapat sepuluh desa dan terdapat lebih dari 1.300 rumah tangga. Lebih lanjut, ia mengatakan Japan merupakan daerah yang ramai. Terdapat rumah yang cukup besar dan kokoh, yang menurutnya dapat menampung 1.000 orang. Terdapat paseban, masjid, kuil orang Moor, dan pasar yang besar. Rumah-rumah penduduknya memiliki tampilan yang sangat indah (1724: 42-50). Apakah bangunan besar yang dapat menampung banyak orang itu pendopo Kadipaten Japan? Informasi tersebut belum dapat dipastikan.
Laporan Perjalanan Franz Willem Junghuhn dalam Buku Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw
(Sumber: Franz Willem Junghuhn, 1853)
Kurang lebih sekitar 150 tahun setelah Francois Valentyn menuliskan catatannya tentang Jawa. Datanglah seorang geolog bernama Franz Willem Junghuhn. Yang juga menjelajahi pedalaman Pulau Jawa pada tahun 1850-an. Kala itu pemerintahan pribumi tidak lagi disebut Japan, tetapi sudah ditulis Mojokerto. Laporan perjalanan Junghuhn dibukukan dengan judul Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw (S’Gravenhage: C. W. Mieling, 1853).
Junghuhn mengatakan wilayah Kabupaten Mojokerto, Karesidenan Surabaya berada di sekitar Gunung Arjuno dan Gunung Kelud. Ia juga mengatakan di wilayah Kabupaten Mojokerto merupakan bekas Kerajaan Majapahit (1853: 346-347). Memang benar laporan Junghuhn, di wilayah Mojokerto terdapat banyak peninggalan era Majapahit.
Laporan Perjalanan Alfred Russel Wallace dalam Buku The Malay Archipelago
(Sumber: Alfred Russel Wallace, 1880)
Deskripsi cukup panjang tentang Mojokerto ditulis oleh Alfred Russel Wallace. Menjelajahi Pulau Jawa pada Juli-Oktober 1861. Hasil penjelajahannya dibukukan dengan judul The Malay Archipelago: The Land of The Orang-Utan and The Bird of Paradise a Narrative of Travel, with Studies of Man and Nature (London: Macmillan and Co, 1880).
Alfred Russel Wallace mengatakan singgah di Mojokerto. Di Mojokerto tinggal seorang asisten residen sebagai penguasa Belanda dan seorang Bupati sebagai penguasa pribumi. Mojokerto kotanya rapi dan terdapat ruang terbuka hijau seperti lapangan. Di atasnya berdiri pohon ara yang indah. Di bawahnya terkadang ada semacam pasar, dan tempat untuk penduduknya bersantai dan berbincang (1880: 100-101). Sama halnya dengan Junghuhn, Wallace juga menyebut di Mojokerto terdapat bekas reruntuhan kota kuno Majapahit. Bisa jadi, yang dimaksud ruang terbuka hijau seperti lapangan tidak lain alun-alun Mojokerto. Sedangkan yang dimaksud pohon ara ialah pohon beringin yang biasanya ada di alun-alun.
Gapura Wringin Lawang Tahun 1890-an
(Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Dalam perjalanan Wallace dari Mojokerto menuju Mojoagung, berhenti dan melihat bekas reruntuhan kota kuno Majapahit. Yang terlihat seperti sebuah gerbang, dengan dua buah susunan batu bata yang tinggi (1880: 101). Sangat mungkin bangunan itu kini disebut Gapura Wringin Lawang.
Wallace singgah juga di Wonosalam. Untuk mengumpulkan beberapa spesimen. Perjalanan ke Wonosalam melewati hutan yang sangat indah. Dalam perjalanan melewati reruntuhan makam kuno atau mausoleum. Makam tersebut seluruhnya terbuat dari batu dan terdapat relief. Wallace memutuskan untuk beberapa waktu tinggal di Wonosalam (1880: 102-104). Makam kuno tersebut tidak lain sekarang Candi Rimbi.
Candi Rimbi Tahun 1890-an
(Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Setelah seminggu berada di Wonosalam, Wallace turun gunung menuju Desa Japanan. Disambut oleh kepala desa yang menyiapkan ruangan untuk Wallace singgah. Selama kurang lebih satu bulan Wallace berada di Wonosalam dan Japanan. Kemudian kembali ke Surabaya dengan perahu melalui jalur sungai (1880: 108-110). Di era Hindia Belanda, Sungai Brantas masih memainkan peran penting urat nadi perekonomian. Seperti diberitakan surat kabar Java Bode, 15 Februari 1854 menyebutkan pengangkutan gula milik Kapitan Cina Kediri dengan perahu melalui Sungai Brantas. Sebanyak 40 keranjang yang diangkut dari Kediri menuju Mojokerto. Mengalami kecelakaan di dekat Ploso, Jombang. Hanya 17 keranjang gula yang dapat diselamatkan.
Mantaf
BalasHapus