Senin, 01 September 2025

PROTES MEMBAKAR LADANG TEBU

Ladang Tebu Bodjok Lor SF Perning Tahun 1926

Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl

Bijak lah menarik pajak. Sebab, bisa membikin situasi tambah pelik. Ketika beban rakyat makin berat. Jangan diperberat. Bisa timbul situasi kacau. Yang terburuk, tidak lagi percaya pada pemerintah. Termasuk lembaga-lembaganya. Apalagi apatis terhadap hukum.

Situasi itu pernah terjadi pada masa kolonial. Saat rakyat di pedesaan dipaksa menerima keadaan. Harus wajib membayar pajak, tetapi hidup serba sulit. Kemiskinan menghantui mereka. Bahan pangan sulit didapatkan. Ditambah mereka harus memberikan tenaganya untuk perkebunan. Juga tenaganya dibutuhkan oleh para penguasa pribumi. Sebagai bentuk kerja wajib, maka tidak diupah. Terkadang diberi uang pun tidak cukup untuk hidup dirinya dan keluarganya.

Penderitaan pun semakin parah. Kekecewaan rakyat pedesaan makin kuat. Terjadilah pembakaran ladang-ladang tebu. Ladang tebu adalah sumber pemasukan pemerintah kolonial. Hingga tahun 1930-an, gula merupakan komoditas ekspor terbesar. Khususnya dari Pulau Jawa. Tak heran banyak pabrik gula di Jawa. Bekas-bekasnya pun masih dapat ditemui hingga kini.

Bagi pemerintah kolonial, pembakaran ladang tebu adalah kejahatan. Pemerintah akan menegakkan rust en orde (ketenteraman dan ketertiban). Untuk melidungi kepentingan kolonial. Menurut Onghokham (2018), dalam bukunya berjudul Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang, disebutkan penyebabnya tekanan yang dialami rakyat pedesaan. Rakyat harus membayar pajak dan kerja wajib. Baik kepada pemerintah kolonial maupun raja. Mereka juga mendapat tekanan dari para “political gangster”. Atau para tukang pukul (hlm. 167). Para jago atau preman tak jarang menjadi piaraan pemegang kepentingan.

Situasi serba tertekan membuat rakyat butuh pelampiasan kemarahan. Mereka kerap membakar perkebunan tebu. Membakar ladang tebu sudah terjadi sejak abad ke-19. Di masa Sistem Tanam Paksa (1830-1870). Namun, pembakaran semakin marak pada awal abad ke-20. Pelakunya merupakan orang yang dirugikan adanya kebun tebu. Terkait harga sewa tanah yang rendah. Juga jangka waktu sewa yang terlalu lama. Karenanya, sifat radikalisme juga kecil. Hanya dilakukan oleh kaum “borjuis kecil”, tulis Onghokham (2018: 167-168).

Berdasarkan data Koloniaal Verslag van 1908, pada tahun 1907 jumlah kebakaran ladang tebu di afdeling Mojokerto yang paling tinggi. Dengan jumlah total sebanyak 407 kebakaran. Dengan luas areal ladang tebu seluas 658 bau.

Jumlah Kebakaran Ladang Tebu di Jawa Timur Tahun 1906-1907

Sumber: Koloniaal Verslag van 1908; 254

Mengatasi Pembakaran Ladang Tebu

Meskipun bersifat kecil, tetapi cukup membuat kebakaran jenggot. Baik pemerintah kolonial maupun para penguasa setempat. Dalam buku berjudul Polisi Zaman Hindia Belanda Dari Kepedulian dan Ketakutan, tulisan Marieke Bloembergen (2011) disebutkan sejak tahun 1880-an fenomena pembakaran ladang tebu dianggap gangguan keamanan. Kebakaran terus menerus terjadi. Seakan-akan apinya sulit dipadamkan. Intensitas pembakaran cukup tinggi terjadi pada tahun 1900, 1907, dan 1911 (hlm. 116).

Kebakaran ladang tebu tampaknya memang disengaja. Sebagai bentuk protes petani. Pada tahun 1907, terjadi 2.285 kasus pembakaran ladang tebu. Menghanguskan ladang tebu seluas 4.808 bau. Jumlah itu meningkat pada tahun 1911. Tercatat 2.961 kasus, yang memusnahkan 6.560 bau ladang tebu, tulis Marieke Bloembergen (2011: 142).

Pemerintah kolonial menganggap pembakaran ladang tebu adalah kejahatan yang serius. Berdasarkan laporan W. Boekhoudt (1908), dalam Rapport reorganisatie van het politiewezen op Java en Madoera, dikatakan pembakaran ladang tebu termasuk urutan keempat dari pelanggaran serius. Kejahatan ini paling sering terjadi (hlm. 35-44). Walaupun, penyebabnya juga tidak diketahui secara jelas. Apakah dibakar dengan sengaja atau tidak. Tetapi para pengusaha pabrik gula, menganggap sebagai tindakan yang disengaja.

Untuk mengatasi masalah pembakaran ladang tebu, dibentuk satuan penjaga keamanan swasta. Dibentuk dan digaji oleh pengusaha pabrik gula. Mengawasi perkebunan tebu di sekitar pabrik.

Di pihak pemerintah kolonial, mencoba mengoptimalkan kerja kepolisian. Dengan cara mengalokasikan anggaran khusus. Untuk penambahan personel polisi, yang menangani kasus pembakaran ladang tebu. Pada tahun 1912, di daerah Pasuruan dan Madiun dialokasikan sebesar f 100.000 gulden per tahun. Di Pasuruan ditambah 6 orang mantri polisi, dan 36 agen polisi. Di Madiun ditambah 16 orang mantri polisi, dan 48 agen polisi.

Keterbatasan jumlah personel kepolisian selalu jadi alasan. Lemahnya penegakan hukum. Dan ini sudah menjadi persoalan sejak zaman kolonial. Harusnya perlu menyinggung soal profesionalisme. Tanpa sikap profesional, yang terjadi bisa saja kriminalisasi petani. Yang dituduh sebagai dalang pembakaran ladang tebu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda. Untuk perbaikan media pembelajaran sejarah populer ini.