Pemberitaan Pemberontakan Pak Jebrak di Brangkal Mojokerto tahun 1923
(Sumber: Het Nieuws van den dag door Nederlandsch-Indie, 20 Juli 1923)
Gerakan perlawanan selalu muncul pada setiap zaman. Di era Pemerintah Hindia Belanda, tidak luput dari ancaman pemberontakan.
Sejarawan spesialis gerakan sosial di Jawa, Profesor Sartono Kartodirdjo dalam bukunya berjudul Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium Jilid 1, menyebutkan umumnya gerakan dipengaruhi oleh ideologi religius, materi, serta semangat loyalitas dan pengabdian (1999: 371).
Pada awal tahun 1920-an, gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial muncul di Mojokerto. Keadaan sosial awal tahun 1920-an di Jawa umumnya sedang dalam situasi buruk. Imbas dari menurunnya ekspor komoditas perkebunan karena Perang Dunia I (1914-1918). Serta, pandemi global karena virus inzluenza yang dalam sejarah sering disebut Flu Spanyol tahun 1918.
Keadaan yang serba sulit tentu menjadi faktor munculnya keresahan sosial. Pemerintah menjadi musuh yang harus diperangi. Sebab pemerintah yang mesti bertanggung jawab munculnya kesulitan hidup. Gerakan perlawanan Pak Jebrak alias Djoreso di Brangkal Mojokerto tahun 1923 tentu tidak lepas dari situasi tersebut.
Dalam kesulitan hidup muncul keinginan perbaikan. Pak Jebrak memulai gerakannya dengan mengklaim sebagai titisan Raja Majapahit melalui mimpinya. Di bulan Februari 1923, Patih Mojokerto menulis laporan kepada H. C. van den Bos (Asisten Residen Mojokerto), yang menyebutkan profil Pak Jebrak. Di mana, Pak Jebrak di Brangkal Kulon dan sekitarnya dikenal oleh penduduk sebagai doekoen-soembersoewooek. Saat itu Brangkal Kulon termasuk dalam onderdistrik Sooko, distrik Mojokerto tulis Arsip Nasional Republik Indonesia dalam buku berjudul Laporan-Laporan Tentang Gerakan Protes di Jawa Pada Abad-XX (1981: 184).
Gerakan ini mudah dipatahkan oleh pemerintah saat itu. Pada bulan Juli 1923, Pak Jebrak berhasil ditangkap oleh Patih Mojokerto. Dalam buku Fendy Suhartanto berjudul Mojokerto 1838-1942 Penataan Wilayah Kabupaten di Bawah Kuasa Pemerintah Hindia Belanda, menyebutkan Patih Mojokerto yang menjabat saat itu ialah Mas Reksodiprodjo. Menjabat patih Mojokerto tahun 1920-1927 (2025: 228-229).
Ilustrasi Kol Buntet dan Wesi Kuning
(Sumber: https://kumparan.com)
Saat diinterogasi ditemukan jimat pada tubuh (pinggang) Pak Jebrak. Yakni wesi kuning dan kol buntet. Fungsinya agar kebal dari senjata, tulis surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, 20 Juli 1923. Dalam pemberitaan surat kabar tersebut, juga mengatakan bahwa Pak Jebrak merupakan pseudo-radja atau raja palsu. Surat kabar Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20 Juli 1923 memuat judul pemberitaan een mislukte staatsgreep, atau kudeta yang gagal. Sedangkan, surat kabar De Preanger-bode, 19 Juli 1923 memuat judul gevolgen van een droom, atau konsekuensi dari sebuah mimpi.
Karena itu, dokter de Graaf melakukan analisa psikis terhadap Pak Jebrak. Tampaknya Pak Jebrak mengalami gangguan jiwa. Untuk mendalami kejiwaannya, dr. de Graaf menulis surat kepada koleganya di Rumah Sakit Jiwa Lawang. Agar dilakukan analisa lebih dalam dari hasil observasi sebelumnya. Namun usulan tersebut ditolak oleh para pejabat pribumi. Dengan alasan Pak Jebrak melakukannya dengan penuh kesadaran, tulis ANRI (1981: 185).
Analisa psikis dalam konteks sejarah perlawanan tentu akan menarik. Sebab, setiap tindakan yang kemudian menjadi peristiwa (sejarah) juga dilandasi oleh pikiran sebelumnya. Artinya, seberapa jauh pikiran berkorelasi dengan tindakan. Apakah, konteks psikis Pak Jebrak yang cemas (gelisah), tidak puas, dan tidak aman kemudian menjadi faktor utama munculnya gerakan tersebut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda. Untuk perbaikan media pembelajaran sejarah populer ini.