Senin, 01 September 2025

PROTES MEMBAKAR LADANG TEBU

Ladang Tebu Bodjok Lor SF Perning Tahun 1926

Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl

Bijak lah menarik pajak. Sebab, bisa membikin situasi tambah pelik. Ketika beban rakyat makin berat. Jangan diperberat. Bisa timbul situasi kacau. Yang terburuk, tidak lagi percaya pada pemerintah. Termasuk lembaga-lembaganya. Apalagi apatis terhadap hukum.

Situasi itu pernah terjadi pada masa kolonial. Saat rakyat di pedesaan dipaksa menerima keadaan. Harus wajib membayar pajak, tetapi hidup serba sulit. Kemiskinan menghantui mereka. Bahan pangan sulit didapatkan. Ditambah mereka harus memberikan tenaganya untuk perkebunan. Juga tenaganya dibutuhkan oleh para penguasa pribumi. Sebagai bentuk kerja wajib, maka tidak diupah. Terkadang diberi uang pun tidak cukup untuk hidup dirinya dan keluarganya.

Penderitaan pun semakin parah. Kekecewaan rakyat pedesaan makin kuat. Terjadilah pembakaran ladang-ladang tebu. Ladang tebu adalah sumber pemasukan pemerintah kolonial. Hingga tahun 1930-an, gula merupakan komoditas ekspor terbesar. Khususnya dari Pulau Jawa. Tak heran banyak pabrik gula di Jawa. Bekas-bekasnya pun masih dapat ditemui hingga kini.

Bagi pemerintah kolonial, pembakaran ladang tebu adalah kejahatan. Pemerintah akan menegakkan rust en orde (ketenteraman dan ketertiban). Untuk melidungi kepentingan kolonial. Menurut Onghokham (2018), dalam bukunya berjudul Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang, disebutkan penyebabnya tekanan yang dialami rakyat pedesaan. Rakyat harus membayar pajak dan kerja wajib. Baik kepada pemerintah kolonial maupun raja. Mereka juga mendapat tekanan dari para “political gangster”. Atau para tukang pukul (hlm. 167). Para jago atau preman tak jarang menjadi piaraan pemegang kepentingan.

Situasi serba tertekan membuat rakyat butuh pelampiasan kemarahan. Mereka kerap membakar perkebunan tebu. Membakar ladang tebu sudah terjadi sejak abad ke-19. Di masa Sistem Tanam Paksa (1830-1870). Namun, pembakaran semakin marak pada awal abad ke-20. Pelakunya merupakan orang yang dirugikan adanya kebun tebu. Terkait harga sewa tanah yang rendah. Juga jangka waktu sewa yang terlalu lama. Karenanya, sifat radikalisme juga kecil. Hanya dilakukan oleh kaum “borjuis kecil”, tulis Onghokham (2018: 167-168).

Berdasarkan data Koloniaal Verslag van 1908, pada tahun 1907 jumlah kebakaran ladang tebu di afdeling Mojokerto yang paling tinggi. Dengan jumlah total sebanyak 407 kebakaran. Dengan luas areal ladang tebu seluas 658 bau.

Jumlah Kebakaran Ladang Tebu di Jawa Timur Tahun 1906-1907

Sumber: Koloniaal Verslag van 1908; 254

Mengatasi Pembakaran Ladang Tebu

Meskipun bersifat kecil, tetapi cukup membuat kebakaran jenggot. Baik pemerintah kolonial maupun para penguasa setempat. Dalam buku berjudul Polisi Zaman Hindia Belanda Dari Kepedulian dan Ketakutan, tulisan Marieke Bloembergen (2011) disebutkan sejak tahun 1880-an fenomena pembakaran ladang tebu dianggap gangguan keamanan. Kebakaran terus menerus terjadi. Seakan-akan apinya sulit dipadamkan. Intensitas pembakaran cukup tinggi terjadi pada tahun 1900, 1907, dan 1911 (hlm. 116).

Kebakaran ladang tebu tampaknya memang disengaja. Sebagai bentuk protes petani. Pada tahun 1907, terjadi 2.285 kasus pembakaran ladang tebu. Menghanguskan ladang tebu seluas 4.808 bau. Jumlah itu meningkat pada tahun 1911. Tercatat 2.961 kasus, yang memusnahkan 6.560 bau ladang tebu, tulis Marieke Bloembergen (2011: 142).

Pemerintah kolonial menganggap pembakaran ladang tebu adalah kejahatan yang serius. Berdasarkan laporan W. Boekhoudt (1908), dalam Rapport reorganisatie van het politiewezen op Java en Madoera, dikatakan pembakaran ladang tebu termasuk urutan keempat dari pelanggaran serius. Kejahatan ini paling sering terjadi (hlm. 35-44). Walaupun, penyebabnya juga tidak diketahui secara jelas. Apakah dibakar dengan sengaja atau tidak. Tetapi para pengusaha pabrik gula, menganggap sebagai tindakan yang disengaja.

Untuk mengatasi masalah pembakaran ladang tebu, dibentuk satuan penjaga keamanan swasta. Dibentuk dan digaji oleh pengusaha pabrik gula. Mengawasi perkebunan tebu di sekitar pabrik.

Di pihak pemerintah kolonial, mencoba mengoptimalkan kerja kepolisian. Dengan cara mengalokasikan anggaran khusus. Untuk penambahan personel polisi, yang menangani kasus pembakaran ladang tebu. Pada tahun 1912, di daerah Pasuruan dan Madiun dialokasikan sebesar f 100.000 gulden per tahun. Di Pasuruan ditambah 6 orang mantri polisi, dan 36 agen polisi. Di Madiun ditambah 16 orang mantri polisi, dan 48 agen polisi.

Keterbatasan jumlah personel kepolisian selalu jadi alasan. Lemahnya penegakan hukum. Dan ini sudah menjadi persoalan sejak zaman kolonial. Harusnya perlu menyinggung soal profesionalisme. Tanpa sikap profesional, yang terjadi bisa saja kriminalisasi petani. Yang dituduh sebagai dalang pembakaran ladang tebu.

Jumat, 01 Agustus 2025

Mojokerto dalam Catatan Para Penjelajah

Francois Valentyn, Franz Willem Junghuhn dan Alfred Russel Wallace

Hindia Timur menarik minat para penjelajah. Mereka mengarungi lautan demi mencatatkan namanya dalam lembaran sejarah. Tergambarkan dalam tulisan mereka tentang tempat-tempat yang dilalui dan disinggahi. Menjejaki wilayah tersebut hingga pedalaman. Tak terkecuali Pulau Jawa. Termasuk wilayah yang kini disebut Mojokerto.

Laporan Perjalanan Francois Valentyn dalam Buku Oud en Nieuw Oost-Indien

(Sumber: Francois Valentyn, 1724)

Pada awal abad ke-18, Francois Valentyn menjejakkan kakinya di tanah Jawa. Seorang misionaris sekaligus naturalis. Kala itu kuasa Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC) mampu menandingi kuasa Mataram di Jawa. Ia menggambarkan tentang Mojokerto yang saat itu masih disebut Japan. Dalam bukunya berjudul Oud en Nieuw Oost-Indien (Amsterdam, Dordrecht: Joannes van Braam, Gerard Onder de Linden, 1724).

Menurut Valentyn, di wilayah Japan pernah ada Kerajaan Majapahit. Salah satu kerajaan tertua di Jawa. Saat itu terdapat sepuluh desa dan terdapat lebih dari 1.300 rumah tangga. Lebih lanjut, ia mengatakan Japan merupakan daerah yang ramai. Terdapat rumah yang cukup besar dan kokoh, yang menurutnya dapat menampung 1.000 orang. Terdapat paseban, masjid, kuil orang Moor, dan pasar yang besar. Rumah-rumah penduduknya memiliki tampilan yang sangat indah (1724: 42-50). Apakah bangunan besar yang dapat menampung banyak orang itu pendopo Kadipaten Japan? Informasi tersebut belum dapat dipastikan.

Laporan Perjalanan Franz Willem Junghuhn dalam Buku Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw

(Sumber: Franz Willem Junghuhn, 1853)

Kurang lebih sekitar 150 tahun setelah Francois Valentyn menuliskan catatannya tentang Jawa. Datanglah seorang geolog bernama Franz Willem Junghuhn. Yang juga menjelajahi pedalaman Pulau Jawa pada tahun 1850-an. Kala itu pemerintahan pribumi tidak lagi disebut Japan, tetapi sudah ditulis Mojokerto. Laporan perjalanan Junghuhn dibukukan dengan judul Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw (S’Gravenhage: C. W. Mieling, 1853).

Junghuhn mengatakan wilayah Kabupaten Mojokerto, Karesidenan Surabaya berada di sekitar Gunung Arjuno dan Gunung Kelud. Ia juga mengatakan di wilayah Kabupaten Mojokerto merupakan bekas Kerajaan Majapahit (1853: 346-347). Memang benar laporan Junghuhn, di wilayah Mojokerto terdapat banyak peninggalan era Majapahit.

Laporan Perjalanan Alfred Russel Wallace dalam Buku The Malay Archipelago

(Sumber: Alfred Russel Wallace, 1880)

Deskripsi cukup panjang tentang Mojokerto ditulis oleh Alfred Russel Wallace. Menjelajahi Pulau Jawa pada Juli-Oktober 1861. Hasil penjelajahannya dibukukan dengan judul The Malay Archipelago: The Land of The Orang-Utan and The Bird of Paradise a Narrative of Travel, with Studies of Man and Nature (London: Macmillan and Co, 1880).

Alfred Russel Wallace mengatakan singgah di Mojokerto. Di Mojokerto tinggal seorang asisten residen sebagai penguasa Belanda dan seorang Bupati sebagai penguasa pribumi. Mojokerto kotanya rapi dan terdapat ruang terbuka hijau seperti lapangan. Di atasnya berdiri pohon ara yang indah. Di bawahnya terkadang ada semacam pasar, dan tempat untuk penduduknya bersantai dan berbincang (1880: 100-101). Sama halnya dengan Junghuhn, Wallace juga menyebut di Mojokerto terdapat bekas reruntuhan kota kuno Majapahit. Bisa jadi, yang dimaksud ruang terbuka hijau seperti lapangan tidak lain alun-alun Mojokerto. Sedangkan yang dimaksud pohon ara ialah pohon beringin yang biasanya ada di alun-alun.

Gapura Wringin Lawang Tahun 1890-an

(Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Dalam perjalanan Wallace dari Mojokerto menuju Mojoagung, berhenti dan melihat bekas reruntuhan kota kuno Majapahit. Yang terlihat seperti sebuah gerbang, dengan dua buah susunan batu bata yang tinggi (1880: 101). Sangat mungkin bangunan itu kini disebut Gapura Wringin Lawang.

Wallace singgah juga di Wonosalam. Untuk mengumpulkan beberapa spesimen. Perjalanan ke Wonosalam melewati hutan yang sangat indah. Dalam perjalanan melewati reruntuhan makam kuno atau mausoleum. Makam tersebut seluruhnya terbuat dari batu dan terdapat relief. Wallace memutuskan untuk beberapa waktu tinggal di Wonosalam (1880: 102-104). Makam kuno tersebut tidak lain sekarang Candi Rimbi.

Candi Rimbi Tahun 1890-an

(Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Setelah seminggu berada di Wonosalam, Wallace turun gunung menuju Desa Japanan. Disambut oleh kepala desa yang menyiapkan ruangan untuk Wallace singgah. Selama kurang lebih satu bulan Wallace berada di Wonosalam dan Japanan. Kemudian kembali ke Surabaya dengan perahu melalui jalur sungai (1880: 108-110). Di era Hindia Belanda, Sungai Brantas masih memainkan peran penting urat nadi perekonomian. Seperti diberitakan surat kabar Java Bode, 15 Februari 1854 menyebutkan pengangkutan gula milik Kapitan Cina Kediri dengan perahu melalui Sungai Brantas. Sebanyak 40 keranjang yang diangkut dari Kediri menuju Mojokerto. Mengalami kecelakaan di dekat Ploso, Jombang. Hanya 17 keranjang gula yang dapat diselamatkan.

Selasa, 01 Juli 2025

SATU LAHAN DUA TUAN: KETIKA VOC MEREBUT KUPANG

Peta Pulau Timor Tahun 1847

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/814061)

Kalian tahu gak gaes, kalau Timor Leste pernah menjadi bagian wilayah Indonesia. Sejak diduduki Indonesia tahun 1976. Pada tahun 1999 dilakukan jajak pendapat, dan memilih lepas dari Indonesia. Secara resmi Timor Leste merdeka dari Indonesia pada 20 Mei 2002.

Dalam sejarah Pulau Timor, Belanda dan Portugis pernah berbagi kuasa di sana. Ketika Indonesia merdeka dan mewarisi wilayah Belanda, bangsa Portugis masih berkuasa atas sebagian wilayah di Pulau Timor. Karena itu, orang Timor Leste lebih dekat Portugis daripada Belanda atau Indonesia. Hal ini pun dapat ditelusuri sejak zaman VOC. Jauh sebelum Belanda atau Indonesia berkuasa atas Timor Leste.

Veerenigde Oostindische Compagnie atau VOC (1602-1799) pernah berjaya di nusantara. Kongsi dagang milik orang-orang Belanda ini berkuasa layaknya negara. Punya tentara dan dapat memutuskan perjanjian damai dan perang.

Sejak abad ke-16, bangsa Eropa berdatangan ke nusantara. Mencari asal usul rempah-rempah. Kemudian, mereka berusaha memonopoli perdagangan rempah. Menguasai jalur maritim perdagangannya pula. Tidak ada satu daerah di nusantara yang tidak penting. Bahkan, Pulau Timor yang tandus sekalipun. Sebab, di pulau ini ada kayu cendana. Bernilai penting sebagai komoditas perdagangan.

Tidak heran jika VOC berupaya menguasainya. Meski Pulau Timor sudah dikuasai oleh Portugis. Sejatinya bangsa Eropa sendiri tak pernah akur. Mereka kerapkali bersaing memperebutkan wilayah koloni. Apalagi kalau wilayah itu penting. Penghasil rempah-rempah atau bandar dagang.

Peta Pulau Timor Wilayah Kuasa Belanda Tahun 1921

Sumber: Tijdschr. van het Kon. Ned. Aardrijksk. Genootschap, 1921 Kaart No. VII

VOC Merebut Pulau Timor

Pada abad ke-17, Pulau Timor menjadi rebutan VOC dengan Portugis. Bangsa Portugis lebih dulu menguasainya. Untuk pertama kalinya, VOC mengunjungi Pulau Timor pada tahun 1613. Menurut Geoffrey C. Gunn (2005) dalam bukunya berjudul 500 Tahun Timor Loro Sae, dikatakan kedatangannya untuk mengontrol dan menguasai perdagangan kayu cendana. Solor berhasil dikuasai pada tahun 1618. Di Solor dibangun benteng yang diberi nama Fort Henricus (hlm. 90-91).

Saat mengambil alih daerah-daerah di Pulau Timor, VOC sering bekerjasama dengan penduduk lokal. Mengajak para penguasa setempat untuk melawan dominasi Portugis. Penguasa lokal dari 5 kerajaan kecil berhasil diajak bekerjasama. Kerajaan-kerajaan kecil ini terletak di pesisir barat laut Pulau Timor. Oleh VOC sering disebut “lima sekutu setia”.

Benteng Portugis di Kupang akhirnya dapat dikuasai VOC pada tahun 1688. Benteng tersebut oleh VOC diberi nama Fort Concordia. Sebelumnya benteng ini belum selesai dibangun oleh Portugis. Bagi VOC benteng di Kupang menjadi jalan menguasai Pulau Timor. Bahkan, secara resmi tahun 1870 dijadikan basis militer pemerintah kolonial.

Menurut analisis C. R. Boxer (1960), dalam “History Today” berjudul Portuguese Timor: A Rough Island Story 1515-1960, dikatakan pembangunan benteng di Kupang sangat baik. Terletak tepat di pelabuhan terbaik. Berada pada titik yang paling strategis di Pulau Timor (hlm. 352). Pelabuhannya terlindungi secara alami. Karena berada di Teluk Kupang. Tidak salah jika VOC berusaha keras merebut wilayah Kupang. Dari tempat tersebut dapat dikuasai perdagangan dan jaringan maritimnya. Terutama komoditas kayu cendana.

Meskipun Kupang dapat dikuasai VOC, namun tetap harus berbagi kuasa dengan Portugis atas Pulau Timor. Batas-batas wilayah juga tidak begitu jelas. Hingga pertengahan abad ke-19. Melalui Perjanjian Lisabon (20 April 1859), disepakati batas wilayah Portugis dan Belanda. Kemudian, diperbarui lagi dengan Konvensi Lisabon (10 Juni 1893). Konvensi itu dijadikan deklarasi bersama pada 1 Juli 1893, ujar Geoffrey C. Gunn (2005: 221).

Batas wilayah di antara Belanda dan Portugis tidak pernah final. Permasalahan ini terus muncul hingga awal abad ke-20. Yang menjadi korban soal batas wilayah tetap rakyat Timor. Mereka harus berada di antara dua kubu yang saling bertikai. Dua kekuatan besar bangsa Eropa, Belanda dan Portugis.

Minggu, 01 Juni 2025

Wesi Kuning dan Kol Buntet: Jimat Pak Jebrak dalam Gerakan Mesianisme di Brangkal Tahun 1923

Pemberitaan Pemberontakan Pak Jebrak di Brangkal Mojokerto tahun 1923

(Sumber: Het Nieuws van den dag door Nederlandsch-Indie, 20 Juli 1923)

Gerakan perlawanan selalu muncul pada setiap zaman. Di era Pemerintah Hindia Belanda, tidak luput dari ancaman pemberontakan.

Sejarawan spesialis gerakan sosial di Jawa, Profesor Sartono Kartodirdjo dalam bukunya berjudul Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium Jilid 1, menyebutkan umumnya gerakan dipengaruhi oleh ideologi religius, materi, serta semangat loyalitas dan pengabdian (1999: 371).

Pada awal tahun 1920-an, gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial muncul di Mojokerto. Keadaan sosial awal tahun 1920-an di Jawa umumnya sedang dalam situasi buruk. Imbas dari menurunnya ekspor komoditas perkebunan karena Perang Dunia I (1914-1918). Serta, pandemi global karena virus inzluenza yang dalam sejarah sering disebut Flu Spanyol tahun 1918.

Keadaan yang serba sulit tentu menjadi faktor munculnya keresahan sosial. Pemerintah menjadi musuh yang harus diperangi. Sebab pemerintah yang mesti bertanggung jawab munculnya kesulitan hidup. Gerakan perlawanan Pak Jebrak alias Djoreso di Brangkal Mojokerto tahun 1923 tentu tidak lepas dari situasi tersebut.

Dalam kesulitan hidup muncul keinginan perbaikan. Pak Jebrak memulai gerakannya dengan mengklaim sebagai titisan Raja Majapahit melalui mimpinya. Di bulan Februari 1923, Patih Mojokerto menulis laporan kepada H. C. van den Bos (Asisten Residen Mojokerto), yang menyebutkan profil Pak Jebrak. Di mana, Pak Jebrak di Brangkal Kulon dan sekitarnya dikenal oleh penduduk sebagai doekoen-soembersoewooek. Saat itu Brangkal Kulon termasuk dalam onderdistrik Sooko, distrik Mojokerto tulis Arsip Nasional Republik Indonesia dalam buku berjudul Laporan-Laporan Tentang Gerakan Protes di Jawa Pada Abad-XX (1981: 184).

Gerakan ini mudah dipatahkan oleh pemerintah saat itu. Pada bulan Juli 1923, Pak Jebrak berhasil ditangkap oleh Patih Mojokerto. Dalam buku Fendy Suhartanto berjudul Mojokerto 1838-1942 Penataan Wilayah Kabupaten di Bawah Kuasa Pemerintah Hindia Belanda, menyebutkan Patih Mojokerto yang menjabat saat itu ialah Mas Reksodiprodjo. Menjabat patih Mojokerto tahun 1920-1927 (2025: 228-229).

Ilustrasi Kol Buntet dan Wesi Kuning

(Sumber: https://kumparan.com)

Saat diinterogasi ditemukan jimat pada tubuh (pinggang) Pak Jebrak. Yakni wesi kuning dan kol buntet. Fungsinya agar kebal dari senjata, tulis surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, 20 Juli 1923. Dalam pemberitaan surat kabar tersebut, juga mengatakan bahwa Pak Jebrak merupakan pseudo-radja atau raja palsu. Surat kabar Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20 Juli 1923 memuat judul pemberitaan een mislukte staatsgreep, atau kudeta yang gagal. Sedangkan, surat kabar De Preanger-bode, 19 Juli 1923 memuat judul gevolgen van een droom, atau konsekuensi dari sebuah mimpi.

Karena itu, dokter de Graaf melakukan analisa psikis terhadap Pak Jebrak. Tampaknya Pak Jebrak mengalami gangguan jiwa. Untuk mendalami kejiwaannya, dr. de Graaf menulis surat kepada koleganya di Rumah Sakit Jiwa Lawang. Agar dilakukan analisa lebih dalam dari hasil observasi sebelumnya. Namun usulan tersebut ditolak oleh para pejabat pribumi. Dengan alasan Pak Jebrak melakukannya dengan penuh kesadaran, tulis ANRI (1981: 185).

Analisa psikis dalam konteks sejarah perlawanan tentu akan menarik. Sebab, setiap tindakan yang kemudian menjadi peristiwa (sejarah) juga dilandasi oleh pikiran sebelumnya. Artinya, seberapa jauh pikiran berkorelasi dengan tindakan. Apakah, konteks psikis Pak Jebrak yang cemas (gelisah), tidak puas, dan tidak aman kemudian menjadi faktor utama munculnya gerakan tersebut?

Kamis, 01 Mei 2025

Surya Kanta: Media Perlawanan Kaum Sudra di Singaraja Bali

Pakaian Bangsawan Sebelumnya Dilarang Untuk Kaum Sudra

(Sumber: Soerabaijash Handelsblad, 12 Mei 1938)

Dikisahkan gaes, di India pun terjadi perlawanan terhadap tradisi feodal. Dewasa ini, film-film India turut melawan tradisi feodal masyarakatnya. Film menjadi senjata ampuh melawan beragam praktik feodal. Praktik yang menghambat kemajuan peradaban. Tengok film India berjudul “OMG Oh My God” (2012), “PK” (2014), “Toilet” (2017), “Padman” (2018), “12th Fail” (2023), hingga “Dragon” (2025).

Sudah sejak lama muncul perlawanan terhadap kelas dan kasta di India. Dhurorudin Mashad (1999) dalam bukunya berjudul Agama dalam Kemelut Politik: Dilema Sekulerisme di India, menyebutkan permasalahan sosial ekonomi adalah isu yang muncul dalam perlawanan. Dipelopori tokoh-tokoh seperti Ram Mohan Roy, Swami Vivekananda, Swami Dayananda Saraswati, Mohadev Govenda Ranade, Rabindra Nath Tagore, dan Mahatma Gandhi. Dayananda Saraswati meluncurkan Gerakan Arya Samaj. Sedangkan, Gandhi menyuarakan istilah Harijan (anak Tuhan) untuk memperjuangkan nasib kaum Untouchable Caste (hlm. 89-90).

Tak terkecuali di Pulau Bali. Dijuluki sebagai Pulau Dewata. Tempat komunitas Hindu terbesar di Indonesia. Yang mewarisi kebudayaan India. Di era kolonial pada awal abad ke-20, Pemerintah Hindia Belanda membagi Pulau Bali menjadi tiga wilayah dengan status yang berbeda. 1) direct gouvernementsgebled atau wilayah pemerintahan langsung (Buleleng dan Jembrana), 2) gouvernements landschappen atau daerah swapraja di bawah Gouvernement yang diperintah orang pribumi (Karangasem dan Gianyar), dan 3) landschappen met zelfbestuur atau wilayah yang mempunyai hak pemerintahan sendiri (Tabanan, Badung, Klungkung, dan Bangli), tulis surat kabar De Telegraaf, 14 September 1906.

Pembagian Wilayah Pulau Bali tahun 1906

(Sumber: De Telegraaf, 14 September 1906)

Kemiripan dengan budaya India salah satunya terlihat dari sistem kasta. Perlawanan terhadap dominasi kelas dan kasta juga terjadi di Bali. Terhadap dominasi Tri Wangsa (Brahmana, Ksatria, dan Waisya). Di Bali, Tri Wangsa muncul setelah mendapat pengaruh dari Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1924-1930, kelompok Tri Wangsa mengeluarkan media Bali Adnjana. Surat kabar De Indische Courant, 2 April 1927 memberitakan untuk melawan dominasi Tri Wangsa, kaum Sudra menginisiasi munculnya media Surya Kanta (1925-1927).

Dalam diskusi di Bentara Budaya Bali (BBB) tahun 2019 silam, menghadirkan pembicara pakar antropologi dari Perancis, Michel Picard. Peneliti dan pendiri Pusat Studi Asia di Paris, Perancis. Menyatakan, tujuan Surya Kanta adalah memberi posisi kaum jaba yang ingin mengakhiri dominasi gaya barat. Mereka merasa hambatan itu karena keistimewaan yang didapat oleh kaum Tri Wangsa.

Secara kultural, dominasi kaum Tri Wangsa sudah mengakar kuat. Sejak ratusan tahun lalu. Ketika hegemoni Majapahit muncul di Bali. Pembagian kelas sosial tidak lagi berdasarkan karma (pekerjaan). Tetapi, menjadi berdasarkan keturunan. Pada akhirnya, penyimpangan muncul dalam berbagai bidang kehidupan (De Indische Courant, 2 April 1927).

Pada awal abad ke-20, tradisi literasi semakin kuat. Dunia pergerakan nasional sedang tumbuh. Beragam media massa muncul dari berbagai organisasi pergerakan. Surya Kanta muncul sebagai media perlawanan di Singaraja, Bali. Nama lainnya adalah “Perkoempoelan Surya Kanta”. Dalam Bahasa Belanda disebut Vereeniging Surya Kanta.

Dalam buku hasil penelitian AAGN Ari Dwipayana (2001), berjudul Kelas dan Kasta: Pergulatan Kelas Menengah Bali, menyebutkan perkumpulan Surya Kanta dipelopori oleh Ketut Nasa, Ketut Sandi, Nengah Merta, Ketut Kaler, Wayan Ruma, dan lain-lain. Ketut Nasa adalah seorang guru. Mereka berjuang untuk mendapatkan harga diri dalam masyarakat Bali. Dengan jelas tercantum dalam tujuan perkumpulan. Yaitu, mengadakan pembaharuan dalam masyarakat sesuai dengan kemajuan zaman (hlm. 228-229).

Majalah Surya Kanta Juli 1927

(Sumber: I Nyoman Darma Putra, Eksistensi Puisi Indonesia di Bali Pada Era Kolonial, 2017: 176)

Surya Kanta mendapatkan tanggapan baik di masyarakat. Simpati masyarakat Bali terlihat dari berkembangnya perkumpulan. Tumbuh dan berkembang di beberapa daerah. Seperti, di Banjera, Tabanan, Denpasar, Bangli, Gianyar, Jembrana, Karangasem, hingga ke Pulau Lombok.

Pentingnya pendidikan menjadi sasaran kritik pada kaum Tri Wangsa. Salah satu kritik terhadap pendidikan termuat dalam Surya Kanta Nomor 3 Tahun I (1926). Berikut kutipannya:

“Kalaoe ada seorang Triwangsa bermaksoed hendak memperbaiki tingkah lakoe seorang Djaba agar berkelakoean jang baik (sopan) terhadap dirinja (Triwangsa), djanganlah Triwangsa itoe laloe teroes sadja menghinakan kepada si Djaba, karena hal itoe terbilang keliroe, melainkan berilah si Djaba itoe petoeah dan tjontoh soepaja mengerti, bagaimana haroesnja dilakoekan oleh si Djaba menoeroet keadaan jaman terhadap Triwangsa, agar kedoea belah pihak menjadi senang.”

Dari tulisan di atas, menunjukkan pentingnya pendidikan. Penolakan terhadap ketidakadilan sistem wangsa semakin kuat. Pembenaran sepihak tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Ide untuk memperjuangkan kesejajaran terasa lebih berani, tulis AAGN Ari Dwipayana (2001: 235).

Pulau Bali tahun 1938

(Sumber: Keesings Historisch Archief No. 369, 6 Juli 1938)

Rabu, 02 April 2025

Prof. dr. W. P. Plate Tim Medis Putri Beatrix Kerajaan Belanda Kelahiran Mojokerto

W. P. Plate tahun 1966

(Sumber: Het Parool, 24 Oktober 1966)

Cicero pernah mengatakan historia est lux veritatis, artinya sejarah adalah sinar kebenaran. Tentunya jika ditulis dengan metodologi sejarah sebagai ilmu. Sebaliknya akan menjadi alat propaganda ketika ditulis untuk kepentingan tertentu. Apalagi di suatu era di mana kebenaran dan fakta dikaburkan oleh opini. Kerumunan agitasi opini dapat memutar balik kebenaran dan fakta masa lalu. Maka yang terjadi “selamat datang mitos, selamat tinggal realitas”.

Sejarah Hindia Belanda tidak hanya membincangkan dampak buruk kolonialisme. Ia bisa membincangkan apa saja. Termasuk orang-orang biasa. Maupun orang-orang luar biasa di masanya.

Putri Beatrix Wilhelmina Armgard merupakan putri dari Ratu Juliana. Yang digadang menjadi calon Ratu Belanda menggantikan ibunya. Sebagai pembesar di Kerajaan Belanda, tentu mendapat pelayanan medis pribadi. Salah satu anggota tim medis ialah Prof. dr. W. P. Plate.

Willem Paul Plate lahir di Mojokerto 17 Maret 1902. Ia menempuh studi kedokteran di Universitas Amsterdam, Belanda. Pada tahun 1926, melanjutkan studinya untuk specialiseerde als vrouwenarts atau spesialis kedokteran wanita. Mulai tahun 1930-1948 menjabat sebagai hoofdassistent atau asisten kepala pada Klinik Wanita di Universitas Amsterdam, tulis surat kabar De Telegraaf, 18 April 1968.

Iklan Kelahiran Willem Paul Plate tahun 1902

(Sumber: Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22 Maret 1902)

Willem Paul Plate anak dari Mr. W. J. M. Plate (ayah, kelahiran Semarang 26 Agustus 1868) dan G. P. Plate-Ten Hoet (Ibu). Informasi dari surat kabar Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 1 September 1937 menyebutkan bahwa ayahnya pernah bertugas di pengadilan Mojokerto. Saat itu menjabat sebagai rechterlijke macht atau hakim. Dari tahun 1920-1930 pernah menjabat sebagai presiden dari raad van justitie (dewan kehakiman). Meninggal di Batavia pada usia 69 tahun.

Setahun setelah kelahiran Willem Paul Plate, ayahnya yang menjabat sebagai kepala pengadilan Mojokerto dimutasi. Diangkat sebagai kepala pengadilan di Makasar, Maros, Pangkajene, Segeri, dan Camba (Sulawesi dan sekitarnya), seperti dimuat dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, 9 November 1903.

Berdasarkan buku tulisan Fendy Suhartanto, berjudul Mojokerto 1838-1942: Penataan Wilayah Kabupaten di Bawah Kuasa Pemerintah Hindia Belanda, menyebutkan Willem Paul Plate lahir saat P. J. Voorstad menjabat Asisten Residen Mojokerto (menjabat tahun 1897-1902). Pada September 1902, P. J. Voorstad digantikan oleh E. M. Poortman (menjabat tahun 1902-1906) sebagai asisten residen (2025: 197-198).

Sketsa Mr. J. W. M. Plate Ayah dari Willem Paul Plate Tahun 1937

(Sumber: Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 1 September 1937)

Sejak muda Willem Paul Plate sudah menetap di Belanda. Khususnya untuk melanjutkan sekolah. Seperti orang tuanya yang mendapat pendidikan cukup elite saat itu. Ayahnya mendapatkan gelar hukum atau Meester in de Rechten (Mr) dari Universitas Leiden, Belanda. Meskipun W. J. M. Plate (ayah) dan Willem Paul Plate (anak) terlahir di negeri koloni, tetapi mendapatkan pendidikan hingga negeri Belanda. Menurut Bernard H. M. Vlekke dalam bukunya berjudul Nusantara Sejarah Indonesia, mereka termasuk kategori atau golongan blijver. Orang Eropa yang tinggal permanen di Hindia Belanda. Atau mereka yang lahir di Hindia Belanda (2008: 207).

Di era Pemerintah Hindia Belanda, golongan blijver tidak kembali ke negeri Belanda. Mereka lebih dekat dengan Hindia Belanda sebagai tempat kelahirannya. Namun, pasca kemerdekaan Republik Indonesia, situasi politik berubah total. Banyak golongan blijver yang akhirnya memilih ke Belanda.

Pasca Perang Dunia II, pada tahun 1948 Willem Paul Plate diangkat hoogleraarsambtaan, atau profesor di Rijksuniversiteit te Utrecht atau Universitas Utrecht (De Telegraaf, 18 April 1968). Universitas Utrecht salah satu universitas tertua di Belanda. Sudah ada sejak tahun 1636. Terkenal sebagai universitas riset atau penelitian.

Willem Paul Plate menjabat sebagai profesor de gynaecologie atau ginekologi di Universitas Utrecht sampai tahun 1969. Ia mengajukan pensiun karena tidak lagi dapat mengikuti pertemuan universitas. Padahal ia menduduki jabatan sebagai ketua Nederlandse Gynaecologen Vereeniging, atau perkumpulan ahli ginekologi Belanda. Selain juga menjabat sebagai tim medis keluarga Kerajaan Belanda. Profesor Willem Paul Plate meninggal pada 13 Juni 1983, dalam usia 81 tahun, tulis surat kabar Nederlands Dagblad, 15 Juni 1983.

Tim Medis Keluarga Kerajaan Belanda tahun 1968

dr. J. Drukker, Suster C. L. van Beuzekom, dr. G. M. Nijhuis, dan dr. W. P. Plate

(Sumber: De Telegraaf, 18 April 1968)

Sabtu, 01 Maret 2025

PERAYAAN 100 TAHUN SF BALONGBENDO 1938

Manisnya gula menarik para pengusaha Eropa ke Hindia Belanda. Terutama di wilayah Karesidenan Surabaya. Sejak abad ke-19 hingga babak akhir penjajahan Belanda, wilayah Karesidenan Surabaya merupakan penghasil gula terbesar saat itu.

Ada tiga daerah di Karesidenan Surabaya yang menjadi pusat industri gula. Yakni afdeling Sidoarjo, afdeling Mojokerto, dan afdeling Jombang.

Salah satu pabrik gula yang cukup penting yakni SF Balongbendo. Berdasarkan buku Verslag van de Suiker-Enquete Commissie 1921, SF Balongbendo sudah berdiri sejak tahun 1838. Dengan luas areal penanaman tebu kurang lebih seluas 1.350 bau.

J. C. Japikse Memberikan Kata Sambutan Peringatan 100 Tahun SF Balongbendo

(Sumber: Soerabaijasch Handelsblad 23 Mei 1938)

Pada bulan Mei 1938, SF Balongbendo merayakan 100 tahun pabrik gula. Perayaan keseratus tahun SF Balongbendo saat di bawah kepemimpinan administrateur J. C. Japikse. Dalam sambutan pembukaan perayaan yang ditulis surat kabar Soerabaijasch Handelsblad 23 Mei 1938, mengatakan SF Balongbendo selesai dibangun tahun 1838. Didirikan oleh Van Teylingen. Pernah diambil alih oleh pengusaha Tionghoa yang sekaligus Kapitan Cina dari Mojokerto. Pernah dimiliki juga oleh Eschauzier, salah satu keluarga yang cukup populer dalam industri gula saat itu. Kemudian dimiliki oleh Van Lawick yang menjadi perusahaan keluarga, namun berubah menjadi perusahaan publik (kemitraan).

J. C. Japikse mulai menjabat administrateur SF Balongbendo sejak tahun 1934. Sebelumnya ia menjabat sebagai 1ste geemployeerde atau pegawai kelas 1 pada SF Asembagoes di Situbondo (De Indische Courant 2 November 1934). Artinya secara definitif Japikse mendapatkan kenaikan jabatan saat itu.

Upacara Slametan Besar Saat Perayaan 100 Tahun SF Balongbendo

(Sumber: De Indische Courant 23 Mei 1938)

Dalam kegiatan perayaan 100 tahun SF Balongbendo dilakukan cukup meriah. Ada penampilan band musik jazz. Makan prasmanan dan bar. Serta dilakukan upacara slametan, tulis surat kabar Soerabaijasch Handelsblad 23 Mei 1938.

Perayaan itu memperlihatkan adanya dua tradisi yang berbeda. Yakni tradisi Eropa yang diperlihatkan dari penampilan musik dan bar. Serta tradisi Jawa dalam bentuk upacara slametan.

Upacara Slametan Besar Saat Perayaan 100 Tahun SF Balongbendo

(Sumber: Soerabaijasch Handelsblad 23 Mei 1938)

Minggu, 02 Februari 2025

Pulau Bali dalam Catatan Perjalanan Asisten Residen Mojokerto M. B. Van Der Jagt (24 Juli-13 Agustus 1921)

Max Buttner Van Der Jagt, Asisten Residen Mojokerto 1920-1922

(Sumber: https://resources.huygens.knaw.nl)

Sejak era Pemerintah Hindia Belanda, kegiatan kepariwisataan telah menjadi program pemerintah kolonial. Bahkan pemerintah membentuk lembaga atau organisasi yang mengurusi pariwisata. Dalam buku Achmad Sunjayadi berjudul Pariwisata di Hindia Belanda 1891-1942, menyebutkan Vereeniging Toeristenverkeer (VTV). Yakni organisasi yang mengatur kegiatan pariwisata di Hindia Belanda. Secara resmi didirikan pada 13 April 1908 (2019: 138).

VTV sekaligus menjadi Oficieel Toeristen Bureu, atau biro perjalanan resmi. Yang kemudian gencar mempromosikan pariwisata di Hindia Belanda. Melalui beragam media saat itu, seperti buku panduan wisata, peta, majalah, brosur, poster, kartu pos, foto, film dokumenter, pameran, dan kongres. Bahkan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), yakni perusahaan pelayaran milik pemerintah turut mempromosikannya.

Tampak Siring dalam Catatan Perjalanan M. B. Van Der Jagt tahun 1921

(Sumber: M. B. Van Der Jagt, 1937: 15)

Salah satu destinasi yang turut dipopulerkan ialah Pulau Bali. Pada awal tumbuhnya pariwisata di Bali tahun 1920-an, tidak dapat dipisahkan dari peran orang Eropa. Pendapat Andrian Vickers dalam bukunya berjudul Bali Tempo Doeloe, mengatakan orang Eropa di Bali saat itu sedang mengalami romantisme terhadap masa lalu. Mereka terkenang zaman feodalisme, di mana tuan-tuan tanah dan kehidupan kerajaan mewarnai Eropa. Kekaguman orang Eropa terhadap Bali kemudian dituangkan dalam tulisan-tulisan mereka (2012: 5-7).

Romantisme akan masa lalu yang kemudian menumbuhkan kekaguman, barangkali juga tertuang dalam catatan perjalanan liburan ke Bali yang ditulis oleh M. B. Van Der Jagt. Saat itu ia menjabat sebagai Asisten Residen Mojokerto (menjabat tahun 1920-1922). Perjalanannya ke Bali dari 24 Juli sampai 13 Agustus 1921. Sekitar kurang lebih 21 hari berada di Bali. Catatan perjalanan itu kemudian diterbitkan di Den Haag, Belanda tahun 1937. Diberi judul Balireis 24 Juli-13 Agustus 1921 van M. B. Van Der Jagt, dengan tebal 34 halaman ditambah 1 halaman Peta Pulau Bali.

Candi Batur dalam Catatan Perjalanan M. B. Van Der Jagt tahun 1921

(Sumber: M. B. Van Der Jagt, 1937: 21)

Perjalanan dimulai dari Mojokerto pada hari Sabtu 23 Juli 1921. Pagi hari dengan mengendarai mobil menuju pelabuhan di Surabaya. Dari Surabaya naik kapal milik KPM. Menurut M. B. Van Der Jagt, saat itu Pulau Bali mulai semakin populer dikalangan wisatawan. Dengan menyebutnya dalam Bahasa Belanda Mooi-Bali, atau Bali yang indah (1937: 3).

Dalam catatan perjalanannya di Bali, M. B. Van Der Jagt mengunjungi beberapa tempat. Mulai dari Singaraja, Jembrana, Tabanan, Denpasar, Gianyar, Klungkung, Karangasem, Bangli, Kintamani, dan kemudian kembali ke Singaraja. Ia juga menceritakan pelabuhan Padang Bai. Pelabuhan yang menjadi penghubung dalam perjalanan menuju Pulau Lombok (1937: 30-31).

Goa Lawah dalam Catatan Perjalanan M. B. Van Der Jagt tahun 1921

(Sumber: M. B. Van Der Jagt, 1937: 20)

M. B. Van Der Jagt kembali ke Pulau Jawa pada 13 Agustus 1921. Melalui pelayaran langsung dari Buleleng menuju Surabaya. Pelayaran tersebut ditempuh dalam waktu antara 12 sampai 16 jam. Pada 14 Agustus 1921, ia telah tiba di rumahnya di Mojokerto (1937: 34). Catatan perjalanannya ke Bali menjadi salah satu tulisan yang turut mempopulerkan Bali. Khususnya bagi masyarakat Eropa kala itu.

Informasi menarik lainnya tentang Bali pada tahun 1930-an, berasal dari tulisan Soe Lie Piet berjudul Melantjong ke Bali. Menyebutkan jumlah pesanggrahan atau guest house yang dikelola pemerintah. Antara lain berada di Baturiti, Bedugul, Gitgit, Kintamani, Klungkung, Munduk, Negara, Petang, Pulukan, Selat, Singaraja, dan Tirta Empul. Selain itu terdapat empat hotel. Satria Hotel milik orang Belanda. Hotel Soen An Kie, Hotel Baroe, dan Oriental Hotel yang ketiganya milik orang Cina (1935: 4-6).

Pesanggrahan Klungkung di Bali tahun 1920-an

(Sumber: Onze Oost, 1927: 27)

Pulau Bali sebagai destinasi wisata melalui perjalanan panjang sejak era kolonial. Hingga kini masih menjadi pilihan para pelancong dari berbagai negeri. Mengunjungi Bali untuk menikmati alam dan budayanya. Tidak salah kemudian para penulis terkenal seperti Louis Couperus (Ootswaarts atau Ke Timur), Michel Picard (Bali: Pariwisata Budaya, Budaya Pariwisata), Andrian Vickers (Bali Tempo Doeloe), menyebut Bali sebagai surga yang hilang dan surga terakhir.

Peta Pulau Bali dalam Catatan Perjalanan M. B. Van Der Jagt tahun 1921

(Sumber: M. B. Van Der Jagt, 1937)

Rabu, 01 Januari 2025

Propaganda Kaum Republik di Mojokerto

Propaganda Republik pada Dinding Stasiun Mojokerto Menghadapi Agresi Militer I

(Sumber: https://geheugen.delpher.nl)

Sejak proklamasi kemerdekaan dikumandangkan di Jakarta, rakyat menyambut dengan gembira. Beragam tulisan di tembok atau dinding, gerbong kereta, dan lainnya membuktikan kegembiraan itu.

“Merdeka Ataoe Mati!!”, “Fredom is the Glory of Any Nation”, “Indonesia for Indonesian!”, “We Welcome Any Body Who Respects Our Freedom”, merupakan kata-kata sambutan kemerdekaan. Menurut Doel Arnowo (1974), dalam Pengaruh Peristiwa 10 Nopember 1945 Terhadap Sejarah Perjuangan Kemerdekaan, dikatakan seluruh Karesidenan Surabaya harus mengibarkan bendera Merah Putih (hlm. 3).

Rakyat telah siap menerima dan mempertahankan kemerdekaan. Namun demikian, Belanda belum mau melepaskan. Mencoba kembali masuk Indonesia. Dengan dalih bahwa Indonesia masih bagian dari Belanda.

Dari sekian banyak rencana Belanda, salah satunya melakukan operasi militer. Untuk menghindari kritik dunia internasional, Belanda menyamarkan tindakannya. Dengan menamakan Aksi Polisionil. Pada bulan Juli 1947. Bagi Pemerintah Republik Indonesia, tindakan itu bentuk pelanggaran atas akad yang sudah disepakati. Melalui Perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947.

Sri Lestari (1988), dalam skripsinya berjudul Peristiwa Penyerbuan Belanda ke Mojokerto: Dalam Rangka Penguasaan Delta Brantas (17 Maret 1947), bahwa usaha menguasai Mojokerto dan daerah sekitarnya sudah dilakukan sejak bulan Maret 1947 (hlm. 55).

Untuk menghadapi operasi militer Belanda, tentara dan rakyat melakukan perlawanan. Selain mempersiapkan personel tentara, mereka juga membuat propaganda.

Pada salah satu dinding gedung di Mojokerto, terdapat gambar seorang tentara republik yang menjatuhkan tentara Belanda. Dengan memberikan sabetan senjata tajam. Gambar tersebut dibuat pada 18 Juli 1947. Kemudian diabadikan oleh fotografer Hugo Wilmar.

Propaganda Kaum Republik di Mojokerto Menghadapi Agresi Militer I

(Sumber: https://geheugen.delpher.nl)

Propaganda tersebut merupakan reaksi terhadap agresi militer Belanda. Yang memang berencana masuk ke Mojokerto. Sebelumnya, Belanda sudah menguasai Surabaya dan Sidoarjo.

Mojokerto punya nilai penting. Di tempat ini terdapat banyak perkebunan. Serta, terdapat 3 pabrik gula. Pabrik gula Brangkal, Dinoyo, dan Gempolkerep, tulis Berita Indonesia, 18 Maret 1947. H.M. Hirschfeld (ahli ekonomi) dan Jenderal Simon Hendrik Spoor (ahli militer) sepakat melakukan tindakan militer. Untuk memulihkan ekonomi Belanda yang sedang memburuk.

Belanda berusaha keras menguasai Indonesia. Terutama Pulau Jawa. Ada banyak aset ekonomi Belanda. Baik perkebunan maupun industri gula. Selain di Jawa memang pusat pemerintahan republik.

Satu per satu kota-kota di Jawa dikuasai. Terutama di daerah pesisir. Hingga menuju Mojokerto. Salah satu daerah yang menjadi ladang bisnis kolonial. Dalam Latar Belakang Perusahaan, Dasar Hukum PTPN X, disebutkan pada tahun 1900-an ada 12 pabrik gula yang masuk dalam Groep Modjokerto. James R. Rush pun menyatakan dalam bukunya, Java a Traveler’s Anthology, bahwa distrik Jabung yang berada di lereng Gunung Welirang dan Anjasmoro, kaya tanaman perkebunan.

Tak salah jika Belanda kemudian mengincar Mojokerto. Saat melancarkan Aksi Polisionil.

Tentara dan rakyat Mojokerto telah siap menghadapi Belanda. Untuk mempertahankan Kota Mojokerto. Propaganda dalam bentuk gambar dan tulisan, agar rakyat tambah kuat. Berani untuk mempertahankan kemerdekaan. Di sisi lain, untuk menciutkan nyali tentara Belanda.