Minggu, 01 Desember 2024

Mojokerto dalam Propaganda Belanda di Masa Bersiap

Banjir Akibat Rusaknya Pintu Air di Mojokerto

(Sumber: Archivo Nacional Aruba ANA-DIG-ARCHIEF-ECURY-INV-331)

Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik bukan menjadi akhir kolonialisme. Tanah Hindia versi Belanda atau Indonesia, menjadi ladang pertarungan kembali. Antara Belanda melawan Pemerintah Indonesia.

Bagi Belanda, Pulau Jawa cukup penting untuk dikuasai. Bukan hanya tentang jumlah perusahaan perkebunan yang cukup banyak. Namun, di tempat ini pusat perlawanan berada (Pemerintah RI). Belanda pun tidak mudah menaklukkan kembali Bangsa Indonesia.

Menurut M. C. Ricklefs, Indonesianis dari Australia, menyatakan upaya Belanda menguasai kembali Indonesia merupakan usaha yang ketiga. Pertama, pada abad ke-17 dan ke-18. Kedua, pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, seperti dimuat dalam bukunya berjudul Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2008: 429-430).

Pertarungan tidak hanya dengan jalan perang. Tetapi juga melalui jalan diplomasi. Salah satu caranya membangun opini publik. Terutama untuk meyakinkan dunia internasional agar mendukung tindakan militer.

Salah satu daerah yang dijadikan propaganda Belanda yakni Mojokerto. Baik keadaan penduduknya maupun fasilitas publik.

Termuat dalam arsip dari Archivo Nacional Aruba (ANA-DIG-ARCHIEF-ECURY-INV-331), terkait sabotase tentara Indonesia yang merusak pintu air di Sungai Brantas. Menyebabkan beberapa daerah (kampung) di Mojokerto mengalami banjir. Dikatakan juga bahwa tentara Belanda berhasil mengamankan sebagian pintu air. Menyelamatkan hasil panen penduduk.

Bahkan, keadaan penduduk pasca penjajahan Jepang di Mojokerto menjadi alat propaganda Belanda. Penduduk pribumi yang mengalami kelaparan. Serta kedatangan Belanda di Mojokerto yang membagikan makanan kepada penduduk. Kedatangan Belanda saat itu dikatakan menyelamatkan penduduk dari bencana kekurangan pangan, tulis Archivo Nacional Aruba (ANA-DIG-ARCHIEF-ECURY-INV-331).

Salah Satu Penduduk Mojokerto Mengalami Kekurangan Gizi

(Sumber: Archivo Nacional Aruba ANA-DIG-ARCHIEF-ECURY-INV-331)

Keadaan umum pasca penjajahan Jepang memang identik dengan kekurangan pangan. Hampir semua daerah mengalaminya (bahkan negara yang pernah dijajah Jepang). Artinya, dampak penjajahan Jepang akibat kekurangan pangan masih terjadi pasca tahun 1945. Khususnya tahun-tahun masa revolusi kemerdekaan, antara 1946-1949.

Hal itu diperkuat dengan penelitian Pierre van der Eng, berjudul Food Supply in Java during War and Decolonisation, 1940-1950. Menyebutkan di Jawa terjadi penurunan konsumsi kalori. Terutama bahan pangan yang berasal dari beras (1994: 26).

Di sisi lain, kebutuhan pangan terkadang menjadi alat propaganda bohong yang dilakukan Belanda. Mengkambinghitamkan tentara republik atau para gerilyawan saat itu. Walaupun terkadang pada beberapa kasus, terkait perusakan terhadap fasilitas umum, toko-toko, pabrik, dan gudang juga disertai penjarahan. Seperti yang dilakukan pasukan pimpinan Mayor Sabaruddin, yang bermarkas di Claket, Trawas, Mojokerto.

Menurut Moehammad Jasin dalam Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang, Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia, mengatakan Mayor Sabaruddin berhasil ditangkap. Beserta barang bukti empat besek penuh emas dan berlian. Serta, delapan wanita Eropa yang sedang hamil. Bagi M. Jasin, menangkap Mayor Sabaruddin merupakan keberhasilan untuk menyelamatkan wibawa Pemerintah Republik Indonesia (2010: 113-116).

Penduduk Mojokerto Antri Mendapatkan Jatah Makanan dari Belanda

(Sumber: Archivo Nacional Aruba ANA-DIG-ARCHIEF-ECURY-INV-331)