Seperti bantuan sosial (bansos) beras yang dikorupsi saat ini. Rakyat sengsara di masa penjajahan Jepang juga karena korupsi beras. Penelitian wawancara A. B. Lapian dan J. R. Chaniago yang kemudian menjadi buku berjudul Di bawah Pendudukan Jepang: Kisah Empat Puluh Dua Orang yang Mengalaminya, menyebutkan tindakan korupsi dalam pendistribusian beras muncul dilakukan oleh staf-staf Kumiai (1988: 25).
Selain korupsi, Jepang saat menduduki Indonesia melakukan perampasan padi. Rakyat harus menyerahkan padi kepada Jepang. Dengan komposisi 40% untuk petani, 30% untuk Jepang, dan 30% untuk cadangan.
Kekurangan bahan pangan di Jawa disebabkan harus mengganti beras yang gagal dikirim karena tenggelam di Laut Jawa. Serta, diperuntukkan juga untuk jatah romusha, baik yang ada di Pulau Jawa maupun di luar Jawa, tulis Aiko Kurasawa, dalam bukunya berjudul Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 (2015: 107-108).
Masyarakat yang kekurangan gizi
(dok: Aiko Kurasawa, 2015: 117)
Temuan Aiko Kurasawa dalam penelitiannya di Jawa tersebut, terkait menurunnya kesejahteraan penduduk dapat dibenarkan. Bahan pangan, terutama beras sangat sulit didapatkan. Kalaupun ada, di pasar gelap harganya cukup mahal. Sehingga, sebagian besar rakyat tidak mampu membelinya.
Sampel yang digunakan untuk meninjau kemiskinan dan kelaparan di Jawa, dengan membandingkan petani pemilik sawah dengan petani penggarap sawah. Masih cukup beruntung petani pemilik sawah. Hasil panen dari 0,5 hektar luas sawah, menghasilkan 10 kuintal beras. Diberikan kepada petani penggarap (bawon) sebanyak 2 kuintal. Tersisa 8 kuintal. Kuota yang harus diserahkan kepada Jepang sebesar 2,4 kuintal (30%). Tersisa 5,6 kuintal. Untuk bibit musim tanam berikutnya 0,5 kuintal. Tersisa 5,1 kuintal, atau beras sekitar 357 kg. Jika keluarga tersebut terdiri enam anggota, maka masing-masing mendapat jatah 60 kg beras. Konsumsi harian per kapita sekitar 164 g, per orang (Aiko Kurasawa, 2015: 115-116). Sedangkan, petani penggarap hanya mendapat 2 kuintal. Harus menghidupi keluarga, menyetor padi kepada Jepang, dan membayar hutang. Hal ini yang memicu terjadinya penyakit busung lapar karena kekurangan gizi.
Bencana kelaparan di Jawa masa pendudukan Jepang berkorelasi secara langsung dengan tingkat fertilitas dan mortalitas. Seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini;
(dok: Aiko Kurasawa, 2015: 118-119)
Tingginya tingkat kematian di Jawa terjadi pada tahun 1944. Dengan jumlah kematian mencapai 1.423.000 jiwa. Dimungkinkan, tahun 1944 Jepang bertindak lebih ekploitatif terhadap penduduk Jawa. Apalagi, pada tahun itu Jepang terus terdesak oleh pasukan Sekutu. Ancaman kekalahan dalam Perang Pasifik membuat Jepang bertindak lebih keras. Khususnya, dalam urusan bahan makanan (beras) yang dibutuhkan untuk mendukung perang.