Sabtu, 06 Mei 2023

RIWAYAT NAIK HAJI DI JAWA

Poster Kapal Pengangkutan Haji ke Mekkah Tahun 1935

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/855650)

Bagi kaum muslim, ibadah haji merupakan tuntunan dalam agama dan kepercayaan mereka. Untuk melengkapi Rukun Islam yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh karenanya, setiap orang yang beragama Islam sangat berharap untuk dapat menunaikan ibadah tersebut. Tak terkecuali bagi kaum muslim yang ada di “nusantara”, atau yang saat ini disebut Indonesia.

Dalam agama Islam, ibadah haji hukumnya wajib. Baik untuk kaum laki-laki dan perempuan. Asalkan mereka mampu secara finansial (uang) dan fisik. Sebab, ibadah haji membutuhkan biaya yang cukup mahal. Selain itu, mampu secara fisik diartikan dapat mengikuti proses Rukun Haji. Perlu diketahui, ibadah haji sebelum abad ke-19 membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk perjalanan menuju Mekkah dibutuhkan waktu antara 5-6 bulan pelayaran. Baru pada abad ke-19, transportasi laut ibadah haji ditempuh sekitar 3 bulan.

Meskipun waktu perjalanan yang cukup lama, tetapi ibadah haji terus dilakukan. Catatan pertama kali ibadah haji penduduk muslim Pulau Jawa diperoleh dari Hikayat Hasanuddin. Yang mengkisahkan perjalanan haji Sunan Gunung Jati dan putranya (Maulana Hasanuddin) sekitar tahun 1520-an. Lebih lanjut, dalam cerita itu berisi kisah pengislaman wilayah Jawa Barat. Sunan Gunung Jati merupakan salah seorang wali. Yang dalam tradisi lokal di Jawa termasuk ke dalam “Wali Songo”. Beliau bertugas untuk mengislamkan penduduk di daerah Jawa Barat.

Tradisi Haji Masa Mataram Islam dan Banten

Pasca wafatnya Sultan Agung, pemerintahan Mataram Islam menandatangani perjanjian perdamaian dengan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Perjanjian tersebut disepakati tanggal 24 September 1646 di bawah kekuasaan Amangkurat I. Salah satu isi perjanjian terkait dengan upaya Mataram mengirim ulamanya ke Mekkah dan Madinah. Untuk meningkatkan pengetahuan agama Islam. Dalam perjalanan menuju kesana supaya dapat diangkut dengan kapal-kapal VOC. Serta, VOC harus mengembalikan uang yang dirampas dari utusan Sultan Agung. Utusan tersebut sedang melakukan perjalanan ke Mekkah pada tahun 1642 M.

Utusan-utusan dari Kerajaan Mataram pada saat itu tidak diketahui identitasnya. Akan tetapi, mereka memang utusan yang sedang melakukan perjalanan ke Mekkah. Selain Kerajaan Mataram, pada tahun 1664 M Kerajaan Banten juga mengirim seorang imam muslim untuk melakukan perjalanan ke Mekkah, dengan menumpang kapal VOC, tulis Jacob Vredenbregt dalam “Ibadah Haji: Beberapa Ciri dan Fungsinya di Indonesia” (1997: 5).

Menurut Henri Chambert-Loir dalam bukunya “Naik Haji di Masa Silam: Tahun 1482-1890, Jilid I” berbeda dengan di Mataram, bahwa utusan dari Banten diketahui identitasnya. Yaitu: Haji Jayasanta, Haji Wangsaraja, dan Haji Fatah (2013: 34). Mereka menggunakan gelar haji di depan namanya. Barangkali beliau adalah imam atau penghulu di Kerajaan Banten. Selain itu, mereka termasuk ke dalam kelompok bangsawan.

Apakah mereka melakukan perjalanan haji atau tidak juga tidak diketahui dengan pasti. Namun demikian, ada tradisi atau kebiasaan bahwa para penguasa sengaja mengirim utusan untuk pergi haji. Sebab, para penguasa tersebut tentu tidak dapat serta merta menunaikan ibadah haji. Dengan meninggalkan kewajiban untuk menjaga dan melindungi rakyatnya. Oleh karenanya, para penguasa saat itu sengaja mengirim seseorang untuk mewakili dirinya beribadah haji. Di satu sisi, utusan dari Kerajaan Banten memang melakukan ibadah haji. Hal ini tampak dari gelar haji di depan nama mereka.

Pada tahun 1674 M, Abdul Kahar putra Sultan Ageng Tirtayasa melakukan perjalanan ke Mekkah. Untuk pertama kalinya seorang pangeran kerajaan menunaikan ibadah haji. Laporan tentang perjalanan ke Mekkah semakin banyak pada waktu berikutnya. Namun, mereka yang melakukan perjalanan haji tidak lagi menumpang kapal-kapal niaga milik orang Arab, Persia, Turki, dan India. Melainkan menumpang kapal-kapal VOC dan Inggris.

Tradisi para sultan di Jawa mewakilkan ibadah haji masih terus dilakukan. Pada awal abad ke-18, Amangkurat II mengutus beberapa orang untuk menunaikan ibadah haji atas namanya. Mereka menunaikan ibadah haji antara tahun 1700-1702 M. Meskipun, sebenarnya sultan sendiri yang berharap untuk berangkat. Tidak mewakilkannya pada orang lain. Apa yang diinginkan Amangkurat II hanya sebatas cita-cita saja. Kenyataannya beliau memang tidak dapat berangkat menunaikan ibadah haji. Padahal, dari segi finansial tentu sangat cukup sekali.

Pada awal abad ke-19 (sekitar tahun 1811-an), Sultan Hamengkubuwono II mengirim 24 orang santri untuk naik haji. Ketika mereka berangkat, belum sampai di Semarang sudah dicegah oleh Pemerintah Belanda, tulis Henri Chambert-Loir (2013: 39). Pada saat itu situasi sedang dalam pergolakan politik. Inggris mulai menaklukkan Pulau Jawa. Untuk itu, para santri yang akan menunaikan ibadah haji tidak dapat melanjutkan perjalanan.

Rombongan Haji dari Pekalongan di Mekkah Sekitar Tahun 1890-an

(Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/809332)

Antara Larangan dan Kebutuhan: Monopoli Perjalanan Haji

Yang menarik, pada kurun waktu abad ke-19 jumlah jamaah haji mengalami peningkatan. Pada pertengahan abad ke-19, mulai dilakukan penghitungan jamaah haji. Hal ini didasarkan pada statistik yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Padahal, pemerintah kolonial sebenarnya melakukan upaya untuk menghalangi penduduk muslim naik haji. Ada ketakukan dari pihak pemerintah kolonial terhadap para haji yang baru kembali. Mereka dicurigai membawa pengaruh revolusioner dan gerakan wahabi yang menentang penjajahan. Gerakan anti penjajahan saat itu banyak dipelopori kaum muslim yang baru tiba dari perjalanan haji.

Upaya mempersulit pergerakan para haji di Jawa dilakukan pada tahun 1810. Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1807-1811 M), mengeluarkan ketentuan pas jalan atau paspor bagi haji. Mereka (para haji) yang akan bepergian harus mempunyai dan memakai pas jalan. Apabila mereka akan bepergian dari satu tempat di Pulau Jawa ke tempat lain.

Kebijakan mempersulit para haji juga dilakukan oleh Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816 M). Pada tahun 1811, ia mengirim surat edaran ke seluruh gubernur yang isinya memperingatkan bahaya para haji (ulama). Sikap tersebut barangkali terjadi karena minimnya pengetahuan tentang agama Islam. Sehingga, mencampuradukkan antara Islam sebagai agama dengan politik. Ibadah haji adalah murni ajaran Islam yang harus dilaksanakan oleh tiap-tiap muslim yang mampu (secara finansial dan fisik).

Menurut Jacob Vredenbregt berdasarkan laporan Residen Batavia, pada tahun 1825 ada 200 penduduk meminta pas jalan, dan sekaligus melaporkan perjalanan haji ke Mekkah menggunakan kapal Magbar milik Syaik Umar Bugis (1997: 8). Dari peristiwa tersebut, dikeluarkan Resolusi Gubernur Jenderal pada tanggal 18 Oktober 1825 No. 9. Resolusi ini berisi tentang pemberian izin naik haji menggunakan kapal Magbar. Kemudian, menetapkan para calon haji harus membayar ƒ 110 gulden. Untuk pembayaran pas jalan dan paspor haji. Bagi calon haji yang tidak memiliki pas jalan akan dikenakan denda sebesar ƒ 1.000 gulden.

Untuk menyempurnakan peraturan sebelumnya, pemerintah kolonial mengeluarkan Ordonansi Haji Tahun 1859. Peraturan tersebut dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie No. 42 Tahun 1859. Menjadi peraturan resmi pemerintah kolonial tentang penyelenggaraan haji. Di samping itu, pada tahun 1873 dibuka kantor konsulat Belanda di Jeddah. Pada saat itu Jeddah merupakan pelabuhan penting. Terletak di tepi Laut Merah. Bagi calon haji, Jeddah tidak lain pintu gerbang menuju Mekkah. Untuk mereka menunaikan ibadah haji.

Kebijakan pemerintah kolonial tampaknya seperti mendua. Di satu sisi, pemerintah merasa terancam dengan keberadaan para haji. Yang membawa pengaruh gerakan anti penjajahan. Sehingga, pemerintah kolonial akhirnya membuat kebijakan untuk mempersulit penduduk yang akan menunaikan ibadah haji. Sebaliknya di sisi yang lain, pemerintah berusaha memanfaatkan situasi itu untuk mencari keuntungan finansial. Di mana, calon jamaah haji harus membayar untuk memiliki paspor atau pas jalan. Bahkan, pada akhir abad ke-19 pengangkutan calon jamaah haji di monopoli oleh pemerintah kolonial.

Kontingen Pertama Haji yang Tiba dari Mekkah di Tanjung Priok Tahun 1940

(Sumber: De Locomotief, 17 Februari 1940)