Onde-Onde Bo Liem Sejak Tahun 1929
(Sumber: www.eastjavatraveler.com)
Jeng jing kapal udara,
Numpak sepur mudun Jakarta,
Jakarta akeh lamuk e,
Suroboyo akeh duwik e,
Duwik e satus slawe,
Gawe tuku onde-onde,
Onde-onde isine kacang,
Wak Min (lambe) ndomble…
Tidak diketahui sejak kapan lirik lagu tersebut mulai muncul. Siapa penciptanya pun tak dapat ditelusuri. Jika ditinjau dari lirik lagu, tampaknya berlogat Jawa Timuran (Suroboyo). Namun, yang jelas, lagu itu semasa saya masih kecil begitu populer. Terutama, jika sedang bermain bersama.Sebagai lagu penghibur dan terkadang untuk membuly teman bermain.
Tulisan ini sebenarnya tidak berusaha mengulas lagu tersebut. Tetapi, akan mengulas tentang salah satu panganan terkenal. Konon katanya menjadi jajanan khas Mojokerto. Ah! Itu lho kue onde-onde. Konon kue ini sudah ada sejak zaman Majapahit. Oleh karenanya, diakui sebagai karakteristik kuliner Mojokerto. Meskipun, data historis yang dapat dijadikan penyokong (sebagai bukti) tidak begitu jelas.
Di negeri Cina, panganan tersebut telah dikenal sejak masa dinasti Tang (618-907). Dikenal dengan sebutan “ludeui”, yang merupakan kue resmi di daerah Changan (sekarang Xian). Dari sanalah kemudian menyebar ke berbagai daerah di Cina. Bahkan, hingga ke Asia Tenggara. Penyebutan kue ini di Cina pun berbeda-beda, seperti; “matuan”, “ma yuan”, “zhen dai”, atau “zhimaqiu”. Di Malaysia disebut “kuih bom”. Di Vietnam disebut “banh cam” atau “banh ran”. Dan di Filipina disebut “butsi”.
Penyebarannya, bisa jadi mengikuti arus migrasi orang-orang Tionghoa. Dari proses sosial, terkait dengan interaksi sosial dapat mempengaruhi wajah kuliner. Termasuk, panganan yang kita kenal dengan nama onde-onde ini. Variasi olahan panganan di tiap-tiap daerah terkadang berbeda-beda. Isinya pun tidak melulu kacang hijau. Bisa diganti kacang merah, gula merah, daging cincang, bihun, ubi, jamur, dll.
Inilah yang oleh pemerhati makanan disebut “infiltrasi kuliner” (culinaire infiltratie). Tidak hanya Cina, makanan-makanan di Indonesia juga terpengaruh oleh India, Arab, hingga Belanda. Masuknya bangsa-bangsa asing tersebut, ternyata berdampak pula terhadap budaya kuliner di Indonesia. Mungkin lebih tepat jika menggunakan istilah akulturasi. Pertemuan budaya terkait dengan makanan lebih bersifat “penetration of pacifique”, atau jalan damai yang digunakan. Walaupun, masuknya lewat kolonialisme, seperti masa penjajahan Belanda.
Pengaruh Cina terhadap makanan di Jawa tercatat pada prasasti Biluluk II (1391 M). Disebutkan istilah “hang laksa”, atau pembuat bihun. Dapat diketahui makanan bihun (sejenis mie) berasal dari negeri Cina. Selain itu, Denys Lombard dalam bukunya berjudul “Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia” Jilid II, menyebut beberapa kuliner Indonesia yang mendapat pengaruh dari Cina, seperti; bapao (roubao), bacang (rouzang), lumpia (numbing), dan baso (rouso).
Wajah kuliner Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan pengaruh dari luar. Termasuk, panganan onde-onde yang kita kenal saat ini.
Simbol dalam MakananDari analisis historis, berbicara tentang makanan tidak hanya sebagai pengganjal perut saja. Di dalamnya, terkandung berbagai makna dan filosofis. Termasuk, menyiratkan status sosial tertentu.
Pada masa lalu, di zaman kerajaan-kerajaan kuno, makanan dan minuman yang disajikan berbeda antara raja (kaum bangsawan) dengan rakyat jelata. Ada juga makanan yang berfungsi sakral dan profan. Fungsi sakral biasanya makanan tersebut menjadi bagian dari sajian kepada dewa, dan diletakkan di tempat-tempat suci. Sedangkan, pada fungsi profan dapat diartikan sebagai seni atau kenikmatan bagi para konsumennya.
Di Cina, kue onde-onde sebagai simbol bulan purnama dan kebersamaan. Bisa jadi, bentuknya yang bulat dianggap menyerupai wajah bulan yang jika dilihat dari bumi begitu indah dan terang. Tak salah, jika pada perayaan-perayaan resmi menjadi panganan wajib dipersiapkan. Kulit luarnya dilumuri wijen bisa jadi menandakan pentingnya sebuah kebersamaan. Perlu diakui, jiwa persaudaraan orang-orang Tionghoa sangat kokoh.
Mungkin saja, pada mulanya di Cina kue onde-onde merupakan panganan dalam lingkungan istana. Diciptakan khusus oleh para juru masak kerajaan untuk sang kaisar. Dalam dunia istana, hal ini sering terjadi. Namun, untuk menunjukkan perhatian kaisar kepada rakyat, akhirnya kuliner tersebut diperbolehkan dinikmati siapa saja.
Perjamuan KolonialPada akhir abad ke-19, di Jawa populer dengan istilah “rijsttafel”. Tidak lain merupakan makan nasi bersama-sama di atas satu meja. Para tuan dan nyonya Belanda mempopulerkan tradisi atau kebiasaan makan tersebut.
Sajian utamanya memang nasi, yang membedakan adalah menu-menu pelengkap, alat-alat yang digunakan, hingga tata cara makan. Berbeda sekali dengan kebiasaan makan kaum pribumi waktu itu.
Buku yang ditulis oleh Catenius van der Meijden (1922) berjudul “Makanlah Nasi! (Eet Rijs!) De Indische Rijsttafel (voor Holand), menyebutkan menu-menu makanan pendamping sajian utama nasi. Salah satunya adalah “Kwee Onde-Onde”. Kue ini menjadi sajian pembuka atau penutup pada saat makan bersama.
Selain itu, kebiasaan para “meneer” Belanda pada sore hari memakan hidangan ringan (salah satu menu onde-onde) dan meminum secangkir teh. Sambil menikmati pemandangan di perkebunan mereka, serta keindahan pulau tropis yang ditempati.
Mencicipi kuliner satu ini tidak perlu ditunda-tunda lagi. Masih hangat-hangat baru keluar dari perapian, mengeluarkan bau harum yang khas campuran terigu, kacang hijau, dan wijen. Apalagi, jika kue onde-onde didapatkan dari pakar pembuatnya di Mojokerto. Toko roti “Bo Liem”, yang sudah turun-temurun menyajikan onde-onde, sejak tahun 1920-an.
Tak ada salahnya, sore hari, sambil menikmati gemericik air dari langit di musim penghujan. Membayangkan menjadi seorang “meneer” pemilik perkebunan di lereng gunung Anjasmoro, yang duduk-duduk di teras rumah melumat kue onde-onde dan menyruput teh manis hangat.