Propaganda Republik pada Dinding Stasiun Mojokerto Menghadapi Agresi Militer I
(Sumber: https://geheugen.delpher.nl)
Sejak proklamasi kemerdekaan dikumandangkan di Jakarta, rakyat menyambut dengan gembira. Beragam tulisan di tembok atau dinding, gerbong kereta, dan lainnya membuktikan kegembiraan itu.
“Merdeka Ataoe Mati!!”, “Fredom is the Glory of Any Nation”, “Indonesia for Indonesian!”, “We Welcome Any Body Who Respects Our Freedom”, merupakan kata-kata sambutan kemerdekaan. Menurut Doel Arnowo (1974), dalam Pengaruh Peristiwa 10 Nopember 1945 Terhadap Sejarah Perjuangan Kemerdekaan, dikatakan seluruh Karesidenan Surabaya harus mengibarkan bendera Merah Putih (hlm. 3).
Rakyat telah siap menerima dan mempertahankan kemerdekaan. Namun demikian, Belanda belum mau melepaskan. Mencoba kembali masuk Indonesia. Dengan dalih bahwa Indonesia masih bagian dari Belanda.
Dari sekian banyak rencana Belanda, salah satunya melakukan operasi militer. Untuk menghindari kritik dunia internasional, Belanda menyamarkan tindakannya. Dengan menamakan Aksi Polisionil. Pada bulan Juli 1947. Bagi Pemerintah Republik Indonesia, tindakan itu bentuk pelanggaran atas akad yang sudah disepakati. Melalui Perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947.
Sri Lestari (1988), dalam skripsinya berjudul Peristiwa Penyerbuan Belanda ke Mojokerto: Dalam Rangka Penguasaan Delta Brantas (17 Maret 1947), bahwa usaha menguasai Mojokerto dan daerah sekitarnya sudah dilakukan sejak bulan Maret 1947 (hlm. 55).
Untuk menghadapi operasi militer Belanda, tentara dan rakyat melakukan perlawanan. Selain mempersiapkan personel tentara, mereka juga membuat propaganda.
Pada salah satu dinding gedung di Mojokerto, terdapat gambar seorang tentara republik yang menjatuhkan tentara Belanda. Dengan memberikan sabetan senjata tajam. Gambar tersebut dibuat pada 18 Juli 1947. Kemudian diabadikan oleh fotografer Hugo Wilmar.
Propaganda Kaum Republik di Mojokerto Menghadapi Agresi Militer I
(Sumber: https://geheugen.delpher.nl)
Propaganda tersebut merupakan reaksi terhadap agresi militer Belanda. Yang memang berencana masuk ke Mojokerto. Sebelumnya, Belanda sudah menguasai Surabaya dan Sidoarjo.
Mojokerto punya nilai penting. Di tempat ini terdapat banyak perkebunan. Serta, terdapat 3 pabrik gula. Pabrik gula Brangkal, Dinoyo, dan Gempolkerep, tulis Berita Indonesia, 18 Maret 1947. H.M. Hirschfeld (ahli ekonomi) dan Jenderal Simon Hendrik Spoor (ahli militer) sepakat melakukan tindakan militer. Untuk memulihkan ekonomi Belanda yang sedang memburuk.
Belanda berusaha keras menguasai Indonesia. Terutama Pulau Jawa. Ada banyak aset ekonomi Belanda. Baik perkebunan maupun industri gula. Selain di Jawa memang pusat pemerintahan republik.
Satu per satu kota-kota di Jawa dikuasai. Terutama di daerah pesisir. Hingga menuju Mojokerto. Salah satu daerah yang menjadi ladang bisnis kolonial. Dalam Latar Belakang Perusahaan, Dasar Hukum PTPN X, disebutkan pada tahun 1900-an ada 12 pabrik gula yang masuk dalam Groep Modjokerto. James R. Rush pun menyatakan dalam bukunya, Java a Traveler’s Anthology, bahwa distrik Jabung yang berada di lereng Gunung Welirang dan Anjasmoro, kaya tanaman perkebunan.
Tak salah jika Belanda kemudian mengincar Mojokerto. Saat melancarkan Aksi Polisionil.
Tentara dan rakyat Mojokerto telah siap menghadapi Belanda. Untuk mempertahankan Kota Mojokerto. Propaganda dalam bentuk gambar dan tulisan, agar rakyat tambah kuat. Berani untuk mempertahankan kemerdekaan. Di sisi lain, untuk menciutkan nyali tentara Belanda.